By Asyari Usman
(Wartawan senior BBC)
Di awal 1980-an, pihak penguasa merasa tidak punya cara lain untuk mengatasi premanisme yang merajalele di Indonesia. Penembakan misterius (populer dengan akronim “petrus”) dilancarkan oleh penguasa. Menurut Komnas HAM, setidaknya 2,000 orang tewas dalam operasi Petrus. Bahkan, sumber lain meyakini jumlahnya berkali-kali lipat dari itu.
Di kota-kota besar bertebaran berita penemuan mayat preman yang mati karena tembakan atau cara lain, termasuk diikat dan digonikan. Macam-macam kondisi. Mereka ditemukan diparit, di sungai, atau di pinggir jalan.
Dalam biografi yang ditulis oleh Ramadhan KH dan G Dwipayana, Pak Harto mengakui bahwa Petrus disebar karena kejahatan preman dan gali sudah sangat keterlaluan, waktu itu.
Petrus memang berhasil menyebar ketakutan di kalangan preman. Premanisme berhenti total. Yang belum kena timah panas Petrus, bersembunyi menyelamatkan nyawa mereka. Tindakan “reign of fear” (cengekeraman ketakutan) ini sangat efektif mengembalikan rasa aman di tengah masyarakat.
Waktu itu, gerombolan preman memang menjadi sumber ketakutan. Kejahatan sadis yang mereka lakukan, justru lebih dulu menimbulkan “reign of fear” di tengah masyarakat. Jadi, lebih-kurang “reign of fear” Petrus disebar untuk membasmi “reign of fear” premanisme.
Itulah kisah tentang cara penguasa membasmi premanisme yang dianggap sudah keterlaluan, yang menimbulkan cengkeraman ketakutan.
Entahkan terinspirasi kisah 1980-an itu, atau tidak, tampaknya pihak yang berkuasa sekarang ini sedang melancarkan taktik “reign of fear” juga. Tujuannnya ialah untuk membasmi ujaran kebencian dan berita hoax. Cengkeraman ketakutan (reigh of fear) itu dilakukan oleh kepolisian dalam bentuk penangkapan para aktivis media sosial (medsos) yang mereka yakini sebagai pelaku ujaran kebencian, SARA, dan hoax.
Beberapa hari lalu ditangkap Asma Dewi (AD). Wanita yang biasanya dijuluki “emak-emak medsos” itu, dituduh mengunggah ujaran kebencian dan konten SARA di halaman Facebook. Kira-kira bersamaan waktunya dengan penangkapan AD, saya pernah membaca berita teks berjalan (running text) di salah satu stasiun televisi yang menyebutkan bahwa dalam waktu enam bulan belakangan ini lebih 60 orang pengguna medsos telah ditangkap.
Entah sengaja atau tidak, entah dengan tujuan menyebar “reign of fear” atau tidak, foto-foto AD yang sedang mendekam di sel tahanan beredar luas di medsos dan media online. Dan, memang setelah beredar berita penangkapan AD ini, plus berita penangkapan terduga kasus Saracen belum lama ini, sejumlah pengguna medsos pengkritik penguasa mengaku “tiarap”.
Artinya, “reign of fear” yang dilakukan pihak kepolisian sekarang ini juga cukup efektif dalam menumbuhkan “rasa takut” di kalangan pengguna medsos. Belakangan ini, banyak saya baca komentar “awas, nanti dicyduck” atau “hati-hati ditangkap”, dll, yang ditulis oleh follower di thread (untaian) komentar status FB saya.
Bahkan, ada komentar serius dan candaan yang ditujukan kepada saya, berupa peringatan bahwa jangan-jangan saya pun akan dibidik juga. Ada yang pula mendoakan agar saya selalu dalam lindungan-Nya, dsb.
Itulah taktik “reign of fear”. Orang menjadi takut. Benar-benar dicekam ketakutan. Inilah situasi yang sedang melanda pengguna medsos. Memang tidak semua dicekam ketakutan. Banyak yang tetap saja tak berubah.
Satu hal yang diprihatinkan. Para aktivis medsos yang kritis terhadap penguasa, merasa bahwa “reign of fear” itu hanya ditujukan kepada mereka saja. Tidak kepada para aktivis medsos yang pro-penguasa. Padahal, mereka juga banyak yang melakukan ujaran kencian, membuat dan menyebar berita hoax, bahkan menghina agama.
Kita berharap agar penegak hukum, cq kepolisian, bertindak adil. Sebab, sekarang ini sangat gampang mendeteksi ketidakadilan itu. Seperti banyak pengalaman selama ini, baik itu di Indonesia maupun di tempat lain, ketidakadilan (injustice) pasti akan berkesan di hati masyarakat. Dan, one way or the other, ketidakadilan itu akan terkoreksi juga. Terkoresksi oleh proses politik yang pasti akan berjalan terus di sebuah negara.
Jadi, tanpa bermaksud “mengajarkan limau beduri”, ada baiknya Pak Polisi tidak mengambil posisi yang akhirnya akan menjalani proses koreksian atas ketidakadilan yang dilakukan hari ini. Layak juga kita pikirkan bahwa proses koreksi selalu lebih melelahkan dan berbiaya mahal dibandingkan pengorbanan yang kita lakukan untuk menghindarkan kesalahan.
Mirip upaya maintenance mesin kendaraan. Kalau Anda, misalnya, mengabaikan pengisian atau penggantian pelumasnya, hampir pasti silinder piston akan pecah terbakar. Anda harus turun mesin. Dan, ongkosnya pasti besar!***