Tuntutan Ahli Waris PKI: “Dikasih Hati, Minta Jantung”
By Asyari Usman
(Wartawan senior)
Ada peribahasa yang sangat terkenal dalam menggambarkan watak yang tak pernah puas, yaitu “Dikasih Hati, Minta Jantung”. Setelah dipenuhi permintaan yang ini, datang lagi permintaan lain. Setelah dipenuhi yang berikutnya, datang lagi permintaan selanjutnya. Minta lagi, dan mana lagi.
Kira-kira begitulah deskripsi tentang keinginan para ahli-waris Partai Komunis Indonesia (PKI) yang merasa terzolimi, tersakiti, dan terpinggirkan, setelah terjadi pemberontakan 30 September 1965. Sejalan dengan pertumbuhan hak asasi dan demokrasi di Indonesia, anak-keturunan PKI menuntut berbagai tindakan yang bertjuan untuk memperbaiki citra partai anti-agama itu.
Secara bertahap, mereka meminta berbagai pemulihan. Permintaan itu dipenuhi, baik oleh pemerintah (dalam kaitan dengan administrasi kewarganegaraan), maupun oleh rakyat (dalam kaitan dengan penghapusan stigma sosial). Permintaan agar kode “ET” (eks tahanan politik) dihapuskan dari KTP para ahli-waris, dikabulkan oleh negara di tahun 1995. Ini sangat wajar dari sisi kemanusiaan.
Harus diakui bahwa diskriminasi terhadap para tapol (tahanan politik) dan napol (narapidana politik) yang terlibat PKI, cukup berat. Sampai-sampai keluarga mereka tidak dibolehkan menjadi PNS. Bahkan untuk urusan administrasi lainnya pun, dipersulit.
Jadi, penghapusan kode “ET” di KTP mereka boleh dikatakan langkah besar.
Bersamaan dengan itu, masyarakat pun memberikan simpati atas kesulitan sosial yang mereka rasakan. Dalam 20 tahun belakanga ini, tidak ada lagi diskriminasi dan pengucilan terhadap anak-keturunan PKI. Sangat pantas stigma sosial yang memedihkan itu, dihilangkan.
Semua orang setuju. Setuju memberikan ruang hidup yang sama seperti warga Indonesia lainnya. Tidak ada masalah.
Namun, sanak-keluarga PKI terus saja menuntut macam-macam. Hak-hak politik mereka juga dipulihkan. Sampailah akhirnya ahli-waris eks-PKI dibawa masuk menjadi anggota DPR. Ada dua wakil rakyat yang berasal dari keluarga yang terlibat PKI. Seorang diantaranya, Ribka Tjiptaning, malah menulis buku dengan judul “Aku Bangga Jadi Anak PKI”. Sampai ke level ini pun, rakyat masih bisa menerima.
Tetapi, hari ini, tuntutan itu semakin keras dan semakin besar. Ada desakan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta maaf kepada ahli-waris PKI dan mengakui kesalahan pemerintah terhadap PKI. Mereka berani, dengan lantang, “menyuruh” Menko Polhukam untuk memerintahkan jajaran militer dan kepolisian dari pusat sampai ke desa agar tidak mengganggu mereka. Tidak memata-matai mereka, tidak mengintai kegiatan mereka.
Mereka menuntut pemulihan nama baik PKI. Kemungkinan tuntutan itu ditambah lagi dengan permintaan pencabutan Tap MPRS Nomor XXV/1966 yang melarangan penyebaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Tuntutan yang tak pernah berujung. Sama seperti kisah Belanda masuk ke Indonesia.
Konon, menurut cerita orang-orang tua, ketika Belanda masuk ke Indonesia, mereka “meminta” tanah dari warga. Dasar orang Indonesia baik, diberikanlah tanah sehasta kepada si Belanda. Tak berapa lama kemudian, si Belanda datang lagi meminta tanah. Kali ini malah dikasih sedepa. Namun, si Belanda merasa belum cukup. Dia datang lagi meminta tanah. Dan masih tetap dikasih juga.
Belanda tak pernah berhenti meminta. Sampai akhirnya, terbentuklah peribahasa “seperti Belanda minta tanah”. Kelanjutan dari tabiat “tak pernah cukup” ini memang menyedihkan. Belanda akhirnya menjajah Indonesia selama 350 tahun.
Begitulah kegigihan para tapol dan napol serta ahli-waris keluarga PKI dalam memperjuangkan kehidupan mereka. Setelah dapat hati, mereka kemudian meminta jantung. Setelah dapat sehasta, mereka meminta sedepa.
Padahal, rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke sudah tidak lagi ingin mempersoalkan kebrutalan PKI yang membunuhi ribuan ulama dan satri. Rakyat juga tidak ingin melanjutkan diskriminasi, demonisasi, dan stigmatisasi terhadap ahli-waris anggota PKI. Rakyat sejak lama ingin “move on”.
Tetapi, para ahli-waris terus saja rewel. Mereka menuntut sejarah 1965 diluruskan karena, menurut mereka, ada rekayasa. Mereka meminta penyelidikan pelanggaran HAM, dst. Mereka menuntut agar peristiwa 1965 dinyatakan bukan pemberontakan PKI.
Cukuplah dua peribahasa, yaitu “dikasih hati, minta jantung” dan “seperti Belanda minta tanah”, yang terdaftar di khasanah pepatah Indonesia. Janganlah kita ciptakan peribahasa ketiga hanya untuk memenuhi permintaan saudara-saudara ahli-waris aktivis PKI.**