(Rohingya family, foto 26/8/2017)
[PORTAL-ISLAM.ID] Pada edisi lalu, kami mengutip pendapat Mahbubul-Haque tentang penyebab utama konflik di Arakan. Haque menyebutkan inti persoalannya adalah pada kegagalan integrasi Rohingya ke dalam negara baru Burma (Myanmar).
Haque melihat bahwa pemerintah, terutama semenjak Myanmar dikuasai oleh Junta Militer tahun 1962, secara sengaja menolak masuknya Rohingya menjadi bagian dari Burma. Pemerintah bahkan memprovokasi masyarakat yang tinggal di Arakan yang berlainan etnis dan agama, yaitu etnis Rakhine-Budha, untuk memusuhi Rohingya yang Muslim.
Tentu saja yang paling mudah digunakan untuk menyulut kebencian horizontal adalah masalah sejarah, etnis, dan—paling krusial—agama. Diciptakan kesan Rohingya sebagai etnis pendatang yang tidak punya hak tinggal di Arakan; terlebih mereka berbeda ras dan agama dengan orang-orang Rakhine.
Pemerintah bukannya menjadi penengah dan jembatan untuk mengintegrasikan masyarakat, malah menjadi penyebab semakin parahnya konflik horizontal antar-rakyat sendiri.
Secara sederhana boleh dikatakan bahwa sumber utama masalah Rohingya adalah kekerasan negara atau kekerasan yang disponsori negara yang sengaja diciptakan oleh pemerintah Junta Militer sejak berkuasa tahun 1962.
Salah satu argumen yang sangat jelas untuk menunjukkan kesimpulan di atas adalah beberapa fakta keberadaan etnik Rohingya di Myanmar. Berikut untuk menyebut beberapa contoh fakta keras.
Pertama, antara tahun 1948 hingga 1962 ketika pemerintahan U Nu berkuasa di Burma, etnis Rohingya diakui secara legal maupun politis sebagai etnis yang eksis di Burma. Salah satu buktinya, sebelum tahun 1962 pernah ada dua orang tokoh Rohingya yang menjadi pejabat politik di Burma. Salah satunya adalah Sultan Mahmud yang pernah menjabat menteri kesehatan Burma; dan M.A. Gaffar yang pernah menjadi pejabat anggota dan sekretaris Parleman Burma. Keduanya adalah Muslim-Rohingya.
Kedua, bahasa Rohingya pernah menjadi salah satu bahasa pengantar resmi di Burmese Broadcasting Service di era pemerintahan U Nu yang dikenal sebagai pemimpin yang demokratis.
Melihat fakta-fakta di atas, persoalan penolakan Rohingya sebagai bagian dari Myanmar terjadi sejak tahun 1962.
Pertanyaan berikutnya yang penting diajukan adalah: mengapa Junta Militer tidak mau menerima Rohingya dan tega melakukan kekerasan laten terhadap etnik ini? Untuk menjawab masalah ini penelusuran Kei Nemoto yang mempublikaskan tulisannya dengan judul 'The Rohingya Issue: A Thorny Obstacle between Burma (Myanmar) and Bangladesh' cukup memadai untuk dipertimbangkan. Menurut Nemoto ketidaksukaan etnik Rakhine dan Burma pada umumnya terhadap Rohingya dipicu oleh dua hal mendasar.
Pertama, pergesekan antar-etnik migran yang sama-sama datang ke Arakan. Persaingan di antara keduanya telah terjadi sejak lama, terutama ketika Kerajaan Burma berhasil menaklukkan Kerajaan Arakan sehingga dominasi etnik beragama Budha atas etnik Muslim mulai menguat. Pada saat Burma dikuasai Inggris tahun 1823, banyak penduduk Chittagong yang merupakan kawasan yang juga dianeksasi oleh Inggris yang datang ke Arakan dalam jumlah yang cukup besar. Migrasi ini juga didukung oleh faktor tidak ada pemisah alam yang sulit dilalui antara Arakan dan Chittagong. Oleh sebab itu, dengan mudah saja banyak orang Chitagong yang datang ke Arakan dan sebaliknya. Penduduk kedua kawasan ini sama-sama Muslim. Semakin banyaknya warga Muslim di Arakan menyebabkan pergesekan dengan Rakhine bergama Budha semakin besar, walupun saat itu belum sampai menimbulkan kerusuhan yang besar. Namun, bibit persaingan dan permusuhan sudah ada sampai Jepang menguasai Burma. Saat itulah terjadi perubahan teritorial penting. Chittagong tetap dikuasai Inggris, sementara Arakan dikuasai Jepang bersama dengan kawasan Burma lainnya.
Kedua, sejak Jepang menguasai Burma pada tahun 1942 itu, kemudian muncul kebijakan politik yang berdampak jangka panjang hingga saat ini. Arakan menjadi front liner (garis depan) kekuatan Jepang menuju India yang masih dikuasai oleh Inggris. Agar serangan ke India-Inggris efektif, Jepang kemudian merekrut orang-orang Budha Arakan untuk dijadikan tentara dengan nama Patriot Arakan Force. Mengetahui langkah Jepang seperti itu, Inggris kemudian secara diam-diam membentuk pasukan gerilya di Arakan sendiri. Karena Arakan-Budha sudah lebih dahulu direkrut Jepang, Inggris merekrut penduduk Arakan-Muslim. Pasukan gerilya ini dinamakan Force V yang dipecah menjadi dua subdivisi, yaitu subdivisi Maungdaw dan Buthidawn. Selain merekrut orang Arakan-Muslim, Inggris juga merekrut orang-orang Chittagong untuk menjadi tentara di Force V. Tujuan dibentuknya Force V ini tentu saja untuk mencegah Patriot Arakan Force dapat sampai ke India yang masih di bawah kekuasaan Inggris. Beberapa kali terjadi bentrokan di antara kedua tentara bentukan asing ini sehingga konflik di lapangan bukan antara Jepang dengan Inggris, melainkan antara Arakan Budha dengan Arakan-Muslim yang didukung pula oleh orang-orang Chittagong.
Dalam perang semacam ini, walaupun kepentingan besarnya ada di tangan negara-negara asing kolonial yang berkuasa di kawasan itu, namun yang dapat menyulut pertempuran agar lebih semangat di kedua belah pihaknya adalah dengan dimunculkannya sentimen identitas masing-masing. Dalam hal ini yang dieksplorasi adalah sentimen etnik dan agama. Rohingya-Muslim vs Rakhine-Budha.
Bagi masyarakat awam yang tidak telalu mengerti politik tingkat tinggi yang dimainkan Jepang dan Inggris, perang-perang di antara kedua tentara tersebut dipahami justru sebagai perang antar-etnik. Dari sinilah kebencian terhadap etnik Rohingya-Muslim dari kalangan Rakhine-Budha semakin mengental. Pada saat yang sama kebencian ini juga mendapat dukungan dari mayoritas penduduk Burma lainnya yang sama-sama beragama Budha. Jadilah kemudian konflik ini menjadi konflik etnik dan agama.
Sekalipun kawasan ini sudah sepenuhnya dikuasai oleh Inggris pada tahun 1944 dan semua tentara rakyat, baik bentukan Jepang maupun Inggris, dibubarkan, namun rupanya konflik horizontal tidak dapat dikendalikan oleh penguasa Inggris. Berkali-kali terjadi bentrokan di Maungdaw dan di beberapa kawasan lain terus terjadi. Situasi inilah yang cukup dipahami dengan baik ketika U Nu berkuasa di Burma pasca-kemerdekaan Burma dari Inggris tahun 1948. U Nu berusaha untuk mencari solusi terbaik untuk menghentikan konfrontasi di antara dua etnik yang hidup bertetangga di Arakan ini.
Ketika kawasan-kawasan Muslim di Arakan State dipimpin oleh kepala negara bagian yang berasal dari Rakhine-Budha, para pemimpin dan masyarakat Muslim menolaknya dengan sangat keras. Penolakan ini dapat dimaklumi sebagai ekses dari perselihan antar-etnik ini sebelumnya. Pada tahun 1961, akhirnya U Nu memutuskan untuk tetap memberikan kekuasaan kepada etnis mayoritas di Arakan, yaitu Rakhine-Budha. Hanya saja, kawasan-kawasan yang dihuni oleh mayoritas Muslim, yaitu Buthidaung, Maungdaw, dan Rathedaung Barat, akan disatukan menjadi kawasan khusus yang dinamai kawasan Mayu (Mayu region). Kawasan yang nama resminya adalah Mayu Frontier Administrasion akan langsung dikontrol oleh pemerintah pusat. Hal ini dilakukan untuk menghentikan konflik horizontal yang sudah lama terjadi.
Akan tetapi rupanya sejarah berkata lain. Kelompok militer garis-keras Budha berhasil menggulingkan U Nu dan mengambil alih kekuasaannya. Penguasa baru ini bertindak sangat diktator dan cenderung fasis. Semua kebijakan U Nu terhadap etnik Rohingya dibatalkan. Pemerintah Junta-Militer sendiri bersikap sebaliknya. Mereka ingin menguasai kawasan Arakan sepenuhnya tanpa Rohingya-Muslim. Untuk mendapatkan pembenaran atas pembersihan etnis (etnic cleansing), pemerintah baru ini malah menghidupkan kebencian lama dengan memunculkan wacana tentang Rohingya sebagai bukan penduduk asli Arakan. Mereka dianggap ilegal datang ke Arakan. Seperti halnya Inggris dan Jepang, pemerintah Junta Militer Myanmar ini juga memanfaatkan orang-orang lokal setempat untuk memenuhi tujuan mereka menghabisi Rohingya. Oleh sebab itu, terjadilah apa yang terjadi sejak tahun 1962 hingga saat ini. Wallâhu Alamu bi Al-Shawwâb.
(Ditulis oleh Tim Redaksi Risalah Jumat PP Persis)