[PORTAL-ISLAM.ID] Polemik kebangkitan komunisme di Indonesia kembali menyeruak.
Banyak warganet menentang pendapat yang menyatakan bahwa komunis akan bangkit kembali, meski ada lebih banyak lagi, yang meyakini kebenaran kabar tersebut.
Fakta tak terbantahkan yang disodorkan oleh Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo dan MayJen Kivlan Zen semalam dalam acara ILC bertema "PKI, Hantu atau Nyata", pernah pula diungkap oleh mantan staf ahli Panglima TNI, Brigjen TNI (Purn) Adityawarman Thaha.
Adityawarman mengungkapkan banyak yang belum memahami sepak terjang Komunis Gaya Baru (KGB) saat ini.
Selama ini, publik hanya dicekoki kisah PKI di seputaran tahun 1965 yang terjadi di Jakarta. Sementara kisah-kisah kekejian PKI di daerah, nyaris senyap.
Contohnya, sadisnya PKI yang melakukan pembantaian di Solo sejak tahun 1948 hanya sedikit ditulis dalam kisah-kisah sejarah. Padahal di tahun 1948 terjadi penyerangan brutal ke asrama pasukan Siliwangi oleh PKI Muso (kala itu dikenal banyak kelompok dalam tubuh PKI).
Pembantaian itu kemudian dikenal sebagai "Geger Srambatan" dan di lokasi tersebut kini berdiri sebuah monumen kecil sebagai penanda kekejian PKI.
Solo memang sempat menjadi basis kuat PKI. Tak terhitung banyaknya ulama yang dibantai PKI sejak periode 1948 hingga 1965. Nyaris semua birokrat berasal dari PKI termasuk Walikota Solo Oetomo Ramelan dan beberapa elit PKI seperti Njoto.
Bahkan, pasca G30S, Aidit yang dinihari 1 Oktober 1965 melarikan diri dan bersembunyi di rumah seorang kerabatnya di Complex Colombo (perumahan pejabat di kota Yogyakarta) pun akhirnya berpindah persembunyian dan ditangkap di kawasan Manahan, Solo.
Contoh lain adalah kekejian PKI di daerah Jawa Timur.
“Tidak pernah diangkat bagaimana kyai-kyai, ulama-ulama di Jawa Timur itu, dibantai, dikubur hidup-hidup, baik tahun 1948 maupun tahun 1965,” ungkapnya.
Begitu pintarnya para kader Komunis dan pendukungnya, hingga mereka bisa mempengaruhi dan menyembunyikan sejarah.
Dalam sebuah pengajian di Masjid Agung Al-Azhar Ahad, 12 April tahun 2015 lalu, Adityawarman pernah mengingatkan, ia telah mendeteksi, bahwa KGB terus bergerak. Bahkan mereka menggelar berbagai seminar atau diskusi.
Pada tanggal 22 Februari 2015 yang lalu, digelar hari ulang tahun Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965-1966 di sebuah kafe di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat.
Hadir dalam acara tersebut, Pengacara KPK, Nursyahbani Katjasungkana, Ketua YPKP 65-66 Bejo Untung, Komisioner Komnas HAM Nur Khoiron, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi Korban AH Semendawai, Komisioner Komnas Perempuan Soraya Kamaruzzaman, dan Feri dari Kontras.
Namun, belum sempat berlangsung, warga Kelurahan Bukik Cangang Kayu Ramang, Kecamatan Guguak Panjang, Kota Bukittinggi, mengusir paksa mereka dari sebuah Kafe tempat berlangsungnya acara milik Ketua YPKP Sumbar, Nadiani. Warga yang mencium aroma komunis kemudian bergerak melawan.
“Sekarang ini mereka bergerak lebih jauh. Di Bukit Tinggi tanggal 22 Februari berkumpullah di situ Bejo Untung, Nursyahbani Katjasungkana mereka itu dari Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965-1966, itu keliling Indonesia. Kemudian ada dari Komnas HAM, Nur Khoiron. Itu yang mencoba keliling Indonesia untuk membangun nuansa Komunisme,” tutur Aditya.
Selain itu, Adityawarman juga mengungkapkan bahwa Komunis telah menggelar kongres di Cianjur Selatan.
“Saya juga sudah diberitahu bahwa mereka sudah berkongres di Cianjur Selatan, mereka sudah memperbaiki lagi organisasi partai Komunis, ketuanya umur 37 tahun, Sekjennya umur 35 tahun, jadi satu istilahnya Aidit, satu Nyoto. Itu ada mereka, bergerak mereka sekarang,” ujarnya.
Namun menurut Adityawarman, KGB memiliki cara baru dalam melakukan kamuflase gerakan komunis.
“Tidak mudah kita mengenal mereka, mereka kadang-kadang lebih agamis daripada kita yang agamis. Dan mereka tidak lagi menggunakan cara-cara tahun 1945 dan tahun 1965 yang menampilkan fisik dan kekuatan, tetapi mereka beradaptasi menyelusup lewat aturan-aturan, lewat konstitusi,” imbuhnya.
Di sisi lain, kader-kader komunis juga melakukan propaganda dengan berbagai cara, diantaranya melalui pemutaran film, seperti yang beredar di kalangan mahasiswa, film berjudul ‘Senyap”.
“Mereka bikin film-film dokumenter yang disebarkan, ada yang namanya ‘Senyap’ dan macam-macam. Itu yang mereka putarkan. Apa yang mereka lakukan itu fitnah, adudomba, memutarbalikkan keadaan,” imbuhnya.
Hingga, yang paling berbahaya adalah para kader komunis itu menyusup ke partai-partai.
“Mereka memegang teguh tujuan dengan menghalalkan segala cara. Mereka memutarbalikkan sejarah, melemparkan opini isu PKI sudah tidak relevan, menuntut TNI, Ansor NU melakukan pelanggaran HAM berat. Mereka menyusup ke partai-partai yang mungkin kita semua mengetahui, partai mana saja yang mereka sudah susupi, sama dengan tahun 1966 yang lalu,” ujarnya.
Kini, mereka dengan berani, atas nama rekonsiliasi menuntut pemerintah meminta maaf atas tragedi 1965, seolah mereka adalah korban, sementara mereka terus berupaya menutup kebenaran sejarah.
Bagaimana mungkin rekonsiliasi bisa terjadi jika fakta sejarah saja mereka sembunyikan?