[PORTAL-ISLAM.ID] Drama 5,000 pucuk senjata telah terjelaskan dengan runtun dan tegas oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
Jendral, Anda telah mengatakan sesuatu yang sangat berbahaya sesuai dengan data intelijen A1 yang Anda miliki. Yaitu, data yang Anda yakini kebenarannya. Bahwa ada upaya untuk memiliki ribuan pucuk senjata secara ilegal oleh institusi di luar TNI dan Polri. Bahwa pesanan senjata tsb, menurut infomasi A1 itu, mencatut nama Presiden Joko Widodo.
Pak Jenderal, Anda telah melaksanakan tugas Anda sebagai “the Commander in Charge”, sebagai Panglima operasional, yang mengemban kewajiban dan hak untuk menjaga keamanan seluruh rakyat. Meskipun penjelasan Anda itu kemudian bagaikan dianulir oleh “the Commander in Chief”, Panglima Tertinggi, melalui Menko Polhukam Jenderal (Purn) Wiranto.
Dalam silsilah kekomandoan militer di Indonesia, tentu saja Anda harus menghormati langkah yang diambil oleh “Commander in Chief”. Panglima Tertinggi, melalui Menko Polhukam, mengatakan bahwa tidak ada pemesanan senjata ilegal oleh institusi di luar TNI-Polri. Penjelasan Panglima Tertinggi itu wajib Anda terima tanpa syarat. Unconditional, non-negotiable.
Tetapi, sebagai “Commander in Charge”, semua orang sepakat bahwa Anda bisa mendeteksi ancaman terhadap bangsa dan negara. Anda dilengkapi dengan berbagai organ yang diperlukan, dan Anda telah memaksimalkan operasi satuan-satuan tersebut. Artinya, ketika Anda sebut “informasi A1”, semua pihak harus meyakininya sampai ada koreksian di kemudian hari.
Klarifikasi yang disampaikan oleh Menko Wiranto itu secara gamblang “menganulir” informasi A1 yang Anda ungkapkan. Harap diingat, “menganulir” tidak sama dengan “mengoreksi”. Seumpama di lapangan bola, gol Anda bisa saja dianulir, dianggap tidak ada, oleh wasit meskipun gol itu bersih, tanpa pelanggaran. Panglima Tertinggi berhak menganulir bawahannya.
Tetapi, gol yang dianulir biasanya akan dicatat sebagai “gol yang sah” oleh banyak penonton. Akan dibahas dan disimulasikan sebagai bentuk rekonstruksi untuk mendapatkan kejelasan yang tak terbantahkan.
Sekali lagi, Menteri Wiranto bukan mengoreksi Anda. Sebab, hanya Anda, Panglima, yang berhak dan pantas mengoreksi informasi A1 yang Anda dapatkan dari unit yang langsung berada di bawah komando Anda. Kalau Anda tetap yakin dengan kebenaran info A1 tsb, tentu tidak ada kewajiban untuk melakukan koreksi. Tetapi, pihak-pihak lain tentu saja berhak menafikannya. Menidakkannya. Tetapi bukan mengoreksinya.
Sebagai Commander in Charge, yang bertanggung jawab atas keamanan negara dari menit ke menit, Anda telah memberikan penjelasan kepada rakyat tentang potensi ancaman keamanan yang bisa muncul dari pembelian senjata ilegal yang jumlahnya cukup besar.
Meskipun di sana-sini ada komentar yang menyebutkan bahwa cara Anda mengolah kasus 5,000 pucuk senjata itu tidak tepat, tapi yakinlah bahwa cara yang dianggap tidak arif itu memunculkan hikmah yang sangat besar. Hikmah itu berbentuk “pesan” penting untuk rakyat bahwa aktivitas ilegal yang sangat berbahaya, sangat mungkin terjadi dalam situasi yang penuh dengan ketidakmenentuan.
Panglima! Penjelasan “innocent” (apa adanya) yang Anda tuturkan kepada para senior tentara di markas Cilangkap, bisa juga disebut sebagai “double-bladed sword” –pedang bermata dua.
Di satu sisi, Anda memberikan “warning” yang sangat diperlukan oleh seluruh rakyat, sedangkan di sisi lain Anda juga “memaksa” sejumlah orang “to come clean”, untuk membuat pernyataan “saya tidak, kami tidak”. Membuat bantahan-bantahan dan sejenisnya.
Salah total kalau ada yang menganggap Anda pemimpin TNI terburuk di era Reformasi. Sebaliknya, Anda membuat konstelasi politik kekuasaan menjadi terlihat terang-benderang.
Penulis: Asyari Usman, ex jurnalis BBC