[PORTAL-ISLAM.ID] Lewat sejumlah tulisan, diskusi talk show televisi dan media lainnya, kita membaca sindiran dan usulan agar rakyat Indonesia semuanya meninggalkan isu PKI. Alias, “move on”. Tidak lagi membicarakannya. Sudah terlalu banyak menimbukan distorsi.
Para petinggi politik dan para pengamat berkomentar agar kita “move on” dari isu ini. Beranjaklah dari situ. Sebagaimana orang di belahan dunia lainnya sudah “move on” dari sejarah hitam mereka masing-masing.
Istilah “move on” menjadi cukup viral. Rata-rata menyambut baik tawaran untuk meninggalkan masalah kekejaman PKI di tahun 1965 itu. Tidak usah lagi dibuat-buat ganjalan yang tak perlu. Bukankah sekarang ini semua orang setuju untuk bersama-sama membangun Indonesia untuk semua?
Sayangnya, saudara setanah air yang berasal dari keluarga PKI tampaknya merasa “the game is not over yet”. Belum selesai. Belakangan ini mereka, entah terinspirasi oleh apa dan siapa, menunjukkan rasa tak puas terhadap sejarah kelam 1965.
Saudara-saudara setanah air itu (mohon jangan salah paham, menyangka saya bersaudara dengan PKI), malah seperti berusaha melancarkan kampanye untuk menimpakan pengkhianatan PKI 1965 kepada pihak penguasa zaman itu yang justru bertindak menyelamatkan bangsa dan negara dari kebrutalan PKI.
Di bawah prakarsa Bedjo Untung, ketua Yayasan Peniltian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965, dan Ilham Aidit (anak pemimpin PKI, DN Aidit), para ahli-waris PKI melakukan manuver yang bertujuan untuk, dalam istilah mereka, meluruskan sejarah 1965.
Di tengah cuaca demokratis dan HAM yang semakin cerah sekarang ini, Pak Bedjo dan Pak Ilham berhasil mendapatkan corong dari berbagai jenis dan kaliber, untuk menyukseskan kampanye “PKI bukan pemberontak”. Selain mendapatkan corong, ada pula yang menyiapkan “pengantar acara” (presenter) untuk mereka. Lengkap! Pantas disebut sukses.
Sukses itu tidak main-main. Bedjo dan Ilham bisa meyakinkan sekian banyak LSM dan lembaga HAM untuk mendukung apa yang disebut “pelurusan sejarah 1965” itu. Dan, entah mengapa, semua LSM tsb sepakat tentang perlunya peninjauan ulang penulisan sejarah 1965.
Manuver inilah yang sekarang menimbulkan kekisruhan. Keluarga-keluarga dari puluhan ribu korban pembantaian PKI, tidak bisa menerima kampanye pelurusan sejarah 1965. Mereka memaafkan PKI tetapi menolak upaya licik untuk membuat potret baru yang menampakkan PKI tak bersalah.
Suasana menjadi hiruk-pikuk lagi. Kita menjadi heran, mengapa sekarang Bedjo dan Ilham semakin “berani”?
Sambil mencari jawaban untuk pertanyaan di atas, ada satu hal yang bisa terbaca dengan jelas, tidak samar-samar. Bahwa, ketika Anda mengusulkan “move on”, mereka sebetulnya ingin “move in”. Maksudnya, para ahli waris PKI ingin, secara terselubung dan dalam segala format, masuk kembali ke jantung perpolitikan Indonesia walaupun secara resmi partai itu dinyatakan terlarang.
Kalau Anda selama ini terbiasa membaca judul saja tanpa membaca konten secara cermat, maka “move in” PKI itu bisa jadi akan terlewatkan begitu saja. Dengan kata lain, tak terasa nanti mereka tiba-tiba telah memiliki aset politik yang besar, yang akan didukung oleh para pemodal opotunistik.