[PORTAL-ISLAM.ID] Haing S.Ngor, aktor Amerika berdarah Kamboja yang sukses bermain di film “The Killing Fields”, produksi tahun 1984, begitu gembira saat berada di kantor Majalah “Vista”, Jakarta, kini kantor DPP Nasdem.
Ngor, pada tahun 1988 itu memiliki cukup alasan untuk bergembira. Sebab konferensi internasional yang diinisiasi Indonesia dan digelar di Jakarta untuk mengakhiri konflik politik dan perang saudara di Kamboja, tanah kelahirannya, berhasil.
Tahap awal berhasil mempertemukan para tokoh politik yang bertikai, dan semua dalam atmosfir ingin berdamai.
Warga Indonesia pun ikut senang. Surya Paloh sebagai pemilik “Vista” bersama Lestary Luhur sebagai Manajer Periklanan dan Derek Manangka sebagai ‘Pemred’, sempat membawa Haing S.Ngor ke Taman Impian Jaya, Ancol menikmati kuliner sea food sekaligus merayakan suka cita aktor Hollywood tersebut.
“Kalaupun saya mati lusa, saya sudah tenang”, ujar Ngor yang ketika penyelenggaraan JIM (Jakarta Informal Meeting) harus terbang ke Jakarta dari Los Angeles dengan status sebagai peninjau independen.
Ngor di tahun 1988 itu sudah hidup mapan sebagai salah seorang selebriti Hollywood. Mapan, bukan hanya karena bayaran main film dan royalty atas buku biografinya yang laris dengan bayaran lumayan besar. Tapi juga berkat penghasilannyan sebagai seorang dokter spesialis.
Sebelumnya, Haing S.Ngor termasuk tokoh keturunan Kamboja yang pesimis. Tidak yakin rakyat Kamboja masih bisa berdamai. Kamboja negeri kelahirannya, sudah menjadi tempat bermukim oleh banyak politisi busuk. Mereka inilah yang diduga menjadi penyebab timbulnya konflik.
Konflik yang dimulai dari saling memfitnah dan menyebar pernyataan-pernyataan bermuatan kebencian ataupun fakta fiktif, ujung-ujungnya terjadi permusuhan yang berakhir dengan saling membunuh.
Saling bunuh yang didahului perang fitnah, sudah merupakan hal yang lumrah di negara tersebut. Saling bunuh antar sesama warga Kamboja itu sendiri semakin menjadi-jadi karena ternyata di dalamnya ada bensin yang disiram oleh pihak asing.
Pihak asing ini agendanya hanya satu: menciptakan ketidak stabilan sehingga asing bisa menanamkan pengaruh lantas menentukan arah kebijakan. Meminjam istilah anak gaul zaman ini, UUD, Ujung-Ujungnya Duit.
Orang pertama yang jadi korban, adalab sang raja, Norodom Sihanouk. Raja kharismatik Kamboja diisukan sebagai pemimpin pro komunis.
Itu sebabnya dia digulingkan pada Maret 1970 oleh Lon Nol, seorang Jenderal dukungan Amerika. Penggulingan Sihanouk menimbulkan perang saudara di Kamboja. Sebab sistem monarkhi yang sudah lama berjalan dan dinikmati sebagai sebuah kenyaman, diganti dengan sistem demokrasi. Namun demokrasi tersebut rupanya hanya dinikmati oleh segelintir elit.
Lon Nol yang merupakan antek Amerika, akhirnya dikudeta oleh kelompok komunis. Secara resmi rezim Lon Nol berkuasa hingga tahun 1975. Tapi secara de facto hanya memerintah sekitar 3 tahun.
Lon Nol mengasingkan diri ke Hawaii. Sebelum ke Hawaii, Lon Nol transit di Jakarta dan sempat dijamu oleh Presiden Soeharto yang saat itu juga dikenal sebagai antek Washington.
Militer komunis yang menggulingankan Lon Nol dipimpin oleh Pol Pot. Di era Pol Pot, rakyat Kamboja mengalami derita yang lebih parah. Sebab Pol Pot yang didukung komunis RRT, membantai warga sipil seenak perutnya, sesuka hatinya.
Angka persisnya, tak ada yang tahu. Namun dari peristiwa inilah kemudian dikenal istilah “ethnic cleansing” dan “genocide”.
Ada yang menyebut orang Kamboja yang dibunuh rezim Pol Pot, mencapai tiga juta jiwa.
Rezim Pol Pot ini kemudian ditumbangkan oleh Heng Samrin, seorang militer yang juga beraliran komunis, namun disebut-sebut sebagai bonekanya Uni Sovyet (sebelum berubah menjadi Rusia).
Samrin yang salah satu matanya cacat, hingga 2017 kini memimpin Kamboja.
Delapan tahun kemudian setelah kunjungan Haing S. Ngor ke Jakarta, tepatnya 25 Februari 1996, aktor yang berperan sebagai wartawan dalam film “The Killing Fields” tersebut terbunuh.
Ada yang menyebut dia dibunuh oleh orang-orang Kamboja yang juga menetap di Los Angeles. Mereka merupakan orang sakit hati yang cemburu pada Haing S.Ngor yang kehidupannya sangat mapan.
Sebelum terbunuh atau dibunuh, nama aktor pemenang Academy Award 1985 sebagai Aktor Pendukung itu, sempat meroket ke seluruh jagad. Oleh sementara kalangan, Ngor, ditempatkan sebagai seorang Advokat perdamaian.
Namun seiring dengan perjalanan dan perubahan waktu, secara perlahan tapi pasti, nama dan peran Haing dilupakan orang. Padahal banyak kalangan yang melihat perannya dalam “The Killing Fields”, film karya sutradara Roland Joffe tersebut, sangat menginspirasi banyak pihak. Agar perang saudara, apapun bentuknya, tak boleh terjadi di muka bumi ini. Konflik antar bangsa, harus diakhiri. Sekalipun untuk mencapainya memerlukan kerja keras yang tanpa pamrih.
Ya, tragedi Kamboja sangat membekas, karena pembantaian jutaan manusia sebagaimana dicerminkan di film “Ladang Pembantaian” atau “The Killing Fields”, jejak-jejaknya masih bisa ditemukan di sebuah museum di Phnom Penh, ibukota Kamboja.
Di museum tersebut sejumlah lemari dipenuhi tengkorak, rangka mayat manusia yang dibantai pada era rezim Pol Pot, disusun dengan rapi. Mengerikan, menjijikan sekaligus menyedihkan, manakala kita mendengar cerita pemandu wisata tentang tengkorak-tengkorak itu. Namun museum yang keberadaanya merupakan sebuah pengingat bagi generasi berikutnya akan sejarah bangsa, juga mulai dilupakan orang.
Kalau melihat alur cerita “The Killing Fields”, yang diangkat dari kisah nyata, sesama warga Kamboja apakah mereka komunis atau pemeluk Buddha, agama mayoritas di negara tersebut, saling membunuh dilakukan tanpa rasa takut dan rasa bersalah. Membunuh manusia bagaikan mematikan seekor hewan.
Melihat tragedi di Myanmar melalui foto, video baik yang asli maupun rekayasa, khususnya yang menimpa muslim Rohingya, mengingatkan akan jejak-jejak yang dapat ditemui di Phnom Penh dan sekitarnya, serta kisah kesaksian sejumlah saksi mata warga Kamboja.
Jejak dan kesaksian itu menegaskan bahwa perang tak mengenal kasihan dan rasa kasihan.
Konsekuensi perang jangan dilihat dengan kaca mata normal (damai). Akan absurd dan paradoksal. Perang adalah kebalikan dari damai.
“Anda beruntung, memiliki negara yang tidak punya manusia watak beringas. Keluarga saya dibantai seperti hewan…..”, ujar seorang kakek Kamboja yang lebih suka berbahasa Prancis dari pada Inggris di tahun 1984 kepada seorang jurnalis asal Indonesia.
Ya, selain tidak sekedar prihatin dengan Tragedi Rohingya, kita perlu mencium sisi lain yang tidak terungkap atau tak diungkap maupun sengaja disembunyikan, yaitu penyebab awal peristiwa tersebut (Tragedi Rohingya).
Tragedi Rohingya ini tidak berdiri sendiri. Bahwa pemerintah Myanmar mayoritas beragama Buddha dan Rohingya Bergama Islam, itu sebuah fakta.
Bahwa ada unsur atau elemen agama yang bercampur dalam penyebabnya, sulit dibantah.
Namun tragedi ini lebih berlatar belakang campur tangan kekuatan asing, pihak yang mengadu domba rakyat Myammar. Mirip atau sama dengan tragedi “The Killing Fields” di Kamboja.
Lalu reformasi yang terjadi di Myanmar, pergantian rezim dari militer ke masyarakat madani sipil, juga ikut punya peran. Reformasi ini masih ‘setengah jadi’. Belum final.
Reformasi yang berhasil mengubah sistem pemerintahan di Myanmar dari militer ke pemerintahan sipil, tidak lepas dari peran Amerika Serikat. Dan jadilah Htin Kyaw presiden sipil pertama setelah 49 tahun, Myanmar dipimpin rezim militer.
Kemenangan rezim saat ini, sama dengan kekalahan militer yang didukung oleh pemerintah RRT. Sehingga yang terjadi di Myanmar sebetulnya adalah perang dingin antara RRT dan Amerika Serikat.
Dalam kabinet rezim Htin Kyaw, Aung San Suu Kyi, sebagai tokoh sipil, merangkap sejumlah jabatan Menteri dalam kabinet Htin Kyaw. Selain itu Suu Kyi merupakan pemimpin dari partai yang cukup lama beroposisi kepada pemerintahan militer. Sehingga jabatan-jabatan ini menempatkan Suu Kyi sebagai menteri yang paling berpengaruh atau pun bagaikan seorang presiden bayangan.
Balada Myanmar sekarang adalah, walaupun Htin Kyaw dan Suu Kyi sudah berkuasa, tetapi kekuasaan mereka masih rentan atas perlawanan dari kaum birokrat yang selama 49 tahun memimpin Myanmar.
Sehingga secara politis yang terjadi di Myanmar saat in, merupakan persaingan antara kekuatan politik yang didukung oleh RRT melawan Amerika.
Oleh sebab itu berharap PBB bisa menyelesaikan Tragedi Rohingya, kelihatannya seperti menunggu matahari terbit dari ufuk Utara dan terbenam di ufuk Tenggara.
Sebab PBB dikuasai oleh negara-negara pemegang Hak Veto di Dewan Keamanan Tetap lembaga tersebut. Dua diantaranya adalah RRT dan Amerika Serikat. Kedua negara ini, masing-masing punya kepentingan yang sama : berlomba menguasai semua sumber daya alam di Myanmar.
Amerika bisa memveto RRT di PBB atau sebaliknya Cina yang balik memveto. Dan veto itu dijamin oleh konvensi PBB.
Rakyat Myanmar secara keseluruhan ataupun etnis Muslim Rohingya secara khusus, bukanlah faktor yang bisa jadi penentu. Keduanya merupakan masyarakat marginal yang dimaksimalkan oleh RRT maupun Amerika Serikat.
Dengan sedikit latar belakang di atas, sulit berharap Indonesia, ASEAN atau pihak manapun bisa berperan maksimal. Yang bisa dilakukan hanyalah mengerahkan kemampuan semaksimal mungkin dan melihat tragedi ini dari sisi humanity seperti yang dilakukan Turki.
Sebagai konflik politik Tragedi Rohingya sepertinya hanya bisa terselesaikan apabila ada kekuatan yang mampu: 1.Membubarkan PBB
2.Memiskinkan Amerika Serikat 3. Membubarkan RRT melalui Revolusi.
Selama ketiga poin di atas masih eksis, “another version of the killing fields”, versi lain dari ladang pembantaian, akan terus terjadi.
Itu sebabnya, dari sisi kepentingan nasional Tragedi Rohingya harus jadi bahan ‘studi lapangan’ bukan sumber studi bagi perluasan konflik baru di tanah air.
Kalau ini terjadi, maka kelak Indonesia yang menjadi “The Killing Fields” episode berikutnya.
Penulis: Derek Manangka, Jurnalis Senior
- Editor: Tim PORTAL-ISLAM.ID