[PORTAL-ISLAM.ID] Sedih rasanya melihat pertikaian yang makin meruncing belakangan ini. Tidak saja antar pendukung, para elit partai juga mulai mempertontonkan cara tidak etis dalam meraih simpati dan menjatuhkan lawan politik. Tudingan tanpa dasar seperti sudah menjadi hal yang lumrah, tidak lagi mencontohkan bagaimana orang timur dalam berpolitik.
Masyarakat dibawah juga kian terbagi dengan simbol yang sebenarnya tidak perlu, seperti menuding pihak lain anti pancasila hanya perbedaan pendapat. Atau menuding satu pihak kafir karena tidak sepakat dengan keinginan mereka.
Situasi makin memanas dengan adanya media sosial. Siapapun bisa menyampaikan pendapat, kadang menyebarkan berita hoax yang dapat memecah belah persatuan. Yang lebih parah, penyebar tersebut menggunakan identitas palsu, sehingga tidak diketahui asal usul orangnya dan pertanggungjawaban informasi yang disebar.
Sudah banyak kejadian dimana satu pihak dengan pihak berbeda terjadi perkelahian. Bahkan dalam satu keluarga juga terjadi perselisihan hanya karena termakan dengan strategi adu domba. Kadang informasi yang diterima kedua belah pihak tidak akurat dan dikondisikan supaya memancing panasnya situasi.
Jika dibiarkan, suasana akan semakin panas. Tidak tertutup kemungkinan akan terjadi konflik komunal, bukan lagi pertentangan wacana dan adu ide. Jika itu terjadi, maka bahaya untuk ketentraman Indonesia. Masih membekas diingatan kita kalau konflik komunal telah menelan banyak korban jiwa. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk menyelesaikannya, bahkan hingga saat ini bekas itu masih terasa.
Kita masih ingat diawal tahun 2000 an ada beberapa daerah yang terlibat konflik. Berapa banyak anak yang kehilangan orang tua, istri kehilangan suami dan ada kehilangan anak. Korban nyawa banyak melayang, begitu juga materi. Tidak terhitung berapa kerugian akibat konflik yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan suasana dingin.
Dengan begitu besar kerugian yang diderita, seharusnya kita mewaspadai kemungkinan itu terjadi lagi. Melihat kondisi saat ini, maka peluang itu sangat besar akan terulang. Jika tidak ada langkah kongrit dari pemangku jabatan dan aparat penegak hukum.
Jokowi yang menjabat sebagai orang nomor satu Indonesia harus menjadi pemimpin bagi semua. Meski dirinya mendapatkan penolakan, tudingan dan hinaan, Jokowi harus tetap menjadi pemimpin yang sebenarnya. Pemimpin yang tidak melihat latarbelakang penduduk yang dipimpinnya, perlakuan adil akan ditegakkan bagi semua. Dia juga bisa memastikan penegak hukum dalam bekerja dengan menjadikan hukum sebagai panglima, bukan kekuasaan yang bisa mengatur hukum.
Dengan tekanan yang begitu besar, Jokowi bisa belajar atau berdiskusi dengan sosok yang paling kenyang dalam persoalan meredam panasnya suhu politik dan keamanan. Sosok tersebut ada dalam diri SBY. Presiden RI ke 6 yang ikut berperan aktif dalam perdamaian di beberapa daerah, baik sebagai Menko Polhukam hingga saat menjadi Presiden. Dan selama SBY menjadi Presiden, dia juga mampu membuat politik berjalan beriringan dengan penegakan hukum. Tidak ada tekanan terhadap penegak hukum dari penguasa, sehingga hukum bisa adil ditegakkan.
SBY juga bisa membantu Jokowi dalam mencarikan solusi terkait dengan persoalan bangsa yang kiat rumit. Dari segala lini bisa dibagi pengalamannya, baik itu keamanan, ekonomi, hingga sosial. Tentu dengan 10 tahun menjadi Presiden, SBY punya kiat khusus dalam mengatasi persoalan. Termasuk didalammnya terkait dengan godaan untuk menjadi penguasa yang absolut.
Mau tidak mau harus diakui, kalau banyak masyarakat yang masih mendengarkan pendapat dari seorang SBY. Karena itu, Jokowi harus pintar memanfaatkan situasi tersebut, dengan dia mengajak SBY bertemu dan bertukar fikiran, maka akan mendapatkan kepercayaan dari publik. Ibarat sekali dayung dua tiga pulau terlampui. Jokowi mendapatkan sharing pengalaman, dia juga mendapatkan dukungan dari masyarakat yang masih mendengarkan SBY. Lepaskan dulu posisi SBY sebagai Ketua Umum Parpol.
Selain SBY, Jokowi juga meminta masukan dari Habibie, Megawati dan tokoh-tokoh lainnya. Sekarang sudah saatnya melupakan perbedaan pandangan terkait dengan suatu kebijakan, tapi harus bersama mencegah terjadinya hal yang lebih buruk terhadap Indonesia.
Kita tidak ingin anak cucu kita nanti menyalahkan para pendahulunya karena terjadi perpecahan, sehingga cita-cita untuk mensejahterakan rakyat Indonesia secara menyeluruh tidak tercapai.
Penulis: Aliando Ibrahim