(Sekolah Muhammadiyah di Serui, Papua. dok: sang pencerah)
[PORTAL-ISLAM.ID] Ormas Islam Muhammadiyah membuktikan toleransi bukan pada koar-koar dan klaim, tapi bukti.
Salah satu BUKTI nya adalah kiprah Muhammadiyah di Papua, NTT, dll. Muhammadiyah mendidik warga Kristen Papua di sekolah-sekolah Muhammadiyah, mereka juga disediakan guru agama Kristen.
SMK Muhammadiyah Serui, Kecamatan Yapen Selatan, Kabupaten Kepulauan Yapen, Provinsi Papua, memiliki murid yang mayoritas beragama Kristen.
Menurut Sekjen Muhammadiyah Abdul Mu'ti, hal tersebut bukan hal baru bagi Muhammadiyah.
Mu'ti mengatakan SMK Muhammadiyah Serui sejak pertama berdiri pada 2005 memang lebih banyak diisi oleh murid beragama Kristen. Tak hanya di Serui, di beberapa wilayah juga ada beberapa sekolah dan universitas Muhammadiyah yang sebagian besar muridnya beragama Kristen.
"Itu bukan sesuatu yang baru. Dari dulu murid yang beragama Kristen memang banyak. Di beberapa daerah, seperti Papua, NTT, Kalbar, sebagian besar (muridnya) beragama Nasrani," ujar Mu'ti ketika dihubungi, Senin (31/7/2017).
Untuk mengakomodasi para murid yang beragama Kristen, lanjut Mu'ti, pihak sekolah menyediakan guru agama Kristen untuk membimbing para murid. Guru tersebut berasal dari guru tetap Muhammadiyah.
"Dan selama belajar, mereka mendapat pelajaran agama Kristen dari guru. Gurunya itu guru tetap di Muhammadiyah," ucapnya.
Mu'ti juga menyebut tidak pernah ada masalah antara murid beragama Islam dan murid beragama Kristen di sekolah Muhammadiyah.
"Nggak pernah ada masalah sama sekali. Malah guru agamanya datang ke daerah untuk mengajak belajar di Muhammadiyah," ujarnya.
Mu'ti juga menjelaskan mengapa banyak warga di pedalaman yang memilih menyekolahkan anak mereka di sekolah Muhammadiyah. Setidaknya ada empat alasan yang menurut Mu'ti menjadi alasannya.
"Memang sebagian besar karena mutu. Sekolah Muhammadiyah dianggap lebih baik. Kedua, karena biaya bisa dijangkau. Ketiga, pembinaan ekstrakurikuler yang bagus," papar Mu'ti.
"Keempat, jaringan. Misalnya mereka ingin melanjutkan sekolah ke Jawa, itu sering kali kalau di universitas ada prioritas dari perguruan tinggi untuk murid dari Indonesia timur," tutupnya, seperti dilansir detikcom.
Muhammadiyah Tidak "Jualan" Toleransi
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak prihatin karena soal toleransi lebih sering dipertontonkan sebagai komoditas isu ketimbang diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa.
"Ada fenomena di mana toleransi cenderung menjadi jualan di media. Toleransi menjadi komoditas isu," ungkapnya, pada saat acara Dialog Kebangsaan beberapa waktu lalu, seperti dilansir Suara Muhammadiyah.
Semestinya, lanjut Dahnil, toleransi adalah untuk dikerjakan, bukan sekadar dipidatokan apalagi diisukan. Dia mengaku prihatin melihat kecenderungan perdebatan dan stigmatisasi soal toleransi dan anti toleransi. Sebagai bagian dari keindonesiaan yang majemuk, umat Islam menurutnya sudah membuktikan kualitas toleransinya dalam merawat perbedaan.
“Toleransi itu sudah menjadi DNA kita, jadi tidak perlu diperdebatkan. Toleransi jangan hanya menjadi jargon, tetapi harus diaktualisasikan secara nyata dalam kehidupan berbangsa,” tegasnya.
Dan Muhammadiyah sudah membuktikannya dengan amal. Karena Muhammadiyah secara ekonomi sudah mandiri, tak perlu mengemis dana atau sumbangan, tak perlu jilat sana sini, kampanye toleransi, tuduh kelompok lain intoleran, dll.