DEWA PERANG CHINA DI BUMI WALI
Oleh: Ustadz Felix Siauw
Andai saya tidak pernah mengenal Islam, mungkin saya bagian yang senang saat ada patung Kuan Kong yang dibangun di Tuban. Dewa perang gituloh, keren abis.
Apalagi dalam cerita Sam Kok, Tiga Kerajaan, Guan Yu adalah salah satu tokoh yang saya suka selain Zhuge Liang dan Zhao Yun, kekuatannya setara 1000 prajurit.
Yah, kalau di Islam Guan Yu yang dibuat patungnya di Tuban itu setaralah sama Qa'qa' bin Amru At-Tamimi dan adiknya Ashim bin Amru At-Tamimi, satu kelas lah.
Ya tapi itu dulu. Sekarang dapat berita ada patung Kuang Kong di Tuban itu, terus terang saya sangat tidak nyaman. Ditinjau dari beberapa hal, agama dan sosial.
Dari segi agama sudah jelas, patung makhluk bernyawa adalah sesuatu yang sudah disepakati keharamannya. Apalagi dibuat di Tuban yang dikenal bumi wali, kota santri.
Dari segi sosial, saya menyayangkan kaum Chinese di sana yang tidak peka pada kondisi sosial, sehingga membuat sesuatu yang menimbulkan kontroversi dan masalah.
Memang cara paling mudah untuk menunjukkan eksistensi di suatu tempat adalah dengan membangun sesuatu yang sangat monumental, membahana, menggelegar.
Dan saya rasa ini justru semakin menunjukkan ketidakpekaan sosial, pembuat patung itu seolah ingin menampakkan seberapa hebat dia berkuasa dan memiliki kekuatan.
Dulu, landmark itu dibangun sebagai tanda bahwa daerah ini sudah dikuasai dan ditaklukkan, di Tuban yang diambil juga Dewa Perang, apakah itu maksudnya?
Benar di wilayah lain Indonesia juga banyak patung-patung lain, dan itu yang saya maksud diatas, itu tanda kekuasaan, di tempat yang memang mayoritasnya mereka.
Seharusnya pemerintah setempat bahkan pemerintah pusat peka terhadap hal ini, di tengah situasi yang sensitif dan panas, adanya patung ini tidak menambah baik.
Negeri ini mayoritas Muslim, ulamanya juga sangat kompeten, sayang pemerintah yang ada banyaknya justru mencurigai yang mayoritas dan mengabaikan perasaan mereka.***