[PORTAL-ISLAM.ID] Testimoni Niko Panji Tirtayasa dalam forum Panitia Khusus Hak Angket KPK yang terbuka di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa pekan lalu, 25 Juli 2017. mengejutkan banyak orang, lantaran mengungkap sisi gelap para penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam "menggarap" saksi demi memperoleh keterangan sesuai skenario.
"Kalau dicermati secara seksama (penderitaan) yang dialami Niko selama lebih dari satu tahun, menjelaskan kepada kita bahwa (para) penyidik lembaga anti-rasuah itu telah menggunakan metoda EITs (Enhanced Interrogation Techniques) yang pernah dipakai agen-agen CIA (Central Intelligence Agency) untuk mengorek keterangan orang-orang yang dituduh teroris di penjara Teluk Guantanamo, Kuba dan Abu Ghraib, Irak," kata Kordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie M Massardi, Selasa, 1 Agustus 2017.
EITs atau "teknik interogasi yang disempurnakan" memang efektif untuk memaksa pesakitan mengatakan apa saja yang kita ingin dengar dari mereka. Buktinya, menurut para interogrator CIA, dari beberapa teroris di dua penjara paling sangar di muka bumi itu mereka berhasil memperoleh informasi penting mengenai keberadaan Osama bin Laden serta beberapa target yang akan disasar jaringan Al Qaeda.
Namun demikian, setelah teknik interograsi EITs yang keji dan malanggar HAM serius karena menghalalkan penyiksaan fisik secara sadis dan tekanan psikis yang dahsyat, termasuk mengancam anak, isteri dan sanak saudara di luar penjara, oleh Barrack Obama yang baru naik tahta di Gedung Putih, metoda interograsi yang disahkan pada era George W Bush ini dihapuskan.
Benar, pada mulanya CIA membantah pemakaian teknik EITs setelah televisi CBS Amerika menayangkan film penyiksaan terhadap para tahanan di penjara Guantanamo dan Abu Ghraib itu pada April 2004. Tetapi setelah Senat AS membuat Pansus dan membentuk panel independen yang terdiri dari militer, kesehatan, etika dan pakar hukum dan menghasilkan laporan lebih dari 6000 halaman, akhirnya John Brennan, Direktur CIA (waktu itu) mengakui adanya penyiksaan keji dan brutal terhadap para tahanan itu.
"Makanya, sebelum terlalu jauh menyimpang, Pansus Hak Angket KPK harus segera membentuk semacam panel independen guna menyelidiki lebih dalam perilaku penyidik KPK, baik terhadap para saksi maupun tersangka korupsi yang digarap KPK," saran Adhie.
Karena, tutur Adhie, kalau merujuk kepada kasus Niko, apa yang dilakukan KPK berbeda dengan yang dilakukan interogrator CIA. Di Guantanamo dan Abu Grhaib, CIA memang dengan cara keji memaksa (tersangka) teroris mengungkapkan informasi. Sedangkan Niko tidak ada sangkut-pautnya dengan kasus korupsi tapi oleh penyidik KPK dibuatkan skenario pengukuan demi menjerat orang-orang yang ditargetkan KPK menjadi tersangka korupsi, seperti Mukhtar Effendi, Akil Mochtar, Romi Herton dan Budi Antoni Al-Jufri. Untuk itu, penyidik KPK menggunakan teknik EITs a la CIA.
Diharapkan panel independen nanti bisa mengungkap apakah metoda EITs ala CIA yang dipakai penyidik KPK terhadap Niko merupakan inisiatif oknum atau sudah mendapat otorisasi dari institusi.
"Kalau inisiatif oknum, pelakunya harus diproses secara hukum. Tapi kalau sudah mendapat otorisasi institusi (KPK), maka Presiden harus melarang praktek keji itu dilakukan KPK. Karena hal itu melanggar HAM dan sangat tidak cocok diterapkan di negara Pancasila," tegas Adhie Massardi.