by Asyari Usman
(Wartawan Senior)
Novel Baswedan (NB) disiram dengan air keras. Cedera yang dialaminya sangat berat. Ada kemungkinan dia tidak bisa lagi menjalankan tugas sebagai penyidik KPK. Novel “dilumpuhkan” tanpa peluru, tanpa suara tembakan. Tanpa senjata api (senpi). Relatif sulit diungkap karena tidak meninggalkan bekas. Tidak ada selongsongan peluru sehingga polisi “tidak perlu pusing” harus mencari asal-usul peluru.
Hermansyah (HS) ditusuk atau dibacok. Modal kejahatan cuma pisau atau golok. Juga tanpa peluru. Tanpa suara tembakan. Tanpa senpi. Tetapi cedera yang dialami HS cukup menegangkan keluarga dan masyarakat. Dalam kasus ini pun, Polisi “tidak perlu pusing” menelusuri dari mana peluru berasal dan siapa pemiliknya
Dalam kedua serangan ini, perencananya cukup cerdas. Air keras sulit melacak asal-usulnya. Begitu juga pisau, golok, celurit, dlsb. Kalau pakai pistol, misalnya, biasanya opini publik akan segera tertuju ke lembaga yang berwenang menggunakan senpi.
Kelihatanya, cara ini paling ampuh bagi perencana dan pelaku untuk menghilangkan jejak teror mereka. Cara tanpa senpi ini akan mereka gunakan terus jika mereka merasa masih ada lagi orang yang harus disingkirkan. Yang mereka anggap penghalang jalan.
Sebelum lanjut, perlu diperspektifkan bahwa ada dua macam manusia yang paling dibenci oleh kalangan tertentu. Pertama, petugas pemberantasan korupsi (dalam hal ini penyidik KPK). Kedua, Islam dan semua yang terkait dengan aktivitas dakwah. Golongan yang kedua ini sangat luas, meliputi umat Islam dan termasuklah di situ orang-orang yang berpotensi membela para ulama. HS masuk ke dalam kategori ini.
Kembali ke upaya untuk mengungkap teror terhadap NB dan HS. Polisi tidak mencapai progres yang dituntut masyarakat dalam kasus NB. Polisi mengatakan sudah berusaha keras untuk mencari pelaku air keras NB tetapi belum juga menangkap para pelakunya. Kemungkinan besar pelaku teror terhadap HS akan sulit juga diungkap dan ditangkap.
Dulu, akivis HAM yang juga ketua LSM Kontras (Komite utuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), Munir Said Thalib (selalu dipanggil Munir saja), tewas diracun dalam penerbangan dari Singapura ke Amsterdam, 7 September 2004. Dalam proses hukum kasus ini, hanya pilot Garuda (Pollycarpus Budihari Priyanto) yang dihukum. Dia terbukti menaruh racun arsenik ke dalam makanan Munir.
Kasus Munir ini menyita perhatian masyarakat selama bertahun-tahun. Orang-orang yang memahami situasi berkeyakinan bahwa perencana pembunuhan Munir adalah orang kuat yang sedang memegang lembaga istimewa. Lembaga yang terbiasa melakukan operasi-operasi terselubung (undercover).
Jadi, kembali ke kasus teror NB dan HS, kepolisian diperkirakan akan mengalami kesulitan untuk mengungkap perencana serangan ini. Kalau pun nanti ada individu yang dibawa ke meja hijau, tampaknya akan hampir sama dengan jalan cerita kasus Munir. Yaitu, disediakan tumbal untuk dihakimi di pengadilan sebagaimana peranan Pollycarpus.
Semua orang berharap agar tidak ada lagi serangan-serangan teror semacam yang dialami oleh NB dan HS. Tetapi, kelihatannya pihak yang bermusuhan dengan kebenaran tidak mungkin akan berhenti sampai di sini.
Seluruh masyarakat perlu mengamati kemungkinan teror tanpa senpi akan menjadi cara eksekusi untuk menghabisi target sebagaimana yang diperintahkan kepada regu-regu maut.
Mereka ini bisa jadi pembunuh bayaran. Bisa jadi juga kumpulan orang-orang yang dilatih dan dipelihara untuk melenyapkan siapa saja yang dipersepsikan sebagai musuh.
Sebagai penutup, ada reaksi bercanda yang diutarakan oleh sejumlah netizen setelah penyerangan HS. Seorang netizen berkomentar di WA, “Jangan lupa bawa kelewang sewaktu bepergian”. Dijawab oleh netizen yang lain, “Iya, saya bawa parang ”. Kemudian ada yang mengatakan, “Saya bawa linggis.” Yang lain, “Saya bawa golok.”
Meskipun sekadar bercanda, tetapi kalau semakin banyak warga merasakan jaminan keamanan semakin pupus, bisa jadi percandaan ini akan berubah menjadi kenyataan.
(Penulis adalah wartawan senior)