(by Septa Riadi Usman)
Pasca kenaikan TDL, saya agak terkejut dengan pola pikir pendukung setia presiden jokowi (sebagai info, sayapun memilih beliau di 2014) mereka tiba2 menjadi sangat murah hati, merasa kaya, merasa jadi pembela negara, merasa harus menyumbang negara demi pembanguanan infrastruktur. BTW itu sangat baik, dan saya sangat menghargainya.
Tetapi ada satu pokok bahasan yang saya akan singgung disini, mereka kompak mulai dari jubir presiden hingga kroco mumet kompak bersuara jika 90 persen pengguna listrik 900 VA adalah orang kaya.
Mari kita bahas...
Hasil googling sana sini, saya melihat sebenarnya berapa konsumsi watt keluarga miskin dan kaya di Indonesia. Menurut nalar saya, keluarga kaya adalah keluarga yang paling tidak sudah memiliki televisi, penanak nasi listrik (magic jar), lemari pendingin (kulkas), pengkondisi udara (Ac), oven atau kompor listrik, Mesin cuci, dispenser. Mesin pompa air dan beberapa lampu penerangan.
Jika kita jumlahkan watt dari piranti diatas mesin pompa air (300 )+ tv (65)+ kulkas (50)+ magic jar (450) + AC 1/2 pk (450) + oven listrik (500) + mesin cuci (250) + mesin sedot debu (650) = 2715 watt. Itu belum lampu penerangan
Ok kita bisa beralibi bahwa peralatan itu tak menyala bersamaan. Namun jika kita menyalakan hanya 3 alat misal mesin air, magic jar dan ac. Sudah pasti listrik 900 VA tidak akan kuat dan akan turun (mati) dan ini beresiko merusak peralatan elektronik. Yang tentu saja orang kaya menghindarinya.
Sehingga, nyaris kecil kemungkinan orang kaya menggunakn listrik 900 VA.
Selain itu semenjak tahun 2000 PLN tidak mengizinkan pemasangan listrik 450 VA terutama di perkotaan. Semua pelanggan baru diwajibkan mennggunakan listrik 900 va tanpa ampun, mau kaya ataupun miskin. Bahkan 5 tahun terakhir PLN mewajibkan pemasangan daya 1300 VA.
PLN dan pemerintah mengklaim hanya 10 persen orang miskin yang menggunakan listrik 900 VA. Apa benar???? Hanya 4 juta keluarga miskin di Indonesia???
Ada Sekitar 19 Juta Orang Kaya yang Ikut Menikmati Subsidi 900 VA
Link: https://finance.detik.com/energi/3420606/ada-sekitar-19-juta-orang-kaya-yang-ikut-menikmati-subsidi-900-va
Setelah ditelusuri ternyata kriteria miskin pemerintah itu sangat mengenaskan. Orang dianggap miskin jika berpenghasilan dibawah Rp 600.000 per keluarga perbulan. Bagi saya pendapatan 600 ribu itu bukan miskin, tapi fakir. Karena dengan pendapatan terebut jangankan untuk sekolah, untuk Makan saja sulit. Dan katagori ini wajib kita sedekahi. Pantas saja data kemiskinan versi pemerintah indonesia selalu tidak singkron dengan data kemiskinan Bank Dunia.
Menurut bank dunia, miskin itu jika pendapatan per kapita seorang penduduk dibawah 1.5 dolar perhari. Jika kita anggap satu keluarga ada 4 orang dan 1 US dolar adalah 13.000 maka kriteria miskin menurut Bank Dunia adalah keluarga berpendapatan Rp 2.340.000 . Absurd sekali dengan disini.
Dari sini kita bisa melihat miss komunikasi tentang data kemiskinan dan juga berimbas ke segala aspek, baik jaminan kesehatan, pendidikan dan subsidi-subsidi yang layak mereka dapatkan.
Para buruh yang menadapat gaji UMK diatas Rp 2 juta tidak dianggap miskin oleh pemerintah dan tak layak mendapat subsidi apapun. Bahkan buruh cuci yang mendapat gaji 800 ribu sebulan juga tidak dianggap orang miskin oleh pemerintah. Padahal, mau bagaimanapun mengaturnya, pandapatan sebesar itu tidak akan cukup bagi mereka, alibat kenaikan BBM ongkos angkutan kan naik, karena gas naik dan langka uang jajan anak mereka akan bertambah. Belum lagi biaya pendidikan (yang katanya gratis) tetap membebani mereka. Ditambah lagi listrik naik hingga 300 persen, tanpa kenaikan upah yang berarti.
Mereka mungkin hanya orang kecil, buruh, petani kecil yang bingung menyuarakan aspirasinya, yang mungkin hanya bisa menerima.
Tetapi jika mereka merasa tekanan hidup semakin berat, saya takut mereka akan bergerak dan itu berbahaya bagi bangsa karena biaya dari pergerakan masa tak terkendali (seperti tahun 65 dan 98) memiliki konsekuesi yang sangat besar dan berbiaya sangat mahal.
Jadi mohon pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan-kebijakan yang kurang pro rakyat miskin.
*Sumber: fb penulis