[PORTAL-ISLAM.ID] Masalah rezim Jokowi kini adalah terus mengalami penggerusan atau penurunan elektabilitas menjelang Pilpres 2019. Survei Kompas April 2017 menunjukkan elektabilitas Jokowi 41,6 persen. Sebelumnya Menko Maritim melaporkan, elektabilitas Jokowi di atas 50 persen. Padahal pesaing nyata belum muncul mempengaruhi rakyat untuk memilih. Jokowi satu-satunya yang dipercaya publik akan tampil lagi sebagai Capres Pilpres 2019 mendatang. Waktu pemungutan suara masih dua tahun lagi. Relatif masih panjang waktu bagi Jokowi mempertahankan elektabilitas jika mampu dan berhasil.
Kini fakta jelas menunjukkan, Ahok kalah dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu, padahal didukung rezim Jokowi dan parpol-patpol pendukung Jokowi seperti PDI P, Golkar, Hanura, Nasdem, PKB bahkan PPP. Maka pasca Pilgub DKI, baik melalui hasil survei maupun sosmed dan media massa kecenderungan penggerusan itu atau penurunan elektabilitas Jokowi semakin terlihat dan menjadi realitas obyektif. Diperkirakan telah di bawah 40 persen menuju 30 persen, suatu kondisi “lampu merah” atau kekalahan Jokowi pada Pilpres 2019.
Sebagai pemegang kekuasaan negara, rezim Jokowi pasti berusaha mempertahankan kekuasaan melalui Pilpres 2019 mendatang. Sementara mereka sesungguhnya menyadari adanya penurunan elektabilitas secara terus menerus.
Di lain pihak, rezim tak mampu meningkatkan kondisi kinerja urusan sosial ekonomi atau perekonomian nasional. Indikatornya, beragam subsidi untuk rakyat dicabut dan tingkat pertumbuhan tetap sekitar 5 persen, padahal janji kampanye minimal 8 persen. Utang pemerintah terus meningkat dan mendapat kecaman dari kelas menengah perkotaan.
Bank Dunia menyatakan, Indonesia hadapi masalah serius dan sulit: 1. Inflasi tinggi 2. Daya beli masyatakat turun. Pertumbuhan ekonomi hanya sekitar 5 persen. Itupun ditopang tambahan utang pemerintah lebih 1.000 triliun dalam 2,5 tahun terakhir .
BPS menekankan, tingkat kemiskinan semakin dalam.
Kemiskinan semakin sulit untuk dientaskan. Total jumlah penduduk miskin mencapai 27,77 juta orang pada Maret 2017. Angka ini naik sekitar 6.900 orang dibandingkan September 2016.
Indeks kemiskinan semakin dalam dan semakin parah selama periode September 2016 – Maret 2017. Menaik 1,83, dari September tahun lalu (hanya 1,74). Indeks keparahan kemiskinan juga mengalami kenaikan dari 0,44 pada September 2016 menjadi 0,48 pada Maret 2017.
Bahkan, rezim tak mampu merealisasikan lebih 100 janji kampanye Pilpres 2014 lalu. Alias, “Ingkar Janji”.
Untuk memecahkan permasalahan terus menurunnya elektabilitas Jokowi ini, rezim membuat kebijakan dan strategi penggunaan kekuasaan negara dan kekerasan “administratif”, bukan kekerasan “fisik”.
Langkah pertama melakukan kriminalisasi terhadap aktivis dan Ulama oposisi atau anti rezim. Kriminalisasi dimaknakan dengan menggunakan lembaga penegak hukum, aktivis dan ulama ditangkap dan dijadikan tersangka. Ada tidak ditangkap dan dijadikan tersangka. Bahkan, ada ditangkap dan ditahan hingga tiga bulan, dijadikan tersangka tanpa pengadilan. Ada juga ditangkap, diarahkan dan dipenjarakan serta diadili, divonis atas semula tuduhan Makar berubah menjadi melanggar UU ITE.
Kriminalisasi juga berlaku terhadap kaum Nasionalis seperti Amien Rais, Kivlan Zein, Adityawarman, Rachmawati, Sri Bintang Pamungkas, Hatta Taliwang, Ratna Sarumpaet, Rijal Ijal (Kobar), Jamron (Amju), Buni Yani, Faizal (Kobar) dalam beragam tuduhan termasuk “makar” dan melanggar UU ITE.
Langkah kedua, mengakomodir atau memfasilitasi kelompok Islam politik baik dengan iming2 rekonsiliasi maupun bantuan atau kerjasama ekonomi. NU telah mendapatkan pengakuan dan kebijakan rezim untuk menyalurkan Rp. 1,5 triliun antara lain untuk permodalan usaha ultra mikro ekonomi. Bagaimanapun, pemberian bantuan rezim ini diharapkan sikap NU mau mendukung rezim dan juga warga NU diharapkan memberi suara kepada Jokowi pada Pilpres 2019. Melalui bantuan ini diharapkan dapat mendongkrak elektabilitas Jokowi.
Langkah ketiga, penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2017 ttg Ormas agar Rezim mudah membubarkan Ormas yang oposisi terhadap rezim sembari menggiring supaya tidak oposisi secara terbuka.
Perppu ini merupakan keputusan politik untuk mengendalikan perilaku politik Ormas. Nantinya, Ormas mendukung Rezim atau minimal tidak menjadi kekuatan oposisi. Perppu itu merupakan instrumen kekerasan administratif terhadap Ormas sehingga, tidak menjadi oposisi terhadap eksistensi dan kebijakan Politik saat ini. Dengan Perppu ini, rezim tidak perlu menunggu atau bergantung pada proses peradilan untuk membubarkan Ormas. Rezim memberi izin sekaligus rezim pula mencabut izin tsb. Alasan pembubaran Ormas semata-mata dibuat rezim, bukan para hakim di pengadilan. Akibatnya, Ormas takut mengecam dan mengkritisi rezim sehingga bisa hentikan kekuatan oposisi menggerus elektabilitas Jokowi.
Hanya beberapa hari Perppu diterbitkan, rezim langsung membubarkan Ormas Islam HTI. Secara sepihak 19 Juli 2017 Kemenhumkan resmi tanpa proses peradilan mencabut status badan hukum HTI disertai pembubaran ormas berstatus badan hukum perkumpulan itu. Kewenangan rezim membubarkan HTI ini diberikan Perppu No. 2 Tahun 2017 tsb.
Langkah keempat, pemblokiran aplikasi sosmed Telegram supaya tidak bisa digunakan untuk kampanye publik oposisi terhadap rezim. Tidak hanya Telegram, rezim juga menyatakan, jika terpaksa harus ditutup, akan memblokir media sosial lain seperti Youtube, Facebook dsb.
Diduga rezim akan memblokir juga WA, Twiter, dan Facebook jika aplikasi-aplikasi ini digunakan oleh kekuatan oposisi atau anti rezim untuk mempengaruhi rakyat pemilih agar elektabilitas Jokowi tergerus dan kalah pada Pilpres 2019. Langkah rezim memblokir Telegram sebagai langkah kemunduran teknologi di tengah kemajuan zaman.Seyogyanya jika rezim memang miliki keluhan soal konten, tentu bisa langsung disurati ke Telegram. Tapi, faktanya menurut CEO Telegram, belum menerima permintaan resmi dari Indonesia. Banyak kerugian dialami masyarakat jika Telegram dan aplikasi media sosial ditutup dari segi pertumbuhan ekonomi. UMKM banyak merugi, dan omset pedagang online menurun signifikan. Rezim tak peduli dampak negatif terhadap pendekatan masyarakat dari pemblokiran Telegram ini.
Langkah kelima, bertahan agar ketentuan Presidential Threshold (PT) berlaku pada RUU di DPR. Rezim berjuang agar PT 20-25 persen. Hal ini dimaksudkan agar tidak muncul pesaing banyak (Capres) dan dinilai memiliki kompetensi jauh lebih bagus ketimbang Jokowi. Ada dugaan, jika berhasil hanya 20-25 persen, maka rezim percaya, pesaing Jokowi paling berat pada Pilpres 2019 hanya Prabowo. Jokowi pernah kalahkan pada Pilpres 2014 lalu.
Seorang pakar hukum mengkritik, penerapan PT ini sebagai permainan politik partai besar dan konspirasi jahat untuk menghalangi peluang bagi munculnya Capres lain di luar dirinya.
Bahkan, ada tudingan terbuka di publik bahwa rezim mempertahankan angka 20-25 persen ini untuk menggagalkan Prabowo sebagai Capres dan Calon Tunggal, hanya Jokowi semata. Tudingan ini mendapat bantahan dari Rezim, yakni Menko Polhukam dan Mendagri.
Akhirnya, rezim berhasil. Rapat paripurna DPR secara aklamasi memutuskan pengesahan RUU Pemilu, 21 Juli 2017 dini hari, menetapkan ambang batas pemilihan presiden sebesar 20% dari kursi DPR atau 25% suara sah nasional pemilu legislatif. Parpol dapat mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden jika menduduki setidaknya 20% kursi DPR. Pengesahan ini diwarnai Walk Out Fraksi Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN. Total anggota hadir 538 orang, pendukung keputusan ini 322.
Di masa mendatang, khususnya menjelang Pilpres 2019, Kita akan terus menghadapi dan menemukan langka2 Rezim sebagai strategi penggunaan kekuasaan negara dan kekerasan administratif dalam rangka meningkatkan elektabilitas Jokowi dan kemenangan pada Pilpres 2019.
Pertanyaan pokok kini: apakah rezim akan berhasil melaksanakan strategi dimaksud?
Sepertinya, strategi ini justru kontraproduktif terhadap upaya peningkatan elektabilitas Jokowi.
Jika semula yang paling intens melakukan perlawanan adalah kelompok partai Islam, kini kekuatan kelas menengah perkotaan kian bersikap oposisi. Mengapa?
Pertama, rezim Jokowi belum mampu dan berhasil membuktikan prestasi urusan pemerintahan/negara, terutama bidang sosial ekonomi atau perekonomian. Pada hal waktu kekuasaan rezim tinggal dua tahun lagi.
Kedua, penerbitan Perpu Ormas telah mengancam eksistensi ormas kelas menengah perkotaan juga, baik dalam bentuk Yayasan maupun Perhimpunan. Mereka sudah menyadari, penerbitan Perppu itu bukan semata untuk HTI, tetapi semua Ormas suka mengkritik penyelenggara negara. Berbagai perguruan tinggi, Yayasan, NGO’s dan pakar hukum telah mengecam dan menuntut Perppu tsb dicabut dan ditolak DPR. Mereka ini tergolong dari kelas menengah perkotaan.
Bagaimanapun, penerbitan Perppu bisa merubah sikap Ormas non Islam politik pendukung Jokowi menjadi meragukan dan mempertimbangkan tak lagi mendukung Jokowi pada Pilpres 2019.
Salah satunya, Ormas buruh KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia). Melalui akun resmi di twiiter @FSPMI_KSPI, KSPI mengadakan polling ttg Perppu Ormas. Hasilnya, 92% pengguna twitter menolak Perppu Ormas, dan hanya 6% menerima, dan 2 persen menjawab tidak tahu. Polling ini diikuti 12.977 responden. Rata2 berkomentar, Perppu Ormas berpotensi membahayakan demokrasi dan kebebasan berserikat di kalangan buruh.
Dapat diperkirakan, terus menurunnya elektabilitas Jokowi ini diperkuat bertambahnya aktor dan kelompok aksi kelas menengah perkotaan mengkritik dan mengecam rezim karena kebijakan dan strategi penggunaan kekuasaan negara berdasarkan kekerasan administratif ini, antara lain penerbitan Perppu Ormas dan pemblokiran aplikasi Telegram yang merugikan kepentingan pelaku UMKM dan pengguna aplikasi Telegram (pedagang online).
Dilaporkan di beberapa portal sosmed, reaksi publik cukup negatif terhadap Jokowi segera setelah penerbitan Perppu Ormas dan pemblokiran Telegram.
Pertama, hestek #BlokirJokowi jadi Trending Topik. Baru kali ini rakyat memblokir Presiden. Ternyata warganet bahkan beramai-ramai melaporkan akun resmi Jokowi ke pihak twitter.
Kebijakan rezim Jokowi tidak dibeli atau bahkan ditolak masyarakat. Rezim merugi karena barangnya tidak laku dijual. Rezim seperti ini dalam alam demokrasi tentu tidak akan dipilih lagi pada pemilihan berikutnya. Rezim ini tidak inovatif, menjual kebijakan tak laku dan tak enak dinikmati rakyat.
Kedua, hasil Polling Twitter terbaru menunjukkan, 85% responden menyatakan “tidak akan” memilih Jokowi jika maju kembali dalam Pilpres. Jika Pilpres dilakukan hari ini dan nama Jokowi ada di surat suara,
akankah Anda memilihnya? Demikian pertanyaan dalam Polling Twitter yang digelar 15-16 Juli 2017. Hasilnya? Dari 11.924 responden,
85% menjawab ” tidak”, hanya 15% menjawab “ya”.
Karena itu, adalah masuk akal pendapat, realitas obyektif menunjukkan, semakin menurunnya elektabilitas dan sangat mungkin Jokowi gagal meraih kembali kekuasaan negara pada Pilpres 2019.
Penulis: Muchtar Effendi Harahap
Editor: Portal Islam [*]