[PORTAL-ISLAM.ID] Untuk mengukur legitimasi kekuasaan, tidak perlu belajar sampai larut malam. Kalau Anda seorang kepala rumah tangga, amati saja apakah “rakyat” di rumah Anda masih respek kepada Anda. Kalau mereka hormat, dalam arti menghargai dan rela mengikuti bimbingan Anda, itu pertanda legitimasi Anda di lingkungan keluarga masih tinggi.
Sebaliknya, kalau bimbingan Anda, norma-norma yang Anda tetapkan di rumah tangga tidak lagi dihiraukan, itulah pertanda legitimasi kepemimpinan Anda sudah hilang.
Analogi ini lebih-kurang aplikatif juga untuk jabatan publik apa saja, termasuk presiden. Meskipun kompleksitas situasi antara seorang kepala rumah tangga dan seorang presiden, akan sangat jauh berbeda. Namun, prinsip dasar cara kerja legitimasinya sama. Begitu juga gejala-gejala yang menunjukkan legitimasi yang mulai lemah dan kemudian hilang, sama saja antara seorang ayah dan seorang presiden.
Seorang kepala rumah tangga yang tidak lagi dihormati, sama saja cirinya dengan seorang presiden yang tidak diindahkan. Begitu juga solusi yang biasanya ditempuh oleh seorang kepala rumah tangga yang tak punya legitimasi, persis seperti solusi yang akan diadopsi oleh seorang presiden yang kehilangan legitimasinya.
Kalau biasanya seorang ayah yang kehilangan legitimasi akan cenderung menampakkan sikap otoriter, begitu jugalah seorang presiden yang tidak punya legitimasi. Kalau seorang ayah tidak lagi bisa berkomunikasi dengan anaknya, seorang presiden pun akan kesulitan bersilaturahim dengan rakyatnya.
Kalau seorang ayah yang tak punya legitimasi akan mengeluarkan aturan baru untuk keluarganya, seorang presiden juga akan memerintahkan para menteri untuk menyusun dan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti UU yang di Indonesia terkenal dengan akronim Perppu.
Sang Ayah dan Sang Presiden sama-sama kehilangan legitimasi. Sama-sama menempuh cara yang tidak lagi menunjukkan keharmonisan. Sang Ayah sekarang menjadi otoriter, begitu juga Sang Presiden. Sang Ayah mengunci anak-anaknya di rumah, Sang Presiden mengunci mulut rakyatnya dengan ancaman-ancaman.
Sang Ayah membubarkan paksa anak-anaknya yang sedang bermain ceria, Sang Presiden membubarkan apa saja yang dianggap mengancam kekuasaannya. Sang Ayah bertindak dengan bisikan setan, Sang Presiden bertindak dengan bisikan edan. Sang Ayah berperilaku semakin kalap, Sang Presiden bertindak semakin kelam.
Itulah legitimasi yang hilang. Dari situ pula akal sehat akan terbuang. Sang Ayah bisa berubah menjadi kejam, Sang Presiden bisa berubah menjadi sangat kejam.
Bisakah legitimasi dipulihkan? Tentu bisa. Melalui proses rekonsiliasi. Sang Ayah berdamai dengan anak-anaknya, kembali merebut kasih sayang mereka. Perilaku Sang Ayah yang menjadi penyebab kehilangan legitimasi, harus distop. Hentikan kebohongan, penipuan, perselingkuhan, kemunafikan, serta pemikiran dan rencana-rencana yang buruk.
Akankah legitimasi menjadi utuh kembali? Tergantung suasana di mana Anda berada. Di belahan bumi yang lain, legitimasi kekuasaan publik sejak awal diperoleh dengan bekal kemampuan, kecerdasan, dan kualitas personal yang tinggi. Di dunia bekermbang, maaf, legitimasi bisa saja direbut dengan cara-cara yang aneh, bahkan ilegal.
Di belahan yang lain, kehilangan legitimasi kekuasaan biasanya dijawab dengan langkah yang gentlemen. Anda baca berita tentang perdana menteri, presiden, menteri, atau bahkan manajer klub sepakbola, yang mengundurkan diri.
Penulis: Asyari Usman (Mantan Wartawan BBC)