[PORTAL-ISLAM.ID] Salah satu hasil dari reformasi yang dirasakan masyarakat adalah pemilihan langsung calon Presiden. Semua orang mendapatkan kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai orang nomor satu Indonesia tersebut, dan Jokowi adalah salah satu buktinya.
Dalam kurun waktu tidak lebih dari tiga tahun, Jokowi yang berasal dari kota Solo bisa berkantor di Istana Merdeka. Lompatan yang luarbiasa dan tidak mungkin hal itu bisa terjadi jika Presiden masih dipilih oleh MPR RI. Meskipun tahun 2014 Pileg dimenangkan PDI P.
Jokowi juga harus berterimakasih kepada media sosial yang telah membesarkan namanya. Berkat media sosial, Jokowi mendadak populer di Indonesia. Pemberitaan tentang Jokowi viral dimedia sosial, mulai dari mobil Esemka, blusukan hingga rindu didemo. Ditambah lagi Jokowi mendapatkan dukungan penuh dari kelompok anak muda yang fokus melakukan pencitraan, seperti yang dilakukan Jasmev.
Berkat media sosial jugalah janji-janji kampanye Jokowi tersebar keseluruh antero negeri. Kebetulan tahun 2014 angka pengguna media sosial di Indonesia telah mencapai angka puluhan juta. Mulai dari janji tidak akan menambah hutang, membuat E-Goverment dalam dua minggu hingga tidak bagi-bagi kursi menteri.
Presidential Threshold Membunuh Demokrasi
Saat ini RUU Pemilu masih mengalami kebuntuan. Salah satu penyebabnya adalah belum ditemukannya kata sepakat soal presidential threshold (PT). Pemerintah bersama beberapa partai koalisi menginginkan angka 20 persen, sedangkan partai diluar pemerintahan dan PAN ingin 0 persen.
Dulu PT ditetapkan karena pemilihan presiden dilaksanakan setelah Pileg. Sedangkan saat ini Pileg dan Pilpres dilaksanakan serentak. Kondisi akan semakin rancu jika pemilu diadakan serentak, sementara peraturannya mengacu pada UU yang lama, yakni UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif, serta UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Pemerintah bahkan mengancam akan menarik diri dalam pembahasan RUU Pemilu dan berencana menerbitkan Perppu agar keinginannya tercapai. Kengototan pemerintah bersama partai pendukungnya memunculkan dugaan ada skenario yang sedang dimainkan. Jika memang mau menyederhanakan atau menertibkan partai, seharusnya Parliamentary Threshold yang dinaikkan. Kenapa Presidential Threshold justru yang dipertahankan.
Dengan komposisi partai yang berada dibelakang pemerintah, tentu hal ini akan mengancam demokrasi. Karena bisa saja akan muncul calon tunggal dalam Pilpres mendatang, artinya masyarakat tidak akan mendapatkan kesempatan memilih dari beberapa calon yang ada. Pemilih akan dipaksa untuk menentukan sikap terhadap calon tunggal.
Hampir sama dengan Pilkada yang menghadapkan petahana dengan kotak kosong. Jika masyarakat tidak menerima calon tunggal tersebut, kondisi tentu akan lebih buruk karena siapa yang akan menjadi pemimpin. Atau dalam Perppu yang akan diterbitkan nanti ada kemungkinan disebutkan jika kondisi itu terjadi, maka petahana akan terus menjabat.
Dan tidak tertutup kemungkinan jika Pilpres 2019 nanti hanya ada satu calon, bisa saja menjelang tahun 2024 UUD 45 akan kembali diamandemen diganti. Sehingga masa jabatan Presiden tidak dibatasi, seperti Presiden RI pertama dan kedua. Soekarno menjabat mulai tahun kemerdekaan 1945 hingga 1966, sedangkan Soeharto mulai efektif mengambil alih kekuasaan sejak 1966 hingga 1998.
Segala kemungkinan itu bisa saja terjadi. Lalu apa bahayanya buat bangsa Indonesia, mulai dari pemimpin otoriter, menyalahgunakan kekuasaan, regenerasi kepemimpinan nasional macet, bisa menjadi diktator, timbulnya kultus individu.
Ancam Blokir Medsos
Sejak Pilkada 2012, Media sosial menjadi alat kampanye yang ampuh untuk mencitrakan seseorang ataupun menghancurkan kredibilitas orang lain. Belakangan ini harus diakui banyak berita hoax atau ujaran kebencian yang disebarkan melalui media sosial. Namun, harus diketahui salah satu yang melakukan hal tersebut adalah pendukung Jokowi. Bukan saja kelompok yang kontra dengan Presiden RI ke 7 tersebut.
Pernyataan Menkoinfo yang mengancam memblok media sosial memunculkan pertanyaan. Apakah tindakan itu dilakukan disaat pendukung Jokowi dimedia sosial sudah mulai kewalahan, atau memang karena memang tidak ada lagi solusi lain. Saat ini publik menjadikan media sosial sebagai sarana untuk bertukar informasi, ditengah makin tidak dipercayanya media konvensional.
Tidak jarang informasi yang disebar melalui media sosial dapat mematahkan framing berita yang dibuat oleh media massa. Ditambah lagi media massa sudah banyak yang dikuasai oleh orang-orang politik. Ketidak percayaan publik tersebut disikapi dengan menjadikan media sosial sebagai ujung tombak dalam menyampaikan kritikan terhadap pemerintah.
Sebenarnya cara untuk menghentikan penyebaran hoax sangat sederhana, Menkoinfo dan penegak hukum berbuat adil. Jangan hanya menghukum salah satu pihak, sedangkan pihak yang lain bebas untuk melakukan perbuatan yang menyakiti orang lain. Jika itu terjadi yakinlah, siapapun dan dari pihak manapun akan menahan diri menyebarkan ujaran kebencian.
Untuk itu, Jokowi janganlah kacang lupa kulitnya. Berkat demokrasi melalui pemilihan langsung dan bantuan media sosial dia bisa menjadi Presiden seperti saat ini. Kenapa harus menghancurkan demokrasi dan wadah berekpresi masyarakat?.
Penulis: David Wahyudi