Fahri, nama yang sering menguji. Fahri pertama, tokoh protagonis nyaris sempurna dalam sebuah novel “Islami”, yang kemudian difilmkan. Banyak aktivis dakwah pria mendamba seperti Fahri. Yang perempuan: ingin lelaki seperti dia; atau setidaknya mendekati.
Fahri di novel tersebut sebenarnya ujian kewarasan kita menerima keadaan. Juga menguji perjuangan berproses alih-alih menerima hasil sempurna seketika. Tiada yang “sempurna” tanpa menempa diri dan menyadari realitas di depan mata.
Fahri kedua sesosok politisi. Ia menguji kematangan juga kewarasan berpikir kita. Ia, sebaliknya dari yang pertama, kadung oleh banyak pihak dianggap antagonis. Dari gaya bicara sampai gagasannya dinilai “tak beradab”. Meski di kemudian hari dari gagasan tersebut ada yang perlahan-lahan relevan untuk diterima ataupun masuk akal adanya.
Bila Fahri pertama didamba sesiapa saja; Fahri kedua justru diamit-amiti. Seakan kudis yang menjijikkan. Tak hanya kalangan pendukung kekuasaan, bahkan islamis pun sebagian masih memendam curiga. Fahri pertama menguji nalar dan hati buat menolehi diri: pantaskah kita mendamba impian. Sementara Fahri kedua menguji kesiapan kita: kok mengapa dia yang hadir di tengah kita?
Kemenangan dan kejayaan perlu proses. Bukan pula menanti bak hujan dari langit. Ia perlu diproses agar sesuai cita yang dinubuwahkan. Futuhat adalah narasi tekad, airmata, dan cerca. Bukan melulu pujian dan sanjungan. Bila hanya puja-puji, kita tak kenal Ibn Khaldun, sebab ia pun reputasinya tak baik-baik amat dalam karier politiknya. Tapi di sebalik jatuh dan bangunnya Khaldun, di puing cerca dan sanjungan lawan atau kawan, pembacaan dan refleksinya kelak melampaui zaman. “Al-‘Ibar wa ad-Diwan” buktinya.
Di sini kita puji tinggi-tinggi Recep Tayyip Erdogan sebagai pembela umat Islam. Lupa bagaimana ia menapaki dengan airmata dan cerca. Dimusuhi dan diboikot oleh kawan seperjuangan yang sama-sama berikrar dalam dakwah. Kita ambil ketika ia sudah jaya; menyukai hasil ketimbang proses menempa dan bertransformasi. Kita tampaknya biasa ingin mendapat hasil hasil. Atau kalau mau berproses, masih menyisakan ruang hitam putih menilai. Kadar menyangka buruk, bersyak wasangka, masih tebal ketimbang menenggang firasat.
Maka tak heran kalau soal menerima manusia semodel Fahri kedua adalah indikator kedewasaan muslimin. Seberapa cakap menggunakan kaidah ilmu dan kedewasaan berbeda. Ringkasnya, bagaimana mereka menyiapkan untuk melabuhi zaman yang tidak memadai disigi dengan hitam atau putih dan saat yang sama ingin kita ideal proses yang dilalui. Kaidah hasil yang baik diperoleh dari proses yang baik pun jadi legitimasi. Lupa bahwa kaidah ini tak menepikan kenyataan (waqi’) dan prioritas pergerakan.
Tentu saja menyalahkan para pencibir Fahri kedua tak elok. Atau memandang merek masih kolot dan tak dewasa; ini pun tak patut. Ini soal kerja sama menebarkan mufakat firasat terhadap para al-akh. Agar tak ada beda frekuensi berharakah yang “kagetan”. Atau instan mau terima hasil akhir yang apik saja.
Di sinilah model berpikir ala Fahri kedua perlu dikonkretkan. Dijelaskan dengan rasional dan runtut agar memadai sebagai sebuah kajian bahkan disiplin. Ia berhak ada sebagaimana minda lainnya. Epistemologi Fahri syukur ada dicetus para pendukungnya. Kemudian disemaikan dalam ragam aktivitas literasi baik digital maupun konvensional tercetak. Agar publik jadi cerdas dalam melihat satu soalan. Terlebih lagi aktivis Islam.
Melatih menerima cara berpikir Fahri memang tak semudah mengenalkan Fahri pertama. Imajinasi pada sosok sempurna lebih disuka sebagian kita ketimbang kenyataan pahit jadi kepompong untuk kemudian jadi kupu-kupu indah. Kita terbiasa memimpi kupu-kupu indah dari awal. Lupa bahwa ia hadir dari ulat yang menjijikkan.
Yusuf Maulana
Pensyarah KA KAMMI
*Sumber: http://kakammi.or.id/fahri-sebagai-ujian/