Oleh Tarli Nugroho
(Pengamat Politik)
Saya mengapresiasi pilihan Fahri Hamzah untuk tidak walk out dinihari tadi. Itu pasti pilihan sulit. Tapi dia berani memikul tanggung jawab itu meski tahu akan dicemooh oleh banyak orang.
Apakah pilihan bertahan dalam sidang itu menguntungkannya?! Tentu saja tidak. Tapi toh dia mau tetap bertahan di sana meskipun hal itu merugikan dirinya.
Banyak orang mungkin tidak paham bahwa jika Fahri ikut walk out, maka Rapat Paripurna tadi malam akan deadlock, karena rapat pengambilan keputusan memang harus dihadiri oleh minimal dua pimpinan. Dan kalau deadlock, maka RUU Pemilu jadi tak bisa disahkan menjadi UU. Itu hal yang buruk, karena bagaimanapun penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 harus segera memiliki dasar hukum yang jelas, lepas dari soal apakah ada cacat atau tidak dalam dasar hukum tersebut.
Jadi, meskipun saya pribadi tak setuju dengan angka Presidential Threshold (PT) 20%, dan menganggapnya sebagai ketentuan yang berbahaya–sebagaimana halnya penilaian empat partai yang memilih walk out dinihari tadi, namun lima ratusan pasal lainnya yang telah disepakati memang harus segera ditetapkan menjadi UU, dan itu harus melalui Rapat Paripurna yang legitimate.
Ketika negosiasi politik menemui jalan buntu, penyelesaian terkait ketidaksetujuan terhadap angka PT 20% memang harus diselesaikan melalui jalur lain (baca: hukum), yaitu melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi, sehingga tak membuat mandek tahapan pemilu lainnya.
Kini kita tinggal mencermati apakah para hakim Mahkamah Konstitusi nantinya masih tetap bisa menjaga marwahnya atau tidak. Bagaimanapun, sesudah kepemimpinan Jimly Ashidique dan Moh Mahfud MD, kita belum pernah lagi menyaksikan keputusan-keputusan penting dilahirkan oleh MK.
Kembali kepada Fahri, sejak membaca Kitab Tripama saya selalu belajar untuk menghargai orang-orang yang berani mengambil pilihan sulit dalam hidupnya, dan menghindari untuk menilai segala sesuatu hanya dari persepsi kebanyakan orang.
Mungkin bertahannya Fahri adalah hasil kesepakatan politik dengan pimpinan lainnya (minus Novanto) dari empat partai yang walk out, bahwa meskipun keputusan untuk walk out telah diambil, namun sidang itu tak boleh deadlock, sehingga salah satu dari empat pimpinan harus ada yang mengalah untuk tetap bertahan mendampingi Setya Novanto.
Dari sini kita juga bisa belajar bahwa tak pernah ada skenario dari empat partai yang walk out dinihari tadi untuk membuat deadlock pembahasan RUU Pemilu. Seruncing apapun perbedaan, kemaslahatan yang lebih besar memang tak boleh dikorbankan. Kita bisa menyaksikannya pada malam hingga dinihari tadi.
Posisi itu berbeda sama sekali dengan ancaman deadlock yang berkali-kali dilontarkan pemerintah. Apa sebenarnya yang ingin mereka menangkan dengan ancaman deadlock itu?!
Kini Anda bisa membuat penilaian.
Sumber: https://www.kanigoro.com/sesudah-ruu-pemilu-disahkan/
___
Pasal 228: