ERDOGAN Reinkernasi TURKI USMANI
Sejak Ahad, 23 Juli 2017, presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengadakan kunjungan kerja ke 3 negara teluk. Kunjungan Presiden Erdogan ke 3 negara teluk adalah langkah diplomatik tertinggi yang sejauh ini diambil dalam sengketa Qatar.
Dimulai di Arab Saudi dimana Erdogan bertemu Raja Salman bin Abdulaziz, dan Putra Mahkota Muhammad bin Salman yang baru menjabat kurang satu bulan. Dalam pertemuan ini, belum dicapai kemajuan dalam penyelesaian sengketa antara negara-negara Gulf Cooperation Council (GCC) dengan Qatar. Meski begitu, kedua negara menekankan komitmen mereka akan pentingnya kerjasama di berbagai bidang dan persaudaraan ditengah penindasan Al-Aqsa.
Dalam perannya sebagai mediator krisis Qatar, Erdogan juga mengunjungi Kuwait dimana beliau diterima Emir Al-Sabah. Kunjungan Erdogan ini dilakukan untuk membantu koordinasi dan mengintensifkan mediasi antara pihak yang bersengketa.
Keesokan harinya (Senin 24 Juli 2017) presiden Erdogan bertolak ke Qatar, negeri liliput yang gaungnya mengguncang dunia.
Pada awal Ramadan kemarin, 3 negara Teluk yaitu Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain dan ditambah Mesir menerapkan blokade tak resmi pada Qatar karena berbagai tuduhan seperti memfitnah Saudi, bekerjasama dengan Iran menyabotase teluk, mendanai “teroris” Hamas, propaganda melalui Al-Jazeera, dan berbagai hal lainnya. Meski berbagai tuduhan itu tidak terbukti ataupun dilebih-lebihkan, dan tindakan-tindakan mereka melanggar berbagai hukum, mereka bersikukuh memblokade. Awalnya, Qatar terlihat akan tumbang. Apalagi, bersama Amerika, Uni Emirat sempat mewacanakan pergantian rezim. Andai tidak ada peran Turki, mungkin itu sudah terwujud.
Hanya sehari sesudah sengketa mencuat, parlemen Turki dimotori oleh partai berkuasa AKP dan oposisi loyal MHP memasukkan legislasi yang berisi kerja sama militer dengan Qatar berupa pembukaan pangkalan militer Turki di Tariq bin Ziyad (Qatar), pengiriman 5000 pasukan darat, plus 100 tank, puluhan jet tempur hingga program pelatihan tentara Qatar oleh Turki ke prioritas majelis. Tak lama setelah legislasi disahkan parlemen ditengah boikot oposisi sekuler, Turki langsung menerjunkan 5 tank dan 25 pasukan sebagai pendahuluan. Tidak hanya itu, Turki juga menegaskan bahwa dukungan diplomatik dan pemerintahan akan bersama Qatar. Tidak henti-hentinya Erdogan himbau semua pihak melakukan rekonsiliasi. Melalui kontak dengan Kuwait, Iran, Pakistan, Jerman, Rusia dan Inggris, Kementerian Luar Negeri Turki sukses menggalang dan membantu koordinasi dukungan internasional untuk Qatar. Bahkan Erdogan menelpon langsung Presiden Perancis dengan hasil positif. Rakyat Turki secara spontan mengadakan aksi solidaritas Qatar di Istanbul dan Ankara, dan tak terhitung banyaknya pengusaha asal Turki mengirimkan kargo berisi puluhan ribu ton makanan pada pedagang Qatar melalui laut dan udara.
Tindakan Turki bukan tanpa resiko. Turki paham bahwa pangeran Bin Salman, dipayungi media UEA dan dibeking Amerika akan segera mengirimkan pasukan masuk Qatar untuk menggulingkan dinasti Tamim. Kalah cepat, Turki akan menghadapi saudara sesama muslim (perang). Kalah siasat, bisa membuât Turki terkucil seperti pasca kudeta Mursi tahun 2013 di Mesir. Hujan serangan propaganda dari media pro-GCC yang bisa mengubah opini, terngiangnya tabiat Saudi yang sering “ngambek” saat tak sepaham, kekuatan Amerika yang membayang-bayang, dan kondisi dalam negeri Turki yang sempat panas karena oposisi sekuler-kiri mendadak mengadakan long march memprotes Erdogan, belum mengenai investasi Turki di kawasan dan investasi GCC di Turki, masing-masing bernilai besar, ekonomi Turki pasca kudeta butuh keduanya.
Tapi Erdogan paham, menjaga keadilan dan persaudaraan lebih berharga dibanding semua resiko itu. Ia paham bahwa membantu Qatar sama dengan membantu kepentingan Turki serta umat Islam sendiri. Karena bila Tamim tumbang, sasaran selanjutnya adalah Turki, terbukti dari permintaan Mesir untuk GCC ikut memblokade Turki. Bila Tamim tumbang, maka kekacauan timur Tengah akan bertambah, umat ribut sendiri, dan Suriah serta Al-Aqsa akan benar-benar terabaikan. Bila Tamim tumbang, narasi bahwa Hamas teroris akan menguat, dan perlawanan bangsa Palestina akan melemah. Bila tak ada muslim yang berdiri tegak membela Qatar, maka dunia akan mendapat pesan bahwa anda boleh licik dan melanggar hukum selama anda lebih kuat.
Kini keadaan mulai berbalik, posisi Qatar kembali kuat. Mereka pun menghamparkan karpet merah dan menawarkan investasi, menyambut sang presiden Turki.
Hoşgeldiniz .. يا مرحبا 🇶🇦❤️🇹🇷 pic.twitter.com/emH3xDVYwr— تميم آل ثاني (@TamemAlthani) 24 Juli 2017
Dalam pertemuan kemarin Saudi menolak usul Turki, tapi meminta kerjasama di bidang lain. Media UEA gagal pengaruhi opini, Amerika akui Qatar anti teroris.
Bila mau, Turki bisa saja vulgar dan vokal menyerang Saudi, sama halnya Turki pada UEA. Tapi ini tak dilakukan Erdogan. Karena disaat Palestina membara, muslim Rohingya dibantai, oposisi Suriah diberangus, Kashmir ditindas, serta muslim di Eropa dan AS alami persekusi, hal terakhir yang dibutuhkan untuk menyempurnakan semua itu adalah perpecahan Umat. Turki pelajari itu dengan pedih, saat saksikan Aleppo jatuh. Umat Islam adalah satu tubuh, bila yang satu disakiti maka yang lain ikut merasakan sakitnya. Wajib menyingkirkan kuman, tapi tidak dengan mengamputasi. Menyakiti Saudi, sama dengan menyakiti diri sendiri. Turki paham akan hal ini.
Krisis Qatar membuka mata mengenai soft power dan kedewasaan Turki. Diwaktu bisa menyerang, Turki memilih merangkul. Turki bisa memilih pertimbangan ekonomi kekinian, tapi ia melihat investasi jangka panjang. Disebut berseteru, tapi Turki mampu membuat Eropa (Jerman) mendukung posisinya. Dituduh melanggar HAM, tapi menjunjung hukum dan persaudaraan. Disebut sekuler, namun mampu memberi kontribusi pada umat melebihi banyak negara lainnya. Dibilang belum kaya, tapi Turki telah tunjukkan bakat kepemimpinannya.
Bila melihat issu ini, tidaklah berlebihan pendapat seorang intelektual Turki terkemuka bernama Kadir Misiroglu yang menyebutkan bahwa pada 2023, saat Treaty of Lausanne berakhir masa berlakunya, Turki Erdogani akan menjadi reinkarnasi Turki Usmani.
(by Mohamad Radytio N)