Berharap PKS-Gerindra Pecah Kongsi
Oleh : Hersubeno Arief
(Konsultan Media dan Politik)
Berita (kemungkinan) pecah kongsinya PKS-Gerindra, dalam beberapa hari ini mendapat porsi pemberitaan yang cukup besar di media.
Spekulasi berita itu tidak terlalu salah bila melihat berbagai statemen yang muncul dari para petinggi Gerindra, baik di tingkat lokal (Jawa Barat) maupun level pusat (DPP).
Asal muasal munculnya berita tersebut adalah soal pencalonan Ketua DPW PKS Jabar Achmad Syaikhu, yang akan dipasangkan dengan Wakil Gubernur Jabar Deddy Mizwar (Demiz) pada Pilkada 2018.
Presiden PKS M Shohibul Iman (MSI) menyebutnya 95% PKS dan Gerindra akan berkoalisi dalam Pilgub Jabar. MSI juga menyebut bahwa Ketua Umum Gerindra Prabowo sudah setuju PKS mengajukan Syaikhu.
Tak lama setelah itu Wakil Ketua Umum Gerindra Fadlizon membantah keterangan MSI. Bantahan serupa juga dikemukakan oleh Ketua DPD Gerindra Jabar Mulyadi.
Spekulasi kian menguat setelah Prabowo bertemu dengan SBY, para elit politik Gerindra dan Demokrat Jabar juga bertemu. Spekulasi kian seru, karena Demiz juga hadir dalam pertemuan tersebut.
Media mengutip pernyataan Demiz, dia tidak pernah dilibatkan dalam pembicaraan soal pencalonannya bersama Syaikhu. Jadi dia menolak pemaksaan kehendak semacam itu.
Sebagai pengantin Demiz menolak “kawin paksa.” Kalau dalam kultur PKS barangkali Demiz merasa belum pernah ta’aruf (dikenalkan) dengan calon mempelainya, tiba-tiba disuruh menikah.
Dengan latar belakang peristiwa seperti itu tak heran bila berita yang mucul di media menjadi sangat spekulatif dan bombastis. “PKS-Gerindra Pecah Kongsi.” “Tak Nyaman dengan Syaichu, Gerindra Tinggalkan PKS.” Masih banyak berita-berita yang judulnya seru dan serem lainnya.
Harus diakui berita (kemungkinan) pecah kongsinya PKS-Gerindra adalah berita menarik, penting dan layak mendapat porsi besar.
Kalau dalam La Liga beritanya kira-kira sama dengan spekulasi kepindahan bintang Barcelona Neymar ke PSG. Atau setidaknya seperti kembalinya bintang Manchester United Rooney ke Everton di Liga Inggris. Alasannya karena “kurang nyaman”.
Neymar tidak nyaman selalu di bawah bayang-bayang Mesi. Rooney tidak nyaman karena sudah tidak lagi bermain secara regular.
Tiga Penyikapan
Bila kita petakan, setidaknya ada tiga penyikapan dalam soal pecah kongsinya PKS-Gerindra. Pertama, ada kecemasan dan kekhawatiran pecah. Kedua, berharap dan berdo’a benar-benar pecah. Ketiga, mendorong terjadinya perpecahan.
Pertama, kelompok yang khawatir pecah kongsinya PKS-Gerindra adalah umat Islam dan kelompok-kelompok penggiat demokrasi.
Pasca Pilkada DKI disusul terbitnya Perppu Ormas dan kemudian ambang batas pencapresan (Presidential Threshold) umat Islam berharap koalisi PKS-Gerindra terus berlanjut pada Pilkada Serentak 2018 dan Pilpres 2019. Mereka menilai koalisi PKS-Gerindra adalah the dream team yang bisa mengalahkan poros kekuatan Jokowi.
Umat Islam menilai PKS-Gerindra adalah partai yang konsisten membela kepentingan umat, terutama dalam kasus penistaan agama oleh Ahok. Konsistensi keduanya terus berlanjut dalam penolakan terhadap Perppu Ormas disusul dengan pembubaran HTI.
Kelompok penggiat demokrasi dan HAM, dengan catatan bukan penggiat yang jadi-jadian, juga berada dalam kelompok yang menentang penerbitan Perppu dan kemudian penetapan PT 20% kursi di DPR dan 25% perolehan suara nasional. Para penggiat Demokrasi melihat pemerintahan tanpa kontrol oposisi yang kuat akan menjadi tirani.
Kedua, kelompok yang berharap dan berdo’a agar koalisi benar-benar pecah. Kelompok ini di skala lokal (Jabar), terbagi dua. Pertama, para cagub/cawagub yang akan bersaing dengan pasangan yang diusung oleh PKS-Gerindra. Pecah kongsinya dua sekutu itu membuka peluang mereka untuk memenangkan pertarungan dengan mudah. Kedua, internal Gerindra maupun Demokrat. Mereka berharap bisa menjadi pasangan Demiz sebagai cawagub. Bagaimanapun sebagai Wagub incumbent, public figure nasional Demiz adalah salah satu calon terkuat.
Dalam skala nasional pecahnya kongsi PKS-Gerindra di Jabar bisa menjadi pintu masuk perpecahan koalisi permanen secara nasional. Jika benar PKS-Gerindra bisa dipecah dalam front pertempuran terpenting seperti Jabar, maka pecah kongsi di beberapa wilayah lainnya, termasuk dalam Pilpres 2019 sangat mudah dan tinggal menunggu waktu.
Ketiga, kelompok yang bersyukur dan mendorong perpecahan. Alasan kelompok ketiga ini hampir sama dengan kelompok kedua, hanya saja mereka lebih pro aktif mendorong dan mempercepat terjadinya perpecahan.
Berbagai cara dilakukan. At all cost (berapapun harganya). Caranya antara lain dengan menyediakan dana dan mendorong terus bergulirnya opini publik melalui berbagai pemberitaan media.
Mendorong opini publik melalui media untuk berita sekelas ini, sangat mudah. Sebab dari sisi berita sangat sexy, menarik perhatian.
Bagi media massa yang independen, benar-benar hanya melihat dari sisi kelayakan berita, pecah kongsinya PKS-Geridra, memenuhi seluruh unsur kelayakan sebuah berita. Jadi pantas untuk selalu mendapat porsi utama dan besar.
Sementara bagi media yang punya kepentingan berupa agenda setting, mereka seperti mendapat tumpukan ranting kering dan tingggal menyiram dengan bensin. BUMMM! Nyala api akan membesar dengan sendirinya. Sebuah pekerjaan yang mudah dan menyenangkan.
No man left behind
Jadi apakah koalisi PKS-Gerindra akan benar-benar pecah? Kita masih harus sabar mengamati perkembangan lebih lanjut.
Bila mereka pecah kongsi dalam Pilkada Jabar, maka potensi perpecahan lebih lanjut sangat besar. Namun bila mereka bisa mencapai titik temu, maka fenomena ramai-ramai di seputar penetapan cagub/cawagub Jabar hanya riak-riak kecil.
Dalam menikah saja banyak dibumbui pertengkaran, apalagi dalam koalisi parpol yang kepentingannya lebih pada kalkulasi politik.
Satu hal yang sudah pasti, setelah Pilkada DKI, Prabowo menyebut PKS bukan sekedar koalisi, namun sekutu. Begitu juga halnya dengan PKS. Pilihan diksi “sekutu” menunjukkan bahwa level perkongsian mereka sudah sangat erat.
Bagi Prabowo yang berlatar belakang pasukan tempur, Pilkada Jabar hanyalah salah satu medan tempur untuk menuju medan perang sebenarnya. Jika kita analogikan dengan epik Perang Barata Yudha, Prabowo pasti ingin memenangkan puncak pertempuran di medan Perang Kurusetra, Pilpres 2019.
Jangan lupa Prabowo adalah prajurit tempur. Selain berpengalaman dalam berbagai medan pertempuran, Prabowo adalah prajurit yang dibesarkan di lingkungan pasukan elit Baret Merah Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD. Dia bahkan pernah menjadi Komandan Jenderal Kopassus.
Mentalitas pasukan tempur yang menonjol adalah jiwa korsa, esprit de corps yang sangat kuat. Bagi Anda penggemar film-film perang pasti tidak asing dengan semboyan “No man left behind" (tidak ada yang tertinggal).
Sebuah mentalitas, semangat korps yang dalam kondisi apapun tidak akan meninggalkan anggota pasukannya yang mengalami luka, maupun meninggal dunia dalam sebuah pertempuran.
Meninggalkan anggota pasukan yang meninggal maupun terluka dan jatuh ke tangan musuh merupakan aib. Melanggar kode kehormatan seorang pasukan tempur dan sekaligus secara intelijen dan taktik militer sangat membahayakan.
Seorang pasukan tempur yang jatuh ke tangan musuh, bisa menjadi alat propaganda yang buruk dan menujukkan kelemahan pasukan, sekaligus bisa berbahaya karena bisa membocorkan informasi kekuatan pasukan.
Coba perhatikan cara Prabowo mengelola Gerindra, sangat jarang kita mendengar dia memecat atau menyingkirkan orang-orang dekatnya.
Itu semuanya menjelaskan mengapa orang-orang lama yang jatuh bangun bersamanya, "bertempur bersisian" dengannya, seperti Wakil Ketua Umum Fadlizon, Edy Prabowo maupun Sekjen Achmad Muzani tetap dalam posisinya sampai saat ini.
Prabowo tidak mudah bongkar pasang pengurus sekalipun banyak pihak yang menilai figur sekelas Fadlizon adalah tokoh yang kontroversial. Loyalitas, kesetiaan di atas segala-galanya.
PKS bagi Prabowo dan Gerindra, loyalitasnya juga sudah sangat teruji. Mulai dari Pilpres 2019, bertahan bersama dan menjadi "Sisa Laskar Pajang" di Koalisi Marah Putih, sampai jatuh bangun dan berjibaku pada Pilkada DKI.
Rasanya agak mustahil hanya gara-gara tidak sepakat dalam pemilihan figur wagub di Jabar, jadi penyebab pecah kongsi. Apalagi seperti kata Presiden PKS MSI, pencalonan Syaikhu baru 95%. Dalam politik 5% bisa berarti sangat banyak.
PKS juga masih punya calon lain yang layak dimajukan, yakni Netty Prasetyani istri Gubernur Jabar Ahmad Heryawan. Selain faktor kekuatan figur, jaringan dan pengaruh Kang Aher sebagai gubernur dua periode sudah membuktikan kesaktiannya. Memilih Netty bisa diartikan mendapat satu paket Kang Aher-Netty.
Hubungan yang harmonis antara Kang Aher-Demiz juga patut dijadikan pertimbangan, sangat mungkin secara chemestry Demiz lebih nyaman bersama Netty.
Gerindra tidak mungkin pula ngotot mengambil semua jatah di Jabar, karena PKS sudah "mengalah" di DKI. Mereka bersedia menarik pencalonan Mardani sebagai cawagub yang sebelumnya dipasangkan dengan Sandiaga Uno.
Bagaimana dengan hadirnya Partai Idaman Lain (PIL) Demokrat? Prabowo pasti sadar bahwa koalisi dengan Demokrat masih "if" jika. Belum teruji seperti dengan PKS.
Pengalaman pada Pilpres 2014 dan Pilkada DKI 2017 pasti masih diingat dengan jelas oleh Prabowo, siapa yang bertempur bersisian, shoulder to shoulder dengannya.
Satu lagi yang harus diingat sebuah prinsip penting dalam dunia olahraga "Never Change The Winning team!"
-End-