Kontrak Politik "Radikal" FPI dengan Anies-Sandi
Oleh : Hersubeno Arief*
(Konsultan Media dan Politik)
Front Pembela Islam (FPI) kembali bikin heboh. Selain kasus hukum yang tengah membelit Imam Besar Habib Rizieq Shihab, yang tengah ramai mendapat sorotan adanya tuduhan anggota FPI mengintimidasi seorang dokter wanita di Solok, Sumatera Barat.
Benarkah FPI kelompok radikal, garis keras yang kerjanya hanya bikin rusuh dan onar?
Keberadaan kelompok-kelompok semacam FPI inilah yang ditengarai menjadikan media asing terutama negara-negara Barat menilai kemenangan Anies-Sandi pada Pilkada DKI sebagai kemenangan “kelompok radikal”. Kemenangan “kelompok intoleran.”
Maklumlah bila kita bicara FPI yang terbayang adalah sekelompok orang berseragam putih, sebagian memakai gamis dan bersorban, sedang menghancurkan beberapa lokasi hiburan malam di beberapa kota, terutama kota besar seperti Jakarta.
Citra itu melekat sangat kuat kepada FPI. Kalau dalam bahasa anak gaul ada satu kata yang bisa menggambarkan FPI. Nyebelin. Rese.
Tidak mengherankan ketika masa kampanye Pilkada DKI putaran pertama Anies R Baswedan berkunjung ke markas FPI di Petamburan, banyak yang terbelalak dan menjadi sangat kecewa.
Anies yang selama ini dikenal sebagai seorang muslim modern, metropolis, moderat bahkan disebut-sebut liberal kok bisa-bisanya hanya karena kepentingan untuk mendongkrak elektabilitas, bertemu dengan Habib Rizieq dan kemudian bahkan menjalin aliansi politik dengan FPI.
Banyak yang memperkirakan langkah Anies akan membuat elektabilitasnya makin nyungsep. Posisi pasangan Anies-Sandi yang dalam berbagai survei selalu berada di bawah Agus-Silvy dan Ahok-Djarot bakal tambah tercecer.
Maklumlah bagi yang tidak suka FPI apalagi Habib Rizieq, keduanya sudah menjadi musuh nomor 1. The number one public enemies. Tak lama kemudian muncul isu bahwa Anies-Sandi telah menandatangani kontrak politik dengan FPI. Mereka akan memberlakukan syariat Islam di Jakarta bila memenangkan pilkada.
Lantas seperti apa kontrak politik FPI dengan Anies-Sandi? Kan tidak mungkin FPI mendukung Anies-Sandi tanpa konsesi apapun. Dalam politik dikenal istilah. Tidak ada makan siang yang gratis.
Kontrak politik radikal?
Ternyata benar ada kontrak politik FPI dengan Anies-Sandi. Jadi sangat benar istilah “tidak ada makan siang gratis” dalam politik.
Seperti apa bunyi kontrak politiknya? Dokumen FPI tersebut terkesan disimpan cukup rapat. Ada setidaknya 40 kontrak politik Anies-Sandi dengan berbagai elemen masyarakat Jakarta, beberapa diantaranya sudah bocor ke media.
Ternyata ada 10 poin kontrak politik yang ditandatangi oleh Imam FPI DKI Jakarta Habib Muchsin bin Zaid Al-Attas dengan Anies-Sandi. Cakupan kontrak politik tersebut sangat luas. Mulai dari soal perlindungan warga terhadap penggusuran sampai penghentian reklamasi Teluk Jakarta.
Namun dari ke-10 kontrak tersebut yang sangat menarik adalah poin kedua dan keempat. Pada poin kedua disebutkan “Bahwa, apabila kelak terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, akan mengutamakan kepentingan rakyat dalam arti tidak membeda-bedakan agama, suku, etnis, golongan, ras serta merangkul semua kelompok dan elemen masyarakat yang majemuk dan heterogen.”
Pada poin ke-empat, "Bahwa apabila kelak terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, akan melindungi warga Jakarta serta menjaga kedaulatan bangsa dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)."
Sementara pada poin keenam sangat khas FPI berkaitan dengan masalah moral, tapi lagi-lagi dikaitkan dengan perlindungan terhadap pelaksanaan ibadah agama lain dan kerukunan beragama.
“Bahwa apabila kelak terpilih Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, wajib mengatasi segala bentuk kejahatan moral, korupsi, narkoba dan memberantas tindak pidana asusial, pornografi/pornoaksi serta memberikan rasa aman dalam beribadah kepada semua warga sesuai agama dan keyakinan yang dianutnya dalam upaya meningkatkan kualitas kerukunan umat beragama.”
Poin-poin lain yang diajukan FPI berkaitan dengan fasilitas publik seperti mengatasi kemacetan, banjir, penataan perumahan kumuh, tidak melakukan penggusuran semena-mena, peningkatan kesejahteraan tenaga kerja dan para pendidik. Tidak ada satupun poin yang berkaitan dengan pemberlakukan Syariat Islam apalagi mengistimewakan keberadaan FPI.
Semua poin kontrak politik yang diajukan “gak FPI banget”. Ini benar-benar sebuah kontrak politik yang radikal. Kemana itu hilangnya wajah garang FPI. Kemana aksi-aksi yang disebut banyak pihak sebagai bentuk radikalisme dan intoleransi. Kemana aksi-aksi yang kalau menggunakan istilah beberapa kalangan yang mendadak NKRI sebagai aksi yang anti NKRI dan tidak bhineka itu?
Mengapa FPI tidak memanfaatkan kesempatan mumpung ada pasangan calon gubernur-wakil gubernur yang bersedia menandatangani kontrak politik? Biasanya kan kalau kandidat sedang membutuhkan dukungan, apa saja kontrak politik akan ditanda tangani, yang penting mendapat tambahan suara. Apalagi saat itu posisi Anies-Sandi juga tengah kritis.
Sering disalahpahami
Keberadaan FPI memang sering disalahpahami. FPI juga salah satu contoh korban sempurna dari proses framing dan labeling yang banyak dilakukan oleh media dan kelompok-kelompok yang alergi dengan kekuatan Islam.
Penjelasan ulama kondang Abdullah Gymnastiar atau lebih dikenal sebagai Aa Gym bisa membantu untuk memahami posisi figur seperti Habib Rizieq dan FPI. Sebagai muslim diajarkan agar menjalankan agama secara paripurna, kita harus melaksanakan “Amar ma’ruf, nahi munkar.” Mengajak berbuat baik dan mencegah melakukan perbuatan munkar, mencegah perbuatan yang tidak baik.
Kebanyakan ulama mengambil peran pada amar ma’ruf saja. Sementara yang melakukan nahi munkar, sangat jarang. Ada yang bertugas menyemai dan menanam benih, tapi ada juga yang bagiannya cabut rumput dan menyemprot hama. Barulah lengkap dan tanaman bisa tumbuh subur dan sehat.
Habib Rizieq dan FPI berani mengambil peran yang jarang mau dilakoni banyak orang. Dia jadi tukang cabut rumput dan penyemprot hama. Peran itu sangat beraaatttt. Peran itu membuat dia banyak dimusuhi.
Musuhnya mulai dari para pemilik hiburan malam, pengedar dan pengguna narkoba, minuman keras, para pelaku dan konsumen prostitusi, dan berbagai kegiatan negatif lainnya. Musuhnya adalah oknum aparat negara yang ikut menikmati berbagai aktivitas yang menyimpang tersebut.
Lho bukannya semua itu tugas aparat hukum? Bukankah negara kita negara hukum. Tidak boleh main hakim sendiri?
Bagi Anda generasi lama atau penggemar film-film Hollywood lawas pasti kenal dengan tokoh Django (1966) yang diperankan oleh Franco Nero. Tokoh Django adalah jagoan pembela kebenaran yang beraksi manakala kedzoliman merajalela dan aparat penegak hukum tidak bertindak atau malah menjadi bagian dari sindikat kejahatan.
Prototipe semacam itu juga banyak tampil di film-film Hollywood dalam genre film cowboy. Mereka hanya turun ketika situasi law and order tidak berjalan. Ketika semua berjalan baik, mereka akan meninggalkan kota dan kembali ke habitat asalnya. Habitat jalan dakwah. Sebuah jalan sunyi yang jauh dari hiruk pikuk dunia hiburan malam.
“Ane janji kagak bakal demo apalagi ngancur-ngancurin tempat hiburan malam kalau gubernur dan aparat bekerja dengan bener,” ujar seorang tokoh FPI.
Musuh FPI dan Habib Rizieq bertambah banyak karena mereka kemudian terlibat dalam Pilkada DKI dalam ikhtiar mendukung figur gubernur DKI yang bisa menjalankan nahi munkar. Mereka menjadi sosok yang membahayakan kepentingan politik kelompok-kelompok tertentu yang sering disebut sebagai oligarki.
Habib Rizieq menjadi sosok yang membahayakan bagi kekuasaan ketika dia kemudian tampil menjadi pimpinan dan figur sentral dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI.
Tugas kemanusiaan dan bencana
Di luar aksi-aksi nahi munkar, FPI sesungguhnya banyak terlibat dalam aksi kemanusiaan dan penanggulangan bencana. Tapi sayangnya hal itu tidak cukup menarik dan sexy bagi media, apalagi mereka yang sejak awal sudah punya frame dan label tersendiri.
Masih ingat kan ketika Laskar FPI mengawal sepasang pengantin yang akan menikah di Katedral Jakarta saat berlangsung Aksi Bela Islam? Kelompok radikal dan intoleran kok mau-maunya mengawal pengantin non-muslim yang mau menikah di Katedral.
Di berbagai bencana alam, pasukan FPI juga selalu hadir paling awal. Yang paling fenomenal adalah ketika berlangsung bencana tsunami di Aceh Desember 2004. Habib Rizieq dan pasukan FPI bahu membahu membahu bersama TNI melakukan evakuasi ribuan jenazah.
Tanpa bermaksud menafikan peran begitu banyak relawan dari berbagai elemen masyarakat dan berbagai negara, FPI termasuk yang berdiri di garda terdepan dan paling banyak melakukan evakuasi.
FPI termasuk Habib Rizieq berbulan-bulan bertahan di Aceh dan bermalam di Taman Makam Pahlawan Kampung Ateuk Pahlawan, Banda Aceh. Wartawan sering menemui Habib Rizieq yang berteduh, tidur, makan minum dan beribadah di bawah sebuah bangunan makam yang kebetulan bentuknya agak besar. Majalah Tempo pernah membuat reportase cukup menarik tentang kiprah FPI pada saat tsunami Aceh.
Adu domba kasus dr Fiera
Bagaimana dengan kasus intimidasi terhadap dr Fiera Lovita? Kasus ini sekarang sedang sangat hit dan ramai diberitakan media, terutama medsos.
Dokter yang bertugas di Solok, Sumbar ini sempat membuat status di medsos yang dinilai menghina Habib Rizieq berkaitan dengan kasus chating dengan Firza. FPI Sumbar sempat berang dengan aksi dokter tersebut. Namun dengan mediasi kepolisian masalahnya bisa diselesaikan dan dr Fiera sudah membuat pernyataan meminta maaf. The problem is solved.
Tiba-tiba kasus itu malah meledak. Ada yang menggorengnya. Beberapa organisasi mengecamnya sebagai bentuk intimidasi dan intoleransi. Mabes Polri menyebut ada yang sedang mencoba mengadu domba. Berdasarkan informasi dari Kapolda Sumbar Irjen Pol Fakhrizal tidak ada intimidasi.
Bantahan serupa juga disampaikan oleh Gubernur Sumbar Irwan Prayitno. Menurutnya Bumi “Urang Awak” itu juga aman-aman saja.
Para “pembuat badai” ini rupanya melihat kasus dr Fiera sebagai sebuah isu yang sexy yang melibatkan FPI. Apalagi dr Fiera juga seorang muslimah yang berjilbab. Momentumnya juga sangat pas dengan penetapan Habib Rizieq sebagai tersangka. Agar lebih dramatis, mereka sampai turun tangan melakukan “evakuasi” dr Fiera dan kedua anaknya ke Jakarta.
Peran para “pembuat badai” ini mengingatkan kita pada sebuah syair lagu gubahan penyair Taufik Ismail, yang dipopulerkan group band God Bless, Panggung Sandiwara.
Ada peran wajar
dan ada peran yang berpura-pura
Mengapa kita bersandiwara?
*Sumber: Kumparan