[PORTAL-ISLAM.ID] Indonesia kini kehilangan figur yang bisa menjadi penyemangat.
Penyemangat yang memiliki kiat spektakuler bagaimana membuat Inonesia menjadi negara terpandang di mata dunia.
Sebaliknya yang kini dirasakan, negara saat ini sedang tidak punya individu-individu yang bisa membuat kita sebagai warga bangsa berdecak kagum.
Salah satu kelemahan rezim ini adalah minimnya sumber daya manusia berkualitas yang duduk di pemerintahan.
Hal ini jauh berbeda dengan era Soeharto, Presiden yang dianggap otoriter dalam memerintah.
Sebagai Presiden militer yang memerintah dengan tangan besi, Soeharto berhasil merekrut personel yang memiliki kemampuan tersendiri yang hingga kini, kemampuan itu belum tertandingi.
Pak Harto awam soal ekonomi. Tapi keputusannya memberi kepercayaan kepada Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, seorang anggota “Mafia Berkeley” yang diangap menjadi otak dari semua konsep pembangunan, ikut membuat pemerintahan Pak Harto kredibel ketika berbicara tentang pembangunan.
Prof. Widjojo sendiri dikenal sebagai teknokrat yang tidak banyak bicara apalagi mau tampil di televisi seperti TVRI, yang saat itu merupakan satu-satunya televisi di Indonesia.
Praktis, dia hanya bicara kepada pers sekali dalam tahun. Biasanya dua hari sebelum Presiden Soeharto menyampaikan Pengantar Nota Keuangan RAPBN di Sidang Paripurna DPR-RI.
Prof. Widjojo menjelaskan latar belakang penyusunan RAPBN, sehingga wartawan atau pimpinan media paham apa yang akan dilakukan oleh pemerintah satu tahun ke depan.
Dunia ekonomi yang bagi orang non-ekonomi sebagai hal yang rumit, menjadi mudah dipahami. Rasa-rasanya, tidak pernah terjadi sebuah kebijakan pajak yang baru diumumkan beberapa hari lalu dikoreksi sendiri oleh otoritas perpajakan. Ini sekedar sebuah ilustrasi.
Lalu ada Menteri Sekretaris Kabinet Moerdiono, yang sekaligus penulis pidato Presiden Soeharto selama hampir 32 tahun. Dialah pencipta kata-kata pembuka di hampir setiap pidato Presiden Soeharto yang berbunyi: “….. Saudara-saudara sebangsa dan se Tanah Air…”.
Kalimat di atas tadinya tidak berarti apa-apa. Namun setelah berkali-kali didengar, kalimat tersebut mengandung ajakan agar kita sesama warga bangsa Indonesia harus bersatu. Artinya pidato seorang pemimpin apalagi seorang Presiden, harus ditulis dengan sebuah visi sehingga bermakna. Tidak asal bunyi.
Tidak pernah terjadi, Presiden Soeharto membacakan pidato yang dipersiapkan oleh staf lantas isi atau data dan faktanya salah.
Juga ada Sudharmono, Menteri Sekretaris Negara. Praktis dia merupakan juru bicara tidak resmi Presiden Soeharto. Bagi wartawan yang bertugas meliput kegiatan Presiden Orde Baru, paling enak mewawancarai atau mendapatkan keterangan dari Pak Dhar.
“Press klar ini. Karena Pak Dhar yang akan kasih keterangan”, begitu ujar korps wartawan Istana bila sudah diberitahu bahwa Mensesneg yang akan memberikan keteran pers.
Wajah Pak Dhar juga membuat nyaman. Belum apa-apa, begitu dikerumuni wartawan, sudah tersenyum. Walaupun wartawan era Soeharto terbiasa hidup dalam tekanan pemerintah, tapi berdekatan dengan Pak Dhar, mereka merasa seperti manusia yang dibutuhkan oleh rezim yang otoriter.
Pak Dhar selalu memberi pengantar konteks apa yang perlu disampaikan, lalu memberi kesempatan bertanya. Jadi pemahaman atas sebuah persoalan apalagi yang agak rumit, selalu diawalinya dengan penjelasan dan latar belakang singkat. Hal ini membuat wartawan terbantu dan seakan wartawan-wartawan Istana itu cerdas semuanya. Padahal para wartawan itu hanya menjadi ‘WKC’, wartawan kelihatan cerdas, karena peran dan bantuan si narasumber.
Semua pertanyaan, sesensitif apapun yang diajukan ke Pak Dhar, selalu dijawab secara proporsional. Kalau ada yang sensitif Pak Dhar hanya berpesan : “kalau yang tadi off the record yah”. Selesai.
Contoh lain, adalah Ali Murtopo, jenderal yang dikenal tokoh dunia intelijen ini, tercatat sebagai anggota militer yang merangkap sebagai politisi. Bicaranya tegas, lugas dan kalau suka atau tidak suka pada seseorang, tanpa tedeng aling-aling, perasaannya itu akan disampaikannya.
Pada sebuah kesempatan di Gedung DPR/MP-RI, Senayan, bertepatan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR-RI 1978, betapa marahnya Ali Murtopo saat mengomentari pemandangan umum Fraksi Partai Persatuan Pembangunan di Sidang Umum MPR-RI terhadap pidato pertanggung jawaban Presiden Soeharto selaku Mandataris MPR-RI.
“Hanya orang sinting yang bisa menilai pidato Mandataris seperti itu”, kata Ali Murtopo kepada wartawan, di lobi Ruang Sidang Paripurna DPR-RI.
Secara pribadi Ali Murtopo menyalahkan politisi PPP dari NU Chalid Mawardi. Namun yang mengejutkan, tak lama setelah ‘insiden’ itu, Chalid Mawardi yang ketika itu menjabat Ketua Umum DPP Pemuda Ansor, mendapat perlakuan istimewa dari pemerintah.
Mula-mula diajak Wapres Adam Malik ke Havana Kuba dan sekembali dari sana, ditunjuk Presiden menjadi Dubes RI untuk Libanon. Suara oposisi yang sering disampaikan Chalid Mawardi pun akhirnya berkurang tensinya.
“Politisi itu harus kritis dan berani. Dan tidak boleh pendendam”, ujar Chalid Mawardi kepada saya beberapa tahun kemudian, sekembalinya dari Beirut, Libanon.
Masih tentang Ali Murtopo. Pada sebuah acara di Hotel Kartika Chandra, Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Ali Murtopo menggelar pertemuan dengan sejumlah ormas pemuda. Tujuannya untuk mensosialisasikan pencantuman ormas pemuda KNPI dan penatarran Pancasila di GBHN.
Tiba-tiba, Japto Soerjosumarno yang ketika itu belum terlalu dikenal sebagai pimpinan Pemuda Panca Sila, menginterupsi.
Ali Murtopo langsung memberi waktu bicara kepada Japto dan sebelum memberikan microphone, Ali Murtopo langsung berujar: “Anda akan jadi pemimpin masa depan pemuda Indonesia”.
Ucapan Ali Murtopo, terkesan biasa saja, tapi sikapnya memberi respon, menunjukkan bahwa sebagai bagian dan pilar pemerintahan Orde Baru, Ali Murtopo tidak sekedar sebagai ‘pelengkap penderita’. Dia ikut mencitrakan pemerintahan Presiden Soeharto sebagai rezim yang punya wibawa dan integritas.
Hal-hal di atas berbanding terbalik dengan tokoh-tokoh di rezim ini.
Sebut saja, Sofyan Basir, Direktur PLN yang pernyataannya soal tarif listrik, jika benar, sempat membuat publik marah.
“Mau tarif listrik urun? Cabut meterannya!”, demikian ujar Sofyan.
Atau yang kasusnya masih hangat, tentang hoax yang disebar Jaksa Agung terkait Hary Tanoe, yang kini berbuntut pelaporan ke polisi.
Hal ini masih diperburuk oleh perilaku Presiden yang kerap melontarkan gagasan dan meminta para menteri mengimplementasikan gagasan tersebut. Namun setelah gagasan tersebut direspon negatif oleh publik, Presiden Jokowi kemudian muncul sebagai pahlawan dan membatalkan gagasannya sembari menyisakan kesan negatif pada menteri yang mengupayakan terlaksananya gagasan tersebut.
Publik berharap, pejabat seperti ini tak lagi diberi kepercayaan dan kesempatan untuk berkarya lagi di negeri ini. [dm/*]
*Sebagian tulisan bersumber dari catatan Derek Manangka, veteran jurnalis.