[PORTAL-ISLAM.ID] Buni Yani adalah orang biasa yang dikorbankan. Sebuah law tragicomedy. Saya masih heran apa salahnya. Sekarang dia harus menyamar bila keluar rumah. Dia diteror.
Delapan bulan lalu, 07 Oktober 2016, pukul 00.28, Buni Yani menshare slide video orasi Ahok dari Media NKRI. Esok harinya, tim kuasa hukum "Kotak Aja" melaporkan Buni Yani ke polisi.
Orasi Ahok soal Surat Al Maidah 51 jadi polemik nasional. Kasusnya masuk meja hijau. Tanggal 09 Mei 2017, Pengadilan Negeri Jakarta Utara vonis Ahok bersalah.
Buni Yani dimasalahkan karena tidak menulis kata "pake" dalam caption komennya. Dia dituduh memicu kebencian SARA.
Mestinya, Kasus Buni Yani otomatis gugur. Setelah Ahok dinyatakan terbukti "beyond reasonable doubt" bersalah menoda agama (Pasal 156A).
Kasus Buni Yani baru digelar tanggal 13 Juni 2017. Dia didakwa Pasal 32 ayat 1, juncto 48 ayat 1, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, juncto UU RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU 11/2008.
Bunyi Pasal 32 ayat (1): "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik."
Saya kuatir ada ketidak-adilan bila kasus Buni Yani diteruskan. Sedangkan menurut Gustav Radbruch, "Keadilan" adalah pilar utama hukum.
Di Indonesia, asas kepastian dan prinsip rasa keadilan merupakan pilar utama hukum. Pasal 1 ayat (3) UUD 45 hasil amandemen menyatakan Indonesia sebagai "negara hukum". Tidak lagi menggunakan retorika istilah "rechstaat". Artinya, Indonesia mengadopsi asas kepastian hukum sekaligus rasa keadilan.
Ditambah UU No. 4 tahun 2004 yang mengharuskan hakim menggali nilai-nilai keadilan. Maka tidak ada jalan lain bagi hakim, selain membatalkan kasus Buni Yani di putusan sela.
Sekali pun, tidak pernah merugikan siapa pun, Buni Yani telah dihukum secara sosial.
Dia didzalimi dengan teror, caci-maki, cyberbully, bahkan terpaksa resign dari London School of Public Relations. Sedangkan dia kepala rumah tangga dengan seorang istri dan dua anak.
Selain tidak lagi bekerja, penelitian doktoral Buni Yani dihentikan secara sepihak oleh Universitas Leiden Belanda. Padahal draft pertama disertasinya sudah di-submit.
Sekali lagi, saya hendak bertanya, adilkah semua ini bagi Buni Yani?
Penulis: Zeng Wei Jian