[PORTAL-ISLAM.ID] Dengan alasan mendengarkan aspirasi rakyat, Jokowi membatalkan wacana Full Day School yang ia rancang sebelumnya. ( link: http://www.portal-islam.id/2017/06/dhuarr-terungkap-muhadjir-effendi-yang.html )
Namun sayangnya tak demikian dengan wacana Presidential Threshold 20 persen.
Seperti diketahui, pemerintah tetap ngotot menginginkan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20-25 persen, yakni 20 persen kursi dan 25 persen suara nasional.
Sementara, suara fraksi di DPR saat ini terbelah dalam tiga opsi, yaitu mengikuti pemerintah, 0 persen, dan 10-15 persen.
Secara pribadi Jokowi juga menginginkan Preidential Threshold 20% tersebut.
"Jangan sudah sampai ke sini, kembali lagi ke sini, lah kapan kita akan maju? Kita ingin kalau yang dulu sudah 20 (persen), masak kita mau kembali ke nol (0 persen) begitu," kata Jokowi di Ungaran, Kabupaten Semarang, Sabtu 17 Juni 2017.
Menanggapi hal tersebut, Plt Sekretaris Jenderal Komisi Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta menilai, pemerintah tak memahami putusan Mahkamah Konstitusi soal pemilu serentak.
"PT 20 persen sangat disayangkan, karena seharusnya pemerintah paham dan mematuhi keputusan MK," kata Kaka, melalui keterangan tertulis, Senin 19 Juni 2017.
Ia menyebutkan, amar putusan MK mempertimbangkan agar calon presiden tak tersandera oleh partai politik. Artinya, pencalonan Presiden tak lagi membutuhkan presidential threshold.
Ngototnya sikap pemerintah atas PT 20 persen tersebut akhirnya mengakbatkan timbulnya pertanyaan-pertanyaan besar.
Mengapa Jokowi tidak mendengarkan permintaan rakyat yang menginginkan PT 0 persen? Apakah dengan adanya PT 20 persen Jokowi mau mendapat kepastian pencalonannya dan berusaha mempertahankan statusnya sebagai presiden RI?
Apakah kengototan Jokowi meminta PT 20% merupakan ekspresi ketakutannya dan atau partai pendukungnya yang masih haus untuk terus berkuasa?
Kengototan Jokowi mempertahankan PT 20% membuktikan, upayanya "mendengar" aspirasi rakyat hanyalah isapan jempol penuh pencitraan.