"(Masih) Dicari Presiden Tanpa Gaji!”
Oleh: Lutfi Sarif Hidayat, SEI
Direktur Civilization Analysis Forum (CAF)
Sebuah tulisan yang bagi saya luar bisa dan menyentak. Tulisan yang ditulis oleh M. Fadjroel Rachman pada tahun 2011 berjudul “Dicari Presiden Tanpa Gaji !” sedang viral di media-media dikarenakan relevansinya dengan kondisi sekarang. Tentu menjadi prestasi tersendiri memiliki tulisan yang bisa relevan pada lintas zaman.
Saya hanya ingin menyegarkan kembali bahwa apa yang disampaikan oleh M. Fadjroel Rachman masih sangat relevan dengan sekarang. Meski tulisan ini akan berbeda dengan apa yang ditulis oleh beliau. Baik dari gaya bahasa, data dan mungkin juga sudut pandang. Jika pun ada kata atau bahkan kalimat yang sama, akan saya berikan keterangan. Sebab saya tidak menghendaki dituduh sebagai seorang plagiat.
Poin pentingnya adalah bahwa kebutuhan akan pemimpin yang benar-benar pro dengan rakyat masih sangat diidamkan. Saya masih terinspirasi dengan M. Fadjroel Rachman, bahwa sekarang pun masih sangat urgen jika pemimpin negeri ini tidak mendapatkan gaji. Paling tidak ada keinginan dari pemimpin negeri ini melakukan demikian, sampai kondisi keadilan dan kesejahteraan rakyat benar-benar terwujud. Tidak ada lagi ketimpangan ekonomi yang begitu rupa. Kebijakan-kebijakan pro dengan rakyat bukan sekedar menjadi jargon atau janji kampanye. Namun terwujud dalam paket kebijakan negara.
Bolehlah dan memang menjadi haknya, jika seorang pemimpin mendapatkan gaji atau imbahan atas pengabdiannya. Akan tetapi, masih banyak sekali tanda tanya dan simpang siur di tengah-tengah masyarakat tentang besaran gaji Presiden Jokowi. Ada pemberitaan bahwa gaji Presiden Jokowi masih sama dengan presiden sebelumnya sekitar Rp 60 juta per bulan. Sebagaimana mengacu pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 1978 tentang Hak Keuangan/Administratif Presiden dan Wakil Presiden serta Bekas Presiden dan Wakil Presiden.
Sementara dalam pemberitaan lain, disampaikan jika terjadi kenaikan hingga 100 persen dari tahun 2001. Sehingga beredar kabar jika gaji Presiden Jokowi sebesar Rp 160 juta. Hal ini dikarenakan analisis terhadap jumlah zakat mal yang dibayarkan presiden kepada Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) pada hari Rabu (14/6/2017) di Istana Negara, Kompleks Istana Kepresidenan. Berapapun besarannya, bagi saya memang bukan indikasi utama untuk melihat seberapa besar pengabdian seorang presiden.
Indikator seorang pemimpin dikatakan berhasil, yang lebih utama bagi saya adalah mampu memberikan keadilan dalam berbagai sektor. Baik dalam bidang ekonomi, hukum, politik dan lainnya. Bahwa kemudian ada seorang pemimpin yang mengabdi tanpa pamrih, itu adalah nilai positif tersendiri. Semoga pemimpin negeri ini bisa melakukannya, termasuk Jokowi.
Kemiskinan dan Ketimpangan
Saya cenderung pesimis melihat kondisi sekarang, khususnya ekonomi untuk menyebut Presiden Jokowi berhasil. Apalagi sebelum berbicara ekonomi, dalam sektor lain masih banyak yang semestinya bisa diselesaikan dengan kewibawaan dan sikap leadership dari seorang presiden. Hukum masih terlihat tebang pilih, apalagi sekarang ditambah dengan aroma lamban dalam penanganan kasus-kasus korupsi dan adanya nuansa kriminalisasi. Kegaduhan masih mewarnai kondisi politik di sana-sini. Dan seabrek persoalan lainnya, yang sejatinya akan mampu dirampungkan dengan tindakan nyata dari seorang pemimpin.
Dalam persoalan ekonomi, salah satu indikasi lemahnya pengelolaan perekonomian sebuah negara adalah angka kemiskinan dibandingankan dengan potensi kekayaan negara. Kenapa demikian? Karena menurut saya negara Indonesia adalah negara kaya raya, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya. Sehingga potensi bisa mengurangi secara signifikan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi sangatlah mungkin.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada bulan September 2016 jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 27,76 juta orang. Ketimpangan dalam sektor ekonomi juga masih terjadi. Bahkan saya katakan Indonesia benar-benar sedang dalam kondisi darurat ketimpangan ekonomi.
Dalam sebuah kajian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Ekonomi Politik Universitas Bung Karno Tahun 2016 diungkap beberapa contoh ketimpangan ekonomi di Indonesia.
Pertama, data mengatakan bahwa 72% Tanah Daratan Indonesia dikuasai Asing dan Taipan. Tanah yang dikuasai dalam bentuk hak penguasaan atas tanah oleh swasta asing dan taipan saat ini seluas 178 juta hektar. Seluas 140 juta hektar merupakan wilayah daratan. Jumlahnya mencapai 72 % dari total luas daratan Indonesia. Seluruh tanah tersebut dikuasai oleh perusahaan besar asing dan taipan untuk kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, pertanian dan bisnis lainnya.
Pemerintah telah mengalokasikan tanah dalam bentuk kontrak kerjasama migas (KKS) seluas 95 juta hektar sebagian besar di darat yakni sebanyak 60 % dari total KKS atau sekitar 57 juta hektar. Kontrak tambang mineral dan batubara seluas 40 juta hektar. Selanjutnya hak penguasaan tanah yang diberikan dalam bentuk ijin perkebunan sawit 13 juta hektar, ijin kehutanan dalam bentuk HPH, HTI dan HTR seluas 30 juta hektar.
Sebuah perusahaan swasta milik taipan bisa menguasai lahan seluas 2,5 juta hektar menurut versi beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan 1,5 juta hektar versi panglima TNI sebagaimana di sebut di majalah Forum Keadilan. Selain itu ada puluhan taipan besar di tanah air dengan skala penguasaan tanah yang sangat luas.
Sementara lebih dari separuh rakyat Indonesia yang masih hidup dan bekerja di sektor pertanian hanya menguasai lahan sekitar 13 juta hektar yang terbagi dalam 26 juta rumah tangga petani dengan luas masing masing 0.5 hektar. Dengan demikian setiap petani hanya menguasai lahan rata rata 0.17 juta hektar per petani. Itulah mengapa tidak ada kegiatan usaha tani yang dapat meraih keuntungan dengan luas lahan yang sangat minim tersebut.
Penguasaan tanah dalam skala yang sangat luas oleh asing dan taipan ini yang menimbulkan keresahan masyarakat, mengingat berdasarkan UU yang berlaku yakni UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyebutkan bahwa jangka waktu penguasaan tanah oleh swasta bisa salam 95 tahun.
Kedua. Data mengatakan bahwa 0.12 % orang menguasai 66 % dana tabungan di bank. Gambaran tentang ketimpangan dalam keuangan tergambar dari simpanan orang di bank dalam bentuk rupiah. Data otoritas Jasa Keuangan terbaru menyebutkan dana masyarakat yang disimpan dalam rupiah di bank umum, dan BPR mencapai Rp. 3,770 triliun dengan jumlah rekeningkeseluruhan sebanyak 186.168.335 rekening.
Ketimpangan dalam keuangan Jumlah rekening bank di Indonesia yang memiliki dana di atas Rp 2 miliar sebanyak 226.948 rekening, nilai simpanan Rp 2.609 triliun. sementara jumlah rekening di bawah Rp. 2 miliar rupiah sebanyak 185.936.387 rekening dengan nilai tabungan sebesar Rp. 1.161 triliun (September 2016).
Artinya kurang dari 1 % pemilik rekening bank menguasai 66 % tabungan di bank atau sebanyak lebih dari 99 % lebih pemilik rekening hanya menguasai 34 % tabungan di bank. Sementara rata rata nilai tabungan kurang dari 1 % pemilik rekening yang menguasai 66 % tabungan di bank adalah senilai Rp. 11,4 miliar setiap rekening. Sedangkan rata rata nilai tabungan 99 % pemilik rekening yang menguasai 34 % tabungan di bank adalah senilai rp. 7,3 juta setiap rekening.
Ketiga. Data juga mengatakan bahwa 43% pendapatan nasional dikuasai 1 % orang. Hal ini bisa dilihat ketika orde baru berkuasa ketimpangan ekonomi nasional yang ditunjukkan oleh gini coenfisien hanya 0,31 (Koefisien Gini tahun 1999) artinya 31 persen kekayaan nasional hanya dikuasai 1 persen orang. Kemudian saat ini, dimana sudah masuk dalam era reformasi ternyata jauh lebih buruk lagi. Sekarang sejak era reformasi ketimpangan pendapatan meningkat dari 0.31 tahun 1999 menjadi 0.41 pada tahun 2005. Daerah daerah seperti DKI Jakarta ketimpangan pendapatan dapat mencapai 0.43 menurut data resmi BPS.
Selain itu, ada banyak kebijakan yang dirasa tidak untuk kepentingan rakyat. Kenaikan harga BBM, Gas, Tarif Dasar Listrik, harga-harga sembako dan diperparah dengan kelangkaan Gas yang serign terjadi. Utang negara kian membasar dan tentunya akan semakin membebani kondisi ekonomi Indonesia. Sehingga target pertumbuhan ekonomi dari Presiden Jokowi sepertinya tidak akan tercapai.
Presiden Tanpa Gaji
Sebagaimana saya sampaikan di awal. Bahwa keberhasilan seorang pemimpin dalam mengabdi bukan dilihat dari besaran gaji. Itu mungkin faktor yang kesekian. Karena indikasi sebenarnya adalah ketika seorang pemimpin mampu memberkan usaha dan hasil yang nyata untuk keadilan dalam berbagai sektor.
Namun, sepertinya bisa dicoba oleh Presiden Jokowi, dimana ia menginisiasi untuk tidak digaji. Mungkin bisa sedikit memberikan bukti dan hiburan kepada khalayak bahwa ada upaya serius dalam memberikan keberhasilan dalam memimpin. Paling tidak sampai keadilan benar-benar tercapai. Meski saya pesimis akan terjadi ya !
Tulung Agung, 30 Juni 2017