(Mohammed Badie, Pimpinan Ikhwanul Muslimin yang kini dipenjara rezim As-Sisi)
[PORTAL-ISLAM.ID] CAIRO - Ikhwanul Muslimin, dalam tanggapan pertama mereka mengenai krisis Teluk, Rabu 7 Juni 2017 membantah tegas semua tudingan tak berdasar Arab Saudi mengenai keterlibatan kelompok tersebut dalam serangkaian aksi teror.
Dalam pernyataan resmi pada situs mereka, gerakan Islam tertua di dunia ini meminta kerajaan Arab Saudi untuk menghentikan dukungan mereka terhadap Presiden Mesir ilegal Abdel-Fattah al-Sissi dan tidak mendengarkan pendapat penguasa Uni Emirat Arab, yang mereka sebut korup dan menindas.
Menlu Arab Saudi Adel Al-Jubeir pada Selasa 6 Juni 2017 mengatakan, untuk memulihkan hubungan dengan beberapa negara penting di Jazirah Arab, Qatar perlu mengambil beberapa langkah, termasuk mengakhiri bantuan mereka untuk kelompok Hamas dan Ikhwanul Muslimin.
"Desakan Arab Saudi untuk mendukung rezim kudeta (Mesir), memberi mereka dukungan finansial dan politik, menyerang gerakan Islam moderat yang diwakili Ikhwanul Muslimin, dan menuduh Ikhwanul Muslimin melakukan terorisme, membuat kredibilitas Kerajaan dipertaruhkan," tegas Ikhwanul Muslimin.
Militer Mesir yang dipimpin As-Sisi, pada tahun 2013 menggulingkan Presiden Mesir yang sah Mohammed Morsi, salah seorang petinggi Ikhwanul Muslimin, melalui protes massa menentang kekuasannya. Aksi massa ini didukung Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
"Jangan dengarkan Pangeran penindasan dan ketidakadilan di Uni Emirat Arab, kumpulan manusia korup itu adalah sumber bencana bagi negara Islam dan bagi kedua kerajaan (Kerajaan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab). Mereka adalah sekutu Zionis dan sumber dana bagi penindasan dan kekacauan," tegas Ikhwanul Muslimin.
Kelompok Ikhwanul Muslimin merupakan sebuah organisasi yang mendunia yang berdiri di Mesir tahun 1928.
Pada pemilu demokratis pertama Januari 2012 pasca tergulingnya Hosni Mubarak, Partai Ikhwanul Muslimin (Partai Kebebasan dan Keadilan/FJP) menang dengan perolehan suara 47,18 %.
Dan pada 24 Juni 2012, Muhammad Mursi salah seorang petinggi Ikhwanul Muslimin, memenangkan Pemilu Presiden yang berakhir dengan kudeta militer pada 3 Juli 2013.