[PORTAL-ISLAM.ID] Situs presidenri.go.id menampilkan sebuah data menarik ke mana saja Presiden Jokowi "blusukan" selama hampir tiga tahun berkuasa.
Sejak dilantik pada 20 Oktober 2014, atau 32 bulan yang lalu, Jokowi telah melakukan blusukan sebanyak 306 kali, atau hampir 10 kali setiap bulan. Setiap tiga hari sekali, Presiden meninggalkan istana yang nyaman dan melakukan blusukan.
Blusukan adalah sebuah kosa kata dalam bahasa Jawa yang bermakna keluar masuk ke tempat-tempat tertentu, untuk mengetahui sesuatu. Kosa kata blusukan ini menjadi populer ketika Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta dan perjalanan nasib kemudian membawanya menjadi Presiden RI.
Secara rasa bahasa, blusukan sebenarnya lebih tepat dilakukan di suatu daerah dalam skala yang kecil seperti kota Solo. Jokowi bisa keluar masuk ke clepitan-clepitan gang sempit dengan naik sepeda atau berjalan kaki.
Karena sekarang menjadi presiden dan skalanya negara, maka jangan bayangkan Jokowi melakukannya dengan sepeda atau berjalan kaki. Modanya telah berganti menjadi pesawat terbang.
Jadi sekarang sebenarnya agak kurang pas bila masih menyebutnya dengan blusukan. Mosok pesawat terbang kepresidenan dipakai blusukan. Salah-salah bisa crash mengalami kecelakaan.
Karena saat ini bulan Ramadan, maka kegiatan blusukan presiden dari kacamata agama bisa disebut sebagai kegiatan silaturahim. Dalam Islam diajarkan bahwa silaturahim bisa memperpanjang umur dan menambah rezeki.
Bagi politisi, silaturahim tafsirnya bisa memperpanjang umur (jabatan) dan menambah rezeki (melalui kekuasaan).
Dalam terminologi politik, atau lebih tepatnya marketing politik, blusukan, silaturahim bisa ditafsirkan sebagai kegiatan direct selling, bertemu langsung dengan market, membuka pasar baru, sekaligus merawat pelanggan loyal.
Tidak berbeda dengan sebuah produk, politisi juga membutuhkan pembeli, pelanggan, yang disebut sebagai pemilih, voters. Yang dijual ide dan gagasan bagaimana mengelola sebuah negara.
Karena konstruksinya politik maka tidak salah bila ada yang menyebut blusukan sebagai sebuah aktivitas pencitraan. Dalam rasa bahasa Jawa, blusukan ini kesannya sangat merakyat, sangat pas dengan citra diri Presiden Jokowi. Blusukan adalah sebuah dekonstruksi atas kekuasaan seorang presiden atau raja.
Dalam kultur kerajaan, rakyatlah yang menemui dan menghadap seorang raja. Aktivitas itu biasa disebut sebo atau paseban. Rakyat harus menyembah dan berjalan jongkok (mlaku ndodok) ketika menghadap seorang raja.
Nah, karena sekarang eranya demokrasi, rakyat yang menentukan apakah seorang presiden akan berlanjut atau tidak kekuasaannya, maka aturan, tata caranya dibalik. Justru presiden yang harus menemui rakyat. Merebut hati dan perasaannya.
Kampanye terus menerus
Di negara yang sudah lebih lama berdemokrasi seperti Amerika Serikat (AS) kegiatan blusukan atau menemui konstituen dilihat sebagai salah satu strategi seorang pejabat incumbent mempertahankan kekuasaannya. Aktivitas tersebut sebagai bagian permanent campaign, yakni sebuah kampanye terus menerus yang dilakukan selama seseorang berada dalam sebuah jabatan.
Aktivitas permanent campaign ini sesungguhnya diadopsi dari strategi kampanye produk sabun. Produsen sabun biasanya yang tetap melakukan kampanye terus menerus (perpetual campaign), kendati telah menjadi market leader.
Pernah memperhatikan atau setidaknya mengingat ada sebuah produk sabun mandi yang selalu memperbarui bintang iklannya dalam periode tertentu? Padahal sabun mandi tersebut telah menguasai pangsa pasar.
Bintang iklannya biasanya dipilih seorang artis cantik yang citra dirinya sangat kuat atau paling populer.
Upaya produsen sabun mandi itulah yang disebut sebagai perpetual campaign.
Dalam permanent campaign, seperti halnya iklan sabun, doktrinnya kampanye seorang kandidat/pejabat berubah dari “kampanye berhenti ketika seorang pejabat terpilih,” menjadi “kampanye dimulai pada hari pertama seorang pejabat dilantik/bekerja.”
Dalam konteks Presiden Jokowi, blusukan adalah pencitraan, permanent campaign. Sebuah kegiatan yang sah dan “halal” karena itulah keuntungan seorang pejabat incumbent. Dia bisa terus menerus berkampanye selama dalam masa jabatan.
Seorang incumbent bisa memanfaatkan berbagai sumber daya di pemerintahan, mulai dari birokrasi, anggaran, media dan akses ke publik. Seorang incumbent secara teoritis susah dilawan. Seng ada lawan. Karena itu bila ada seorang incumbent kalah dalam pilkada ataupun pilpres, sangat wajar jika muncul pertanyaan “Selama ini ngapain aja?”
Jawa khususnya Jawa Barat prioritas Jokowi
Kembali ke soal blusukan Presiden Jokowi, bila melihat data, yang diolah oleh katadata.co.id maka tiga wilayah utama di Jawa, yakni Jatim, Jateng dan Jabar paling banyak dikunjungi oleh Jokowi.
Dari total 306 kali blusukan, 116 kali diantaranya digunakan oleh Jokowi untuk blusukan di Jatim, Jateng dan Jabar. Jumlah tersebut setara dengan 37.9 persen.
Di luar Jawa yang paling banyak dikunjungi Jokowi adalah Kalbar 17 kali, Papua 16 kali, Aceh, Yogya dan Kalsel masing-masing 11 kali. Sementara wilayah yang paling sedikit dikunjungi Lampung, Kalteng dan Sulut masing-masing sebanyak enam kali.
Coba perhatikan mengapa Jawa paling banyak dikunjungi Jokowi? Secara marketing politik Jawa adalah pasar politik terbesar bagi Jokowi.
Di tiga wilayah ini jika menggunakan data Pilpres 2014 pemilihnya mencapai 59 juta atau sekitar 31.75 persen dari total pemilih sebanyak 186 juta. Data blusukan di tiga wilayah ini seperti telah disebut sebelumnya 37.9 persen.
Dari tiga wilayah di Jawa, Jokowi paling banyak mengunjungi Jabar sebanyak 46 kali, Jateng 38 kali dan Jatim 32 kali.
Jumlah pemilih di Jabar 32.812.483, Jatim 30.664.958 pemilih dan Jateng 26.442.514 pemilih.
Jabar, gubernurnya dijabat kader PKS Ahmad Heryawan. Pada Pilpres 2014 di Jabar, Jokowi kalah telak melawan Prabowo.
Jatim, gubernurnya dijabat kader Partai Demokrat Soekarwo. Pada Pilpres 2014 di Jatim Jokowi menang tipis atas Prabowo. Sementara di Jateng gubernurnya dijabat oleh kader PDI P Ganjar Pranowo. Pada Pilpres 2014 di Jateng Jokowi menang telak atas Prabowo.
Dengan data tersebut sangat wajar bila Jokowi paling banyak melakukan blusukan ke Jabar. Selama 32 bulan berkuasa Jokowi telah berkunjung ke Jabar sebanyak 46 kali, setiap bulan rata-rata sebanyak 1.43 kali. Jadi setiap bulan Jokowi setidaknya melakukan 1-2 kali kunjungan ke Jabar.
Sebagai kandang maung (harimau) Jokowi harus lebih banyak berkunjung ke Jabar sambil membawa buah tangan. Targetnya menundukkan sang maung, atau setidaknya bisa menjinakkannya.
Tiga skenario besar
Sebelum bertempur langsung di Jabar pada Pilpres 2019, maka Jokowi tengah berusaha memenangkan pertempuran antara yakni Pilkada Jabar 2018. Melihat hasil Pilkada DKI saat jago yang didukungnya kalah melawan jago besutan Prabowo, maka Jokowi tampaknya tidak ingin kecolongan lagi.
Sebagai seorang politisi yang telah teruji dan sukses mencapai kekuasaan sebagai Presiden RI, Jokowi bisa menghadapi pertempuran di Jabar dengan strategi yang lebih matang dan hati-hati.
Jokowi tentu akan memilih-milih dengan teliti siapa calon gubernur Jabar yang bisa dijadikannya sebagai proxy.
Sebelumnya Walikota Bandung Ridwan Kamil (RK) yang agaknya bakal dipilih menjadi proxy. Namun untuk kepentingan yang lebih besar, bukan tidak mungkin Jokowi mencari pemain pengganti.
Ada tiga skenario besar setidaknya yang bisa ditempuh Jokowi.
Pertama, tetap mendukung RK, jika secara kalkulasi bisa memenangkan kontestasi. Bila tidak, maka harus dicari kandidat pengganti dari partai yang berada di kubu pemerintah. Dedi Mulyadi dari Golkar bisa menjadi kandidat pengganti.
Kedua, melakukan akuisisi kandidat dari kubu lawan, dalam hal ini Wagub Deddy Mizwar. Cara kedua ini bila melihat karakter yang kuat dari Deddy Mizwar, harus diakui tidak mudah, tapi tetap boleh dicoba. Namanya juga usaha.
Bila dua skenario tersebut tidak berjalan, maka masih ada satu opsi yang tersisa. Yakni dengan “membuat becek lapangan.” Caranya dengan memperbanyak calon, terutama dari kubu lawan.
Semakin banyak yang berlaga, terutama dari kubu lawan, peluang jagoan Jokowi untuk memenangkan Pilkada Jabar akan semakin terbuka.
Berbeda dengan DKI yang menetapkan aturan seorang kandidat harus mendapatkan suara sebanyak 50 persen plus 1, di Jabar aturannya siapapun yang memperoleh suara terbanyak, maka dia akan menjadi pemenang pilkada.
Banyaknya publikasi hasil survei popularitas dan elektabilitas kandidat di Jabar bisa dilihat dalam konteks ini. Siapa tahu ada, atau syukur-syukur banyak public figur, tokoh, alim ulama yang tergoda. end
Penulis: Hersubeno Arif
Konsultan Media dan Politik
Editor: Portal Islam [*]
Sumber: swamedium