Ketegangan Kawasan Timur Tengah: Ambisi Sang Pangeran Muda
Oleh: Ahmad Dzakirin
(Pengamat Timteng)
Apakah Ikhwanul Muslimin menjadi faktor determinan dibalik memburuknya hubungan Qatar dengan Arab Saudi dan sekutunya?
Seiring naik tahtanya Raja Salman bin Abdul Aziz, Arab Saudi sebenarnya mulai melunak terhadap Ikhwanul Muslimin (IM). Arab Saudi mulai berkepentingan merangkul IM karena konstelasi regional dan perubahan sikap Mesir. Doktrinnya, "enemy of my enemy is friend".
Raja baru ini (Salman) mengundang pemimpin politik Hamas, Khalid Meshaal (Juli 2015) ke Mekkah dan mengundang ketua Hizb An Nahdhah (Partai IM Tunisia), Rasyid Ghanoussi ( September 2016) beribadah haji setelah 9 tahun visanya dibekukan Arab Saudi karena alasan politik. Sementara di dalam negeri, Raja Salman membuat beberapa kebijakan yang dianggap sebagai pelonggaran tekanan terhadap kalangan yang dituduh bersimpati terhadap Ikhwan. Pengadilan Saudi (Maret 2017) menonaktifkan dekan sebuah perguruan tinggi karena menuduh mahasiswanya menjadi anggota Ikhwanul Muslimin.
LALU Mengapa terjadi perubahan political rapprochement?
Ada setidaknya dua faktor domestik dan internasional yang mendorong perubahan tersebut. Pertama, trajectory domestik sang raja yang berkaitan dengan pengangkatan anaknya, Muhammad bin Salman sebagai wakil Putra Mahkota. Kedua, terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS. Naiknya Trump dianggap sebagai katalisator kepentingan Saudi dan sekutunya serta semakin mendekatkan ambisi sang calon raja.
David Hearst, redaktur senior Guardian adalah termasuk jurnalis yang pertama kali membaca arah kebijakan domestik Saudi. Sang Raja sejak awal terbaca jelas hendak mendudukkan anaknya menjadi calon raja setelah sebelumnya memecat saudara beda ibu, pangeran Muqrin bin Abdul Azis (3/2015) sebagai putera mahkota dan menggantikannya dengan Muhammad bin Nayef, namun pada saat bersamaan mendudukkan puteranya, Muhammad bin Salman sebagai wakil putera mahkota.
Namun problemnya, sang pangeran ini masih terlampau muda dan sangat minim pengalaman. Sementara pesaingnya, Muhammad bin Nayef yang dijuluki "Prince of Dark" adalah sosok senior dan sejak lama disukai oleh Pentagon dan komunitas intelejen AS karena jasanya dalam perang anti teror. Repotnya, pangeran (Muhammad Bin Salman) yang baru berusia 31 tahun berburu waktu karena kondisi sang ayah (Raja Salman) yang telah udzur dan sakit-sakitan. Setidaknya, ada tiga pilar politik yang mempengaruhi suksesi kepemimpinan di Arab Saudi: restu Amerika, persetujuan para pemimpin agama, dan dukungan rakyat.
Disinilah, masuknya peran dan pengaruh sosok Muhammad bin Zayid (Uni Emirat Arab/UAE), otak dibalik kontra Arab Spring yang menjungkalkan kekuasaan Muhammad Mursi (Mesir). Melalui dukungan sebuah lembaga PR (Public Relation) AS Burson-Marsteller, konsertasi "mission impossible" untuk mengatrol karir dan citra sang anak (Muhammad Bin Salman) dimulai.
Muhammad bin Zayid (UEA), dengan dukungan lembaga think tank pro Zionis melobi Washington, memperkenalkan Bin Salman, jebolan universitas dalam negeri dan minim jaringan internasional ini dengan pelbagai media AS dan secara khusus mendekatkannya dengan Jared Kushner, menantu Trump yang menjabat utusan khusus AS untuk Timur Tengah. Kushner adalah seorang Yahudi fanatik yang menjadi tokoh penting di balik perluasan permukiman illegal Israel di Palestina.
Dalam politik, dikenal adagium tidak ada makan siang gratis. Ada harga politik yang harus dibayar sang pangeran ambisius (Muhammad Bin Salman) untuk menjadi putera mahkota (yang saat itu adalah Wakil Putra Mahkota). Dan tentu sudah dapat ditebak, harga itu ada dibalik kepentingan politik Bin Zayid (UEA) dan kelompok pro Zionis yang sangat memusuhi Ikhwanul Muslimin, Hamas dan negara yang dianggap berada di belakang kedua kelompok itu, Qatar dan Iran.
Hubungan Saudi dan Israel sebenarnya telah dimulai pada era mendiang Raja Abdullah ketika Saudi memberikan persetujuan penggunaan wilayah udaranya untuk pesawat tempur Israel yang berencana mengembom instalasi nuklir Iran pada 2010 dan sebelumnya pertemua rutin aparat intelejen di kedua belah pihak. Bagi Israel, Hamas dan Iran adalah ancaman eksistensial.
Duta besar Arab Saudi, Muhammad bin Nawwaf bin Abdul Azis mengisyaratkan adanya kerjasama tidak resmi antara Saudi dengan Israel. Melalui pers rilisnya sebagai bantahan atas dakwaan David Hearst bahwa Saudi mendukung Israel dalam Perang Gaza 2014, Ben Nawwaf menyatakan jika ada kerjasama Israel dengan Saudi maka kerjasama tersebut dilakukan dalam konteks rencana perdamaian. Sebaliknya, Israel memuji peran Arab Saudi sebagai penjamin stabilitas kemananTimur Tengah Pasca Arab Spring.
Dalam tahun yang sama, mantan kepala intelejen Arab Saudi, Turki bin Faishal menulis kolom di Harian Israel, Haaretz yang menyerukan adanya perdamaian antara Israel dan negara-negara Teluk sebagai upaya menyelesaikan konflik Israel-Palestina.
Namun hubungan tersebut mencapai hubungan yang lebih hangat seiring berkelindannya kepentingan regional Bin Zayid (UEA) dan persepsi ancaman Iran dalam politik domestik Saudi. Hubungan antara pelobi kedua negara secara intens dilakukan di Washington. Disusul kunjungan misi diplomatik tidak resmi Arab Saudi ke Israel yang dipimpin pensiunan Jendral, Anwar Eshki bersama rombongan pengusaha dan akademisi.
Beberapa saat setelah pemutusan hubungan dengan Qatar, TV Israel, Channel 2 mewawancarai secara langsung direktur lembaga riset Timur Tengah di Riyadh, Abdul Hameed Hakim dan menjadi wawancara pertama dalam sejarah Israel. Dalam sistem totalitarian, pelbagai political rapprochement (upaya pendekatan kedua belah pihak) di Saudi tidak mungkin dilakukan tanpa sepengetahuan dan restu kerajaan.
Dalam konteks ini, naiknya sang pangeran muda (Muhammad Bin Salman) dengan reformasi dalam negeri dan kebijakan kawasan yang agresif merefleksikan perpaduan dari segitiga persekutuan kepentingan. Persepsi ancaman domestik Saudi pada satu sisi, emir Emirat Arab dan Saudi di sisi lain dan diatas itu, Israel dan AS (baca: Donald Trump). Payung kamuflatif yang dibutuhkan bagi kampanye anti Qatar, tidak peduli seberapun lemah argumen yang dikonstruksikan adalah perang melawan terorisme dan negara sponsor terorisme.
Bukan suatu kebetulan, jika formulasi kepentingan yang berkelindan itu ada dalam demonisasi Ikhwanul Muslimin dan Hamas pada satu sisi dan Qatar dan Iran pada sisi lain. Dan bukan kebetulan pula, jika "Fadhilatus Syeikh" Donald Trump, tokoh anti Islam dalam pidatonya di Riyadh menyebut secara spesifik Hamas masuk dalam daftar teroris dan di dalam negeri, hendak mengajukan ratifikasi UU pelarangan Ikhwanul Muslimin. Sementara di waktu yang hampir bersamaan, Israel menyebut Saudi bersama negara-negara Sunni, kecuali Qatar berada dalam satu perahu kepentingan dengan negara Zionis tersebut.
Juga bukan juga suatu kebetulan, jika Turki kemudian mendukung Qatar dan mengirimkan pasukannya ke negara kecil itu di saat hubungan Turki dan Saudi dalam kondisi bagus. Erdogan sepenuhnya memahami bahwa ujung dari persekutuan anti Qatar itu sebenarnya Turki sendiri, yang menjadi pelindung utama Ikhwanul Muslimin dan Hamas.Tidak lama berselang, Mesir menuntut persekutuan tersebut mencakup juga blockade atas Turki dan sebagai proses, tuntutan tersebut masuk dalam 13 daftar tuntutan mereka, yakni Turki segera hengkang dari Qatar.
Di dalam negeri, masih ada faktor yang harus dikendalikan, yakni opini rakyat dan kalangan ulama. Melalui tiga posisi strategis yang digenggamnya, Menteri Pertahanan, Menteri Ekonomi dan Menteri, maka Bin Salman melakukan kampanye udara menggempur basis-basis pemberontak Houthi di Yaman yang didukung Iran. Kejatuhan Sana’a di tangan pemberontak Houthi dan khawatirnya adanya pergolakan dari 15 persen pemeluk Syiah di provinsi sebelah timur pasca digantungnya ulama syiah, Syeikh Nimr Baqr al Nimr pada 2016.
Problemnya, di luar skenario, Sang Pangeran (Muhammad Bin Salman) tidak kunjung menjadi sosok pahlawan diharapkan. Perang tidak kunjung berhenti seperti yang diprediksikan, namun sebaliknya rakyat Yaman menjadi korbannya. Cadangan devisa terkuras, ibukota Sana’a dan separuh Yaman masih tetap dikuasai pemberontak. Repotnya, Houthi beberapa kali sukses melakukan serangan lintas perbatasan Saudi. Setelah melalui proses yang pelik, akhirnya Pakistan bersedia mengirim pasukannya untuk melindungi wilayah perbatasan selatan Saudi.
Di luar perang, Sang Pangeran meluncurkan serangkaian reformasi ekonomi dengan visi 2030-nya, yang mencakup pengetatan anggaran, diversifikasi dan privatisasi ekonomi serta pelonggaran kebijakan konservatif. Selain memotong biaya kesejahteraan, Bin Salman akan menjual saham perusahaan minyak Aramco dan mencabut mandat penahanan oleh Polisi Syariah. Dia menjanjikan pembangunan infrastruktur dan sarana hiburan di dalam negeri untuk mencegah larinya warga Saudi yang keluar negeri untuk bersenang-senang.
Dalam konteks ini, liberalisasi ekonomi dan sosial Saudi sang Pangeran dipandang sebagai upaya memuluskan jalan dukungan AS dan Barat pada satu sisi dan di sisi lain, menangguk suara kalangan muda yang gerah atas kebijakan sosial keagamaan yang dipandang serba mengekang. Seperti yang diduga, hampir semua media terkemuka AS secara eksklusif menampilkan Muhammad bin Salman sebagai sosok pembaharu Saudi di usianya yang masih belia dan di dalam negeri, dia mendapatkan dukungan kalangan muda.
Ini artinya, konsolidasi dua dari tiga pilar bagi transformasi kekuasaan, restu AS dan dukungan rakyat, terutama kalangan muda telah didapatkan. Satu pilar, kekuasaan ulama masih dibawah genggaman Bin Nayef, hanya saja, otoritas kekuasaan yang diberikan kekuasaan sang ayah secara efektif melucuti kekuasaan sepupunya. Dia melucuti otoritas polisi Syariah untuk menahan, melonggarkan beberapa larangan terkait penyelenggaraan hiburan dan ijin mengemudi buat perempuan.
Dalam pengendalian tersebut, Bin Salman meneruskan kebijakan pendahulunya bahwa ulama harus mendukung pemerintah tanpa syarat serta tidak boleh campur tangan dalam urusan pemerintahan dan politik luar negeri. Seperti tindakan keras terhadap kalangan ulama muda kritis yang tergabung dalam gerakan al Shahwa al Islamiyyah pasca Perang Teluk 1 dan kemudian merangkulnya kembali setelah melunak, kini dia menggunakan strategi serupa terhadap para ulama di dalam negeri yang kritis dan bersimpati terhadap Ikhwan pasca kudeta Mesir, yakni intimidasi dan ancaman pemenjaraan.
Muhammad al Arifi, ulama Saudi yang memiliki jutaan pengikut di facebook dan twitter ini –misalnya- ditahan aparat Saudi setelah mengkritik rejim junta militer Mesir (As-Sisi). Sepanjang itu pula, ulama kritis ini beberapa kali ditahan, termasuk yang mutakhir, ditahan 2 hari dan disita paspornya sebelum kemudian dilepas kembali setelah keluar twitnya yang mengecam Qatar dan beredar foto dirinya yang sedang tersenyum bersama sang pangeran.
Jadi dalam konteks ini, beredarnya pelbagai twit dan tulisan para ulama Saudi, berikut para pengembiranya di Indonesia yang mengecam Ikhwanul Muslimin tidak lebih dari demonisasi (memburukan citra, menjadikan IM sebagai "demon"/setan/hantu) yang dibutuhkan karena kartu truf ini sedang dimainkan Sang Pangeran. Kartu truf ini sama persis dengan kartu-kartu truf yang pernah digunakan sebelumnya dalam melawan Ikhwan di Perang Teluk 1 (1990), pasca kudeta Mesir (2013) dan yang terbaru, melayani ambisi sang pangeran dalam memenuhi tuntutan sekutu politiknya.
Jika kemudian arsip-arsip tuduhan terhadap Ikhwanul Muslimin dibuka kembali, maka kita tidak akan melihat perbedaan akar dan sumber tuduhan tersebut di sepanjang 3 dekade lamanya. Ikhwanul Muslimin dari dulu hingga sekarang dipotret sebagai gerakan Islam yang bermasalah secara akidah. Sepeninggal ulama karismatik, Syeikh Abdul Azis bin Baz dan Shalih Utsaimin, pandangan ulama dilihat dalama 100 persen kepentingan kerajaan. Bagi kalangan Salafi, tuduhan terhadap Ikhwan diharapkan secara telak dapat menjadi jurus pamungkas untuk mengakhiri perdebatan eksistensi kelompok Islam ini. Takfirikah?
Jadi Ikhwanul Muslimin adalah sejenis hantu yang akan selalu menjadi tumbal atas motif dan kepentingan politik kerajaan, namun sebaliknya dirangkul ketika dibutuhkan. Demikian pula, ketika kita melihat relasi Ikhwanul Muslimin dan Arab Saudi. Ikhwanul Muslimin pernah menjadi mediator kepentingan regional Arab Saudi ketika era Raja Faishal pada 1960-an dan perang Afghanistan pada 1980-an, sebelum kemudian didepak karena protes Perang Teluk I pada 1990-an dan selanjutnya, dianggap sebagai ancaman eksistensial.
Dan secara jelas, krisis Teluk pada dasarnya tidak ada sangkut pautnya dengan Ikhwanul Muslimin, Hamas, apalagi isu agama, namun lebih merupakan dampak kolateral dari ambisi merusak sang pangeran muda yang sedang berkonsesi dengan kekuatan kontra Arab Spring. Dan Qatar secara bersama dilihat sebagai ancaman terdekat (imminent threat) persekutuan tersebut karena independensi politik luar negeri Qatar (yang tak bisa dikontrol Saudi cs -red). Dan kurang 3 tahun, ambisi merusak Muhammad bin Salman sebagai raja terpenuhi.
Namun sebagai pelindung 2 tempat suci, monarki Saudi membutuhkan dalih agama untuk membenarkan semua tindakan politik. Dan sialnya, Ikhwanul Muslimin dan Hamas menjadi korbannya.
Semoga Allah SWT mengampuni dosa dan kedunguan kita.