ADA FAHRI DI SANA!
Oleh: Ust. Abrar Rifai
Dengan seluruh dinamika yang menyertainya, akhirnya Pansus Angket KPK terbentuk. Fraksi fraksi yang tadinya banyak menolak, kini akhirnya balik kucing ikutan mendukung dan sudah mengirimkan wakilnya untuk masuk ke dalam panitia hak konstitusional DPR tersebut.
Kini hanya tersisa dua fraksi yang masih kukuh menolak hak angket KPK, yaitu Fraksi Demokrat dan F-PKS. Ini artinya bahwa hak angket yang diinisiasi Komisi III tersebut mempunyai legitimasi yang sangat kuat.
Dari dua Fraksi yang masih menolak hak angket ini, kita abaikan Demokrat. Karena saya tidak konsen kepada persoalan Demokrat. Saya juga tidak pernah tahu dan tidak mau tahu kenapa partai yang digagas SBY itu tidak setuju Hak Angket KPK.
Sekarang kita fokus kepada PKS, partai yang sejak pertama kehadirannya di jagat perpolitikan Indonesia telah mentasbihkan diri sebagai partai modern dan kumpulan orang-orang terpelajar. Tidak paternalistik. Tidak bergantung kepada figur figur tertentu.
Kaitannya dengan Pansus Angket KPK ini, PKS adalah bagian dari Komisi III yang menjadi inisiator awal terbentuknya pansus ini. Namun dalam perjalanannya, pada sidang paripurna DPR yang mengesahkan pansus tersebut, PKS adalah fraksi yang paling keras menolak. Tanya kenapa?
Dulu, saat Presiden PKS, Ustadz Luthfi Hasan Ishaq ditangkap KPK, semua orang di PKS seperti kor menyoal KPK. KPK diserang oleh orang PKS dari kader pemula hingga anggota ahli. KPK disebut membuat konstruksi kacau, tebang pilih dan lain sebagainya.
Waktu itu PKS adalah partai yang paling nyaring besuara bahwa KPK harus dikoreksi. Tapi, ketika kesempatan untuk melakukan apa yang diinginkannya dulu itu kini telah tersedia, kenapa PKS justru menjauh dan bahkan menentangnya. Tanya kenapa?
Apapun yang menjadi dalih para elit PKS, namun ibarat maghrib tetaplah maghrib walau adzan belum dikumandangkan. Sebab yang menjadi kebenaran maghrib itu adalah terbenamnya matahari di ufuk barat, bukan kumandang adzan. Sama dengan keinginan banyak anggota Fraksi PKS untuk ikutan mengoreksi KPK di di pansus angket, tapi tidak disuarakan, karena mengikut keputusan elit partai yang menolak angket tersebut.
Pertanyaan berikutnya, kenapa elit PKS menolak angket ini? Tiada lain dan tidak bukan, hanya ini adalah kelanjutan dari episode ketidaksukaan elit PKS sekarang terhadap seorang kadernya yang dianggap durhaka, Fahri Hamzah. Duh!
Fahri Hamzah adalah pimpinan DPR yang paling bersemangat terbentuknya panitia hak angket KPK. Di sinilah sebenarnya PKS tidak berkenan, tersebab kegeraman yang tak kunjung bisa mencongkel Fahri dari kursi pimpinan DPR dan apalagi menghentikannya sebagai anggota DPR. Ditambah lagi, pimpinan PKS telah dipecundangi Fahri di pengadilan.
Maka, melalui tulisan ini, saya ingin mengetuk nurani nurani yang masih bening di elit PKS, untuk mengenyampingkan amarahnya kepada Fahri. Sebab peta ini terus dinamis. Diakui atau tidak, sebenarnya banyak sekali kader yang mendukung Fahri dan menginginkan Fahri tetap menjalankan amanah yang telah diembannya sejak awal periode tugas DPR sekarang.
Sebab, kalau kemarahan ini tertap berlanjut, PKS sebagai partai dan jamaah pula yang akan merugi. Cobalah realiatis, PKS sekarang ini pemilih dan simpatisannya mengalami polarisasi yang sangat besar sekali. Ada yang berpindah partai. Ada yang sakit hati, sehingga akhirnya apriori terhadap partai. “Ternyata partai sama saja. Dijalankan sekedar memenuhi keinginan elit, bukan untuk kemaslahatan konstituen!”
Untung ada momentum Aksi Bela Islam, yang masih bisa menjadi panggung bagi PKS untuk menunjukkan keberpihakannya kepada ummat. Kalau tidak, saya khawatir PKS nantinya akan ditinggalkan pemilihnya. Sebagaimana pada sikapnya terhadap hak angket, yang akhirnya PKS seperti orang yang sedang salah jalan. Dari Jakarta mau ke Surabaya, harusnya ke arah Jawa Tengah dulu, bukan ke arah Merak. Tapi karena ke arah Jawa Tengah ada Fahri di sana, maka PKS tetap bersikukuh bahwa jalan ke arah Meraklah yang benar.
Hadanaallahu wa iyyakum ila aqwamit thaoriq.
*Sumber: fb penulis