SESUDAH AHOK KALAH
Oleh: Romo Frans Magnis Suseno SJ*
Akhirnya Ahok kalah. Di luar dugaan, ia kalah telak. Jelas, suatu mayoritas berarti dari penduduk Jakarta memilih Anies Baswedan-Sandiaga Uno untuk menggantikan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Hasil pemilihan itu harus diterima.
Kemenangan Anies-Sandi bukan malapetaka. Pertanyaan menentukan, apa mereka akan mampu menangani perkembangan Jakarta yang ruwet itu dengan baik, tidak saya masuki di sini.
Yang jelas–dan Anies sudah memperlihatkannya: Anies sangat berkepentingan untuk membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi Gubernur bagi semua penduduk Jakarta, bahwa ia tidak dikuasai oleh pihak-pihak ekstrem yang mendukungnya dengan begitu vocal dalam kampanye. Apalagi kalau umpamanya Anies mempunyai ambisi lebih tinggi lagi (sesuatu yang tentu tidak terlarang), ia akan harus membuktikan diri bahwa ia bisa diterima oleh semua. Jadi menurut saya, tidak perlu mengkhawatirkan suatu penggubernuran sektarian.
Lagi pula, belum tentu besarnya kemenangan Anies-Sandi semata-mata karena rebut-ribut agamis kelompok-kelompok yang selama enam bulan terakhir menguasai panggung perhatian publik di negara kita. Sangat mungkin bahwa juga warga yang tidak radikal/ekstremis pada saat terakhir merasa lebih aman memilih calon pemimpin yang seagama daripada orang “Tionghoa-Kristen”. Bahwa orang mengikuti nalurinya, itu adalah wajar dan juga tidak berarti permusuhan terhadap yang tidak mereka pilih.
Namun kalau itu betul, perlu instropeksi. Barangkali Ahok muncul seratus tahun terlalu cepat. Barangkali suatu bangsa, betapa pun di “mau” pluralis dan non-diskriminatif, secara psikologis belum mampu menerima bahwa posisi-posisi kunci diduduki orang dari agama minoritas. Amerika Serikat saja yang membanggakan diri dengan kebebasan beragama membutuhkan 160 tahun (!) sampai orang Katolik pertama (Katolik di Amerika Serikat minoritas 30 persen) dapat menjadi presiden! Waktu John F. Kennedy terpilih pada tahun 1960, dari beberapa pihak Protestan masih ada reaksi histeris: Vatikan akan mengambil alih Amerika, gereja-gereja Protestan akan ditutup, dan sebagainya. Waktu Barack Obama mau menjadi presiden Amerika Serikat, bahkan prasangka-prasangka rasis muncul kembali. Tahun 2010, Presiden Jerman Christian Wulf mengakui adanya 4 juta orang Muslim, kebanyakan asal Turki, yang sudah puluhan tahun di Jerman, (atas pernyataan ini -red) ia disambut dengan protes keras.
Bagi kita, minoritas Kristiani, cukup bahwa kita “bisa” menjadi presiden, tak perlu kita “menang” menjadi presiden.
Secara psikologis, seorang presiden Katolik atau Protestan masih terlalu berat. Barangkali bahkan provokatif, bagi mayoritas warga, termasuk mereka yang bersahabat dengan kita. Kiranya bagi kita lebih menguntungkan kalau negara dipimpin oleh salah satu dari sekian tokoh Muslim yang Pancasilais, pluralis, terbuka. Cukup kalau kita mempunyai orang yang bisa menjadi menteri atau pembantu penting. Tidak perlu melemparkan tuduhan “tidak toleran”, “sektarian” kepada mereka yang merasa lebih aman kalau pimpinan tertinggi dipegang yang sesuai dengan agama mereka.
Dengan kemenangan Anies-Sandi, apa ketenangan akan kembali? Sayang, itu belum tentu. Bisa juga bahwa ribut-ribut Ahok hanyalah suatu warming-up. Bisa saja ada pemain-pemain yang sasarannya jauh lebih tinggi daripada Jakarta. Sudah dua kali seorang presiden diganti karena tekanan dari jalan: Soekarno tahun 1966 dan Soeharto tahun 1998. Bedanya, presiden kita sekarang terpilih secara demokratis oleh rakyat Indonesia. Tak ada kelompok-kelompok yang berhak menyingkirkannya. Tentu, kalau pengacauan kehidupan bangsa berlanjut, muncul pertanyaan di mana Angkatan Bersenjata kita akan berada.
Kita sendiri minoritas Kristiani, menurut pendapat saya, sebaiknya terus saja biasa-biasa. Sangat penting bahwa kita di semua level mengembangkan hubungan positif-saling percaya dengan umat Islam (dan umat Hindu di Bali). Situasi kita tidak pertama-tama tergantung dari konstelasi-konstelasi politik, melainkan dari apakah saudara-saudari beragama lain-mayoritas besar– merasa damai dan positif dengan kita.***
*Sumber: Tulisan Kolom Romo Frans Magnis Suseno di Majalah HIDUP edisi 14 Mei 2017.
NB: Majalah Hidup adalah sebuah majalah umat Katolik Indonesia. Majalah Hidup pertama dicetak pada tahun 1946 dan menggunakan bahasa Belanda. (wikipedia)