PENGIKUT HABIB RIZIEQ
Oleh: Moh Mahfud MD*
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
KETIKA awal pekan lalu (25/4/2017), melalui program talkshow di sebuah televisi berita, saya mengatakan bahwa pengikut Habib Rizieq tidak banyak, muncullah banyak tanggapan melalui media sosial. Meski banyak yang menanggapi positif dan menyatakan sependapat, ada juga yang tidak sependapat dengan pernyataan saya itu.
Yang tidak setuju dengan pendapat saya mengatakan, ratusan ribu bahkan jutaan orang yang datang mengikuti aksi damai di Jakarta pada Aksi Damai 411 dan 212 adalah fakta bahwa pengikut Habib Rizieq sangat banyak.
Tapi bagi saya sendiri jutaan orang yang ikut Aksi 411 dan 212 bukanlah pengikut Habib Rizieq, melainkan orang-orang yang “menumpang” untuk ikut melakukan protes. Bahkan saya meyakini, pada umumnya pengikut kedua aksi itu adalah warga NU dan Muhammadiyah.
Bagi saya, tidak mungkin massa sebanyak itu bisa terkumpul jika bukan dari warga Muhammadiyah dan NU. Saya kenal dengan begitu banyak orang NU dan Muhammadiyah yang ikut aktif menggalang aksi itu, bahkan nama dan foto-fotonya terpampang di media massa.
Ada yang menyanggah: bukankah PBNU dan PP Muhammadiyah sudah jelas menyatakan tidak ikut ambil bagian dalam aksi-aksi itu? Saya pun menanyakan juga kepada sebagian dari peserta aksi itu dan mereka menjawab, meskipun dirinya orang NU atau Muhammadiyah, mereka ikut aksi bukan sebagai warga Muhammadiyah atau NU.
Mereka ikut aksi itu dengan memakai baju sebagai anggota organisasi lain seperti anggota majelis taklim, anggota kelompok arisan, anggota keluarga alumni satu sekolah, pengurus-pengurus yayasan, bahkan sebagai muslim perseorangan.
Bahkan saya juga mendapat banyak kiriman swafoto dari kolega-kolega, bekas mahasiswa, keluarga, dan kenalan-kenalan saya yang bekerja di kantor-kantor pemerintah maupun swasta dari seluruh Indonesia seperti jaksa, hakim, dokter, dan artis yang diambil dari arena Aksi 411 dan 212. Mereka memakai baju koko atau hijab putih dan berswafotoria dengan latar belakang Masjid Istiqlal dan Monumen Nasional (Monas).
Menurut saya mereka mengikuti aksi-aksi itu bukan karena mengikuti Habib Rizieq, melainkan ikut menumpang untuk melakukan protes atas ketidakadilan sosial dan lemahnya penegakan hukum yang terus terjadi selama era Reformasi. Mereka terpaksa ikut menumpang karena, maaf, organisasi resminya, NU dan Muhammadiyah, lebih banyak melakukan amar makruf dan kurang melakukan nahi munkar.
PBNU dan PP Muhammadiyah, karena posisinya yang harus hati-hati, memang lebih banyak menyampaikan amar makruf (memberi petuah dan imbauan-imbauan untuk kebaikan) daripada melakukan nahi munkar (mencegah, memprotes, dan bersikap tegas atas kemungkaran).
Nah, orang-orang yang mencari saluran untuk melakukan protes dan “nahi munkar” itulah yang ikut kegiatan insidental (bukan sebagai peserta tetap) aksi-aksi yang digalang Habib Rizieq. Ada yang mengatakan, ibarat merawat tanaman, PBNU dan Muhammadiyah yang giat menyiram agar subur, tetapi Habib Rizieq yang membasmi hamanya.
Jadi jika hanya melihat aksi Superdamai 411 dan 212 saya tidak melihat adanya ancaman serius dari gerakan radikalisme atau intoleransi. Peserta Aksi 411 dan 212 itu tidak bertujuan melawan ideologi negara Pancasila dan NKRI dan bukan ingin memusuhi orang yang berbeda ikatan primordial, melainkan hanya menumpang protes.
Setelah itu mereka pulang, kembali ke rumah NU dan Muhammadiyah masing-masing dan tidak punya ikatan melembaga dengan Habib Rizieq, apalagi dengan FPI.
Ini berbeda dengan pengumpulan massa dalam istigasah NU yang dirakit dalam hubungan batin mendalam. Contohnya, tanpa ramai-ramai di medsos atau publikasi yang hiruk-pikuk dan hanya melalui pesan dari mulut ke mulut, istigasah NU Jawa Timur beberapa waktu yang lalu berhasil menyedot ratusan ribu umat yang berdoa untuk bangsa dan NKRI dengan tangis khusyuk.
Kalau begitu, apakah ada gerakan radikalisme dan intoleransi di Indonesia? Jika itu yang ditanyakan, jawabannya “tentu ada”. Terutama dalam primordialisme agama, pada agama apa pun, bibit-bibit radikalisme pasti ada.
Mereka ingin membongkar secara radikal sistem yang sudah disepakati sambil melakukan tindakan-tindakan kekerasan dan intoleran. Namun jumlah mereka ini sangat sedikit, hanya percikan kecil dari mainstream, dan selalu mudah dideteksi serta diatasi karena bukan hanya ditangani aparat negara, tetapi juga dilawan oleh rakyat.
Banyak orang yang (terjebak) ikut aksi insidental kaum radikal dan intoleran karena kaum radikal dan intoleran yang sedikit itu menggunakan isu ketidakadilan, kesenjangan sosial ekonomi, merajalelanya korupsi, dan kemiskinan untuk melakukan aksi-aksi protes.
Kaum radikal dan intoleran sekarang ini sudah terdeteksi juga masuk ke sekolah-sekolah untuk memengaruhi generasi muda, tetapi pintu masuk rayuannya bukanlah ideologi, melainkan isu ketidakadilan dan kemiskinan. Mereka yang ikut melakukan protes itu sebenarnya tidak radikal dan tidak intoleran, pokoknya hanya menumpang protes.
Dengan demikian jika kita benar-benar ingin menyelamatkan NKRI yang terbangun megah di atas fondasi Pancasila, kita harus menunjukkan kepada rakyat bahwa kita benar-benar berusaha menegakkan keadilan, berusaha membangun kesejahteraan rakyat sesuai dengan perintah konstitusi, dan melakukan perang total terhadap korupsi. Itu saja yang harus dilakukan jika tugas-tugas pemerintahan ingin agak ringan dan mendapat dukungan rakyat.
Buktinya, setiap ada pengungkapan dan tindakan tegas terhadap koruptor, rakyat serempak mendukungnya dengan menggelegar. Buktinya lagi, setiap pemerintah membuat kebijakan prorakyat alias populis, rakyat gemuruh menyambutnya dengan sukacita.
Bagi umat Islam sendiri, melalui telaah mendalam dan perjuangan panjang yang kemudian menjadi produk ijtihad para ulama NU, Muhammadiyah, dan ormas-ormas lain, NKRI yang berdasar Pancasila sudah final dan harus dipertahankan berapa pun biayanya. Pancasila itu ibarat akta kelahiran bagi Indonesia sehingga tidak bisa diganti selama kita ber-Indonesia.***
Sumber: SINDONEWS