"Mereka terkotak-kotak anti-Ahok dan pro-Ahok. Secara nasional, pendukung anti-Ahok lebih besar. Ini berpengaruh ke elektabilitas," kata peneliti LSI, Adjie Alfaraby, di Balikpapan, Kalimantan Timur, Senin, 22 Mei 2017.
Adjie menuturkan elektabilitas Partai Golkar saat ini menurun. Pada Maret 2016, elektabilitas mereka mencapai 12,2 persen. Kemudian, Oktober 2016 sebesar 15,6 persen, dan Maret 2017 13,5 persen.
"Efek Pilkada DKI faktor utama. Turun 2 koma sekian persen. Secara nasional tanggapan negatif," ujarnya.
Menurut Adjie, solusi atas situasi tersebut tergantung bagaimana Golkar menyikapinya. Salah satu yang penting adalah partai berlambang pohon beringin itu harus keluar dengan program yang baru.
"Misalnya menyusun program big bang. Bukan mengandalkan figur tapi program," ujarnya.
Selain itu, Golkar juga perlu merumuskan program yang menyentuh pemilih mayoritas termasuk umat Islam. Dia menyarankan agar mereka tidak diametral atau sejalan dengan situasi konflik yang terjadi yaitu ketika mayoritas publik memberikan sentimen negatif terhadap Ahok.
"Mereka bersifat netral terhadap pemilih mayoritas," kata dia.
Kemudian, Golkar juga harus bisa menjadi bagian dari pihak yang menang di Pilkada Serentak 2018. Khususnya daerah-daerah strategis seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
"Kalau kalah, kurang menguntungkan. Golkar harusnya jangan kaku dalam membangun koalisi di Pilkada 2018. Di Pilkada DKI, Golkar satu paket dengan PDIP yang mengusung Ahok," katanya.
Keputusan Golkar mendukung Ahok memang harus dibayar mahal. Keputusan publik yang sepakat "menghukum" partai pendukung penista agama dengan tidak memilih calon yang didukung partai-partai tersebut dalam berbagai kontestasi, menjadi harga amat mahal yang harus dibayar, tak hanya oleh Golkar, namun juga oleh partai-partai lain.