[PORTAL-ISLAM] Eep Saefulloh Fatah punya analogi tentang banyaknya karangan bunga yang dikirim untuk Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat. CEO konsultan politik PolMark ini menyebut fenomena itu mirip elusan-elusan ringan di punggung bagi anak yang ngambek. Dan, disebutnya ini tak akan lama, karena makin terasa tidak spontan.
“Ingat, ini era yang mengunggulkan keaslian,” kata marketer politik yang sukses membantu kemenangan Anies Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno ini di Graha Pena Jawa Pos Surabaya, Rabu (3/5/2017). Eep menambahkan, karangan bunga untuk Ahok segera berkurang, apalagi sekarang pengiriman itu “dibagi” dengan pengiriman karangan bunga untuk polisi.
Pengiriman karangan bunga ini untuk si kalah ini menjadi salah satu bagian dinamika pilgub DKI. Seperti diketahui, banyak nuansa dalam pilgub kali ini, termasuk upaya penggiringan, bahwa kemenangan Anies-Sandi adalah kemenangan kelompok intoleran. “Ini bisa dengan mudah dijawab dengan data-data untuk membantahnya. Tapi, pembuktian terbaik adalah nanti dengan praktik pemerintahan Anies-Sandi,” kata alumnus FISIP UI ini sembari yakin penggiringan itu tidak valid.
Meski terkesan ada yang berusaha memperlebar polarisasi, Eep juga menginformasikan sudah mulai ada para pengusaha yang kini mulai mendekati Anies. Ada yang menawarkan membantu Anies sambil meminta Anies adil untuk semua orang. “Kalau Anda membantu saya dan saya berbuat adil kepada Anda, berarti ini transaksional. Karena saya ingin adil kepada semua, maka Anda tak perlu berbuat sesuatu untuk saya,” kata Eep menirukan jawaban Anies.
Terlepas dari terus terjadinya banyak dinamika pasca-pilgub, Eep Saefulloh Fatah mencatat setidaknya ada lima pelajaran.
Pertama, incumbency tidak selau merupakan keuntungan atau modal pemenangan. Tapi bisa juga merupakan beban dan cikal bakal kekalahan.
Hal ini terlihat dari karakter Gubernur Ahok sendiri yang sudah diketahui umum. Melihat karakter Ahok, Eep menegaskan sejak semula, bahwa orang ini tidak layak jadi gubernur. Ia mencontohkan saat memaki-maki seorang ibu dengan sebutan maling saat mengadu soal kemungkinan pencairan tunai KJP. Padahal, itu pengaduan biasa seorang warga yang bisa ditangani dengan sewajarnya dan malah bisa menguntungkan posisi Ahok.
Pada saat pilgub DKI 2012, Eep adalah konsultan politik Joko Widodo-Ahok yang kemudian menang melawan Fauzi Bowo. Jelas Jokowi yang jadi faktor kemenangan itu. Dia menceritakan banyak detil betapa Jokowi merupakan kandidat yang “disiplin” dalam menjalankan saran saran strategi konsultannya. Termasuk ditanya apapun, dia keluarkan kartu dari saku.
Kedua, kampanye tidak berorientasi pada pemilih bukanlah pilihan. Dia menyebut Anies fokus pada tiga hal, yakni lapangan kerja, pendidikan, biaya hidup. Lalu, setelah isu SARA dikapitalisasi pihak lawan, tim Anies-Sandi menonjolkan “pemimpin yang mempersatukan” serta “memihak dan membela warga”. Untuk memudahkan semuanya, digaungkanlah OKE-OCE yang gampang diingat itu.
Eep menceritakan, bagaimana dulu meyakinkan Jokowi untuk selalu membawa kartu di sakunya ke mana-mana. Ditanya soal apapun akan selalu mengeluarkan (calon) Kartu Jakarta Pintar (KJP) dari sakunya. “Agar calon pemilih mudah membayangkan. Misalnya, kalau dia sakit tinggal ke puskesmas, tunjukkan kartu, tak perlu bayar,” kata Eep yang pernah kuliah di Ohio University ini.
Ketiga, kekuasaan (power) dikalahkan oleh pengaruh (influence). Sudah jelas ke mana pusat kekuasaan memihak dalam pilgub kali ini. Dengan mengerahkan perangkat-perangkatnya. Namun, ternyata semua dipatahkan oleh pengaruh kekuatan rakyat di bilik suara. Eep mencontohkan ada seorang tokoh masyarakat Betawi yang uring-uringan karena Anies-Sandi kalah di TPS dekat rumahnya. Di lingkungan itu memang kebanyakan pendatang. Sampai-sampai kuburan yang lahannya dimiliki oleh si tokoh itu dipasangi spanduk: Pendukung Ahok dilarang dimakamkan di sini.
Eep mendatangi langsung tokoh itu, meyakinkan untuk mengajak bicara warga sekitar pendukung lawan. Ternyata ditemukan pengakuan, mereka mendapat uang beberapa ratus ribu. Eep menyebut ada strategi di putaran pertama, warga di sekitar TPS-TPS tertentu sekitar tempat tinggal tokoh penentang petahana, “digarap” semacam ini. Tujuannya jelas, agar ada kesan tokoh-tokoh itu tak didukung warga.
Lalu, si tokoh diminta menceritakan kepada warga sekitar, betapa baiknya warga Betawi memberi tempat kepada para pendatang itu. Karena lahan di sana dulu semua milik warga Betawi. Dia meminta hubungan bertetangga ini saling membahagiakan dengan tentunya ikut memilih Anies-Sandi, sesuai pilihan tokoh itu. Uangnya dipersilakan diterima. “Hasilnya, menang cukup besar,” kata Eep. Ini salah satu contoh pengaruh.
Keempat, politisasi birokrasi dan aparatur keamanan serta intelijen secara intensif dan ekstensif tidak akan efektif jika bertentangan dengan “atmosfer elektoral”. Apalagi di tengah kegagalan merebut momentum politik. Jelas sekali segala dukungan dari pihak yang bisa menggerakkan kekuasaan ini bertentangan dengan suasana keinginan Jakarta punya gubernur baru.
Kelima, pilkada Jakarta 2017 membuat politik Indonesia menjadi besi yang kembali panas. Kalau Ahok yang menang, kata Eep, besi politik mendingin. Sulit dibentuk karena posisi penguasa menguat. Kekalahan Ahok sekaligus menunjukkan kekalahan partai-partai dan penguasa di belakangnya. Ini bisa membuat kontestasi pilkada 2018 di 171 daerah bisa sangat dinamis. Apalagi ada “beban Ahok” yang dibawa partai-partai pengusungnya dalam pilkada mendatang. Diperkirakan ini bisa berpengaruh negatif dalam pileg dan pilpres 2019 yang serentak memilih legislator dan presiden.
Eep menyebut, modal besar untuk pileg dan pilpres mendatang bagi petahana adalah prestasi sampai separo masa jabatan. Eep meminta melihat, apakah situasi membaik atau tidak dibanding pemerintahan sebelumnya. Termasuk bagaimana hukum dijalankan. “Separo masa jabatan pemerintahan Jokowi itu tepat 20 April, sehari selelah pilgub Jakarta,” kata Eep Saefulloh Fatah. (*)
Sumber: JAWA POS