"CATAT, SAYA SEORANG RADIKAL!"
Oleh: Ust. DR. Ir. Masri Sitanggang
(Ketua Gerakan Islam Pengawal NKRI, Alumni 212)
Sebagai seorang muslim, jenuh juga mendengar kata “radikal”. Ibarat makan, sudah tidak selera untuk menyuap lagi. Kalau dipaksa juga, maka yang terjadi adalah muntah. Eneg, mungkin ungkapan dalam bahasa Jawa inilah yang tepat untuk menggambarkannya.
Betapa tidak? Sudah sejak lama kata itu disematkan kepada ummat Islam. Setiap ada peristiwa yang melibatkan ummat Islam, dapat dipastikan kata radikal akan muncul dan ditempelkan kepada mereka sehingga Islam dan radikal melekat erat membentuk “Islam Radikal”. Tidak perduli apakah peristiwa itu kriminal atau politik, dilakukan secara indvidu atau pun berjemaah. Yang penting pelakunya adalah muslim atau ada simbol Islam, titik ! Cilakanya, label radikal yang disematkan itu berkonotasi negatip dan berbau busuk. Radikal sudah menjadi kosa kata politik yang tidak bebas nilai dan digunakan untuk maksud menghabisi kelompok yang menjadi lawan politik (baca Islam).
Simaklah peristiwa yang terakhir ini: Aksi Bela Islam (ABI) 411 atau 212 dan seterusnya. Aksi super damai jutaan ummat Islam yang menuntut persamaan di hadapan hukum, menuntut tegaknya keadilan atas kasus pinastaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok --yang tidak merusak walau seranting pohon dan tidak pula meninggalkan sejemput sampah pun, sehingga menjadi aksi terbesar dan terdamai di dunia-- dituduh juga sebagai aksi kelompok radikal. Kemenangan Anies-Sandi atas Ahok-Djarot dalam Pilkada DKI pun kemudian disebut juga sebagai kemenangan kelompok Islam Radikal! Saya tidak tahu, apakah proyek deradikalisasi yang diprogramkan pemerintah meliputi juga program agar ummat Islam tidak lagi berunjuk rasa menyuarakan aspirasinya menuntut keadilan dan tidak pula memenangkan calon pemimpin beragama Islam? Sangatlah nyata beda antara ABI dan aksi pendukung Ahok (Ahokers) yang dilakukan setelah vonis 2 tahun penjara buat Ahok. Tidak ada yang menyebut aksi Ahokers sebagai radikal, malah seperti ada pembiaran (kalau bukan difasilitasi) aparat terhadap aksi itu. Padahal, di situ ada kericuhan, ada upaya merobohkan gerbang Lapas Cipinang, melewati batas waktu ketentuan berunjuk rasa dan bahkan ada yang menginap; jangan ditanya soal taman yang rusak dan sampah yang berserakan! Inilah yang membuat saya bertambah eneg.
Tetapi, biarlah apa kata orang, saya harus tetap menjadi seorang radikal. Sebagai seorang yang berpendidikan doktoral (Phylosophy Doctor), saya memang harus membiasakan diri berpikir radikal dan tak mau larut dengan opini sesat. Sebagai penganut agama Islam, yang saya yakini kebenarannya, saya juga harus bersikap radikal dan tidak kompromi terhadap kejahiliyahan. Begitu juga sebagai anak Indonesia Asli, saya harus berpikir dan bersikap radikal, tak ingin goyah dari Pembukaan UUD 1945 yang menjadi gentlemen agreement para founding fathers negeri ini.
Bagi saya, radikal atau radikalisme itu sesungguhnya adalah hal yang wajar dan biasa-biasa saja. Ia adalah gejala alam yang muncul mengikuti hukum kausalitas, sebab-akibat. Simaklah Encyclopædia Britannica, akan ditemukan bahwa Charles James Fox adalah orang pertama yang menggunakan kata “radikal” dalam dunia politik. Ia pada tahun 1797 mendeklarasikan reformasi radikal sistem pemilihan, menyatakan diri sebagai partai kiri jauh yang menentang partai kanan jauh.
Perhatikanlah alam semesta. Jika keseimbangan ekosistem terganggu, misalnya oleh manusia, maka alam akan bereaksi (mungkin disertai banjir, longsor, kemarau, peningkatan suhu bumi atau bencana lainnya) membangun keseimbangan baru. Ingat pula, misalnya, segerombolan gajah liar di Aceh dan Lampung masuk ke pemukiman dan merusak rumah-rumah penduduk di sekitar tahun 2006. Gajah yang lucu dan menyenangkan itu, berubah jadi beringas, kenapa? Semua orang –baik yang ahli mau pun yang awam, sepaham: karena manusia telah merusak habitatnya. Artinya, manusia punya andil membuat gajah jadi “radikal”.
Jadi, sekali lagi, radikal adalah hal yang wajar dan biasa-biasa saja. Ia merupakan gejala alam yang muncul mengikuti hukum kausalitas, sebab-akibat: ada kiri jauh, muncul kanan jauh; ada kondisi ekstrim, muncul ekstrim baru yang berlawanan. Hukum ini berlaku untuk semua makhluk, yang bernyawa maupun tidak. Semua menuju titik keseimbangan baru.
Dalam Ilmu Fisika, ada Hukum ke-3 Newton (1642 – 1726): “Setiap aksi ada reaksi dengan arah yang berlawanan”. Ada Hukum Archimedes (287 SM – 212 SM) tentang berkurangnya berat benda padat yang dicelupkan ke dalam air sebagai akibat reaksi air yang terpindahkan dari ruangnya semula oleh benda padat tersebut. Ada juga Hukum Boyle (1627 –1691) yang menjelaskan bahwa aksi memperkecil volume udara, akan direspon oleh udara dengan memperbesar tekanannya.
Dalam dunia Ilmu pengetahuan, sikap radikal justeru memegang peran sangat penting. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan hampir seluruhnya (kalau tidak semuanya) diawali dan didasari oleh ide, gagasan dan pemikiran radikal. Tanpa gagasan, ide, pemikiran radikal, dapat dipastikan ilmu dan teknologi tidak akan mencapai seperti apa yang kita sasikan sekarang. Bagaimana, misalnya, jika Galileo Galilei (1564- 1642) tidak melawan kekuasaan “ilmuwan” gereja dan filsof Aristoteles –yang percaya bahwa bumi adalah datar, statis dan matahari mengitari bumi-- dengan teori radikalnya bahwa bumi adalah bulat dan bergerak mengitari matahari yang menjadi pusat tata surya? Bagaimana, misalnya lagi, kalau Louis Pasteur (1822 – 1895) tidak berani menentang para guru dan ilmuwan pendahulunya yang telah berabad-abad mengajarkan doktrin spontaneous generation, bahwa makhluk hidup berasal dari makhluk mati? Dan seterusnya... !
Demikian juga dalam kehidupan sosial politik. Gerakan radikal muncul sebagai jawaban terhadap kondisi radikal yang ada (gerakan kiri jauh muncul sebagai jawaban terhadap kanan jauh), sehingga ada dua kutub radikal.
Indonesia pernah melakukan gerakan radikal merespon “radikal” kolonialis, berbuah kemerdekaan. Ketika Pancasila, oleh rezim Orde Lama diperas menjadi Trisila dan selanjutnya Ekasila, serta demokrasi menjadi terpimpin sesuai keinginan penguasa, muncul gerakan radikal kembali ke UUD 45 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Begitu juga ketika Orde Baru dinilai telah otoriter, lahirlah gerakan radikal: reformasi menuju demokrasi. Dan jika kita mau jujur, sesungguhnya organisasi yang disebut Amerika Serikat sebagai teroris pun adalah respon belaka terhadap perilaku radikal yang mereka alami. Sebutlah Taliban-Alqaeda, lahir untuk merespon invasi Rusia dan (diteruskan) Amerika terhadap Afghanistan. Hamas, lahir untuk merespon penjajahan ekstrim Israel. Daulah Islamiyah, atau yang di sini dipopulerkan sebagai ISIS, lahir sebagai jawaban terhadap invasi Amerika di Iraq tahun 2003. Maka, John L. Esposito, guru besar di Georgetown University berpendapat, terabaikannya kedzaliman Israel di Palestina, sengketa Kashmir, konflik di Afghanistan, hingga kesewenang-wenangan Amerika Serikat terhadap Iraq, dipastikan menyuburkan radikalisme Islam. Sulit rasanya kita akan mampu membendung radikalisme agama, apabila akar masalahnya itu kita abaikan begitu saja.
Sekali lagi, radikalisme adalah gejala alam biasa yang muncul mengikuti hukum kausalitas. Dalam kehidupan sosial politik ia hanyalah respon terhadap keadaan yang sedang berlangsung, yang menurut Horace M Kallen (1972), muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan terhadap asumsi, ide, lembaga, atau nilai-nilai yang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan keadaan yang ditolak. Oleh karena itu, radikalisme tidak terkait dengan kelompok masyarakat atau agama tertentu.
Maka, tergantung pada nilai kondisi yang sedang berlangsung –yang mejadi objek evaluasi atau penolakan dan bahkan perlawanan-- radikalisme bisa bernilai positip atau negatip. Jika kondisi yang berlangsung adalah negatip, maka radikalisme yang muncul bernilai positip dan sebaliknya. Beberapa contoh yang dinukilkan di atas adalah radikalisme positip. Sama halnya dengan gerakan menyeru kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah serta membuka kembali pintu ijtihad melawan kejumudan pemikiran oleh Ahmad Ibn Taymiyah (1263-1326) adalah positip.
Persoalan muncul ketika kekerasan dijadikan penyelesaian, baik oleh pihak pro maupun anti kemapanan. Bagi yang pro kemapanan, gagasan baru yang radikal, kata Karen Armstrong (2001), dianggap mengganggu tatanan sosial dan membahayakan masyarakat. Pada situasi ini, stabilitas dan keteraturan sosial dianggap lebih penting dari pada kebebasan berekspresi. Dan respon balik terhadap gagasan baru ini –yang dikemudian hari dinilai sebagai tindakan bodoh, bisa berupa kekerasan seperti terjadi pada para ilmuwan dahulu di masa dominasi gereja, atau seperti pada para pejuang kemerdekaan.
Persoalan serius juga bisa muncul ketika pandangan politik kelompok lebih mengedepan ketimbang mencari kebenaran-penyelesaian. Dalam situasi seperti ini, pandangan politik penguasa biasanya lebih dominan dalam mengarahkan pandangan publik. Kata “radikal” yang semula netral dan kemunculannya wajar, bisa berbaur pengertiannya dengan fundamentalisme, ekstrimisme dan dalam kadar tertentu dikaitkan dengan terorisme. Dus, kata “radikal” bisa menjadi sesuatu yang sangat negatip dan menakutkan. Pengeritan “radikal” ini sepenuhnya dikontrol oleh penguasa, baik makna maupun arah kepada kelompok mana ditujukan. Jika kemudian salah satu atau kedua belah pihak (pro dan anti kemapanan) memiliki agenda poliitik progressif, maka keadaanya bisa sangat sulit dan berbahaya. Di sini, platform nilai yang disepakati bersama harus sungguh-sungguh ditegakkan sebagai rujukan.
Dalam konteks Indonesia, platform nilai yang disepakati bersama adalah Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, bukan yang lain. Di situlah saya berpijak.
Bila anda menilai saya memang seorang radikal, maka sesungguhnya anda adalah seorang radikal yang sedang berpijak pada sisi lain di luar platform Pancasila yang saya maksud. Atau, anda adalah seorang yang dimaksud oleh Karen Armstrong.
Wallahu a’lam bishshawab.
NB:
[Video: DR.Ir Masri Sitanggang: Tidak Mungkin Kita Bisa Jadi Pemenang Kalau Kita Tidak Merasa Bertarung..!]