Putaran Kedua Pilkada DKI: Awas, Satu Suara Akan Dibayar 3 Juta Rupiah
Oleh: Asyari Usman
(Mantan wartawan senior BBC)
Pilkada DKI betul-betul istimewa, khususnya putaran kedua yang akan berlangsung pada 19 April nanti. Semua mata tertuju ke sini. Macam-macam perasaan dan kecurigaan muncul. Sekarang tersebar berita bahwa salah satu calon siap membeli suara seharga 3 juta rupiah per pemilih.
Mungkinkah itu? Dikatakan mungkin, tampaknya tak masuk akal satu suara akan dibayar 3 juta. Dikatakan tak mungkin, tidak juga. Sebab, putaran kedua ini memang sangat besar taruhannya bagi salah satu calon yang siap menyogok itu. Di mata banyak orang, calon itu “wajib menang”.
Kabar 3 juta per satu suara ini tidak hanya menjadi buah bibir “kalangan bawah” yang suka gosip. Para politisi di DPR pun ikut mewanti-wanti kemungkinan intervensi dari gerombolan yang disebut “konglomerat hitam” Sembilan Naga (SN) untuk memenangkan calon yang mereka jagokan.
Kalau untuk sementara ini kita sebut saja kemungkinan itu bisa terjadi, seberapa besarkah taruhan di pilkada DKI ini bagi SN dan bagaimana kira-kira kalkulasi mereka sehingga siap menggelontorkan dana beli suara sebesar 3 TRILIUN RUPIAH guna mengamankan SATU JUTA SUARA untuk calon yang mereka dukung?
Untuk menjelaskan ini, saya tidak akan mengutip “kombur jalanan” (cerita jalanan) sebagai sumber tulisan ini. Saya akan membentangkan kekhawatiran sejumlah politisi senior di DPR yang mencemaskan beli suara dengan harga fantastis itu.
Nada bicara para politisi itu sangat serius. Seorang diantaranya mengatakan, SN siap patungan untuk memenangkan calon yang mereka anggap akan menimbulkan gempa politik berskala sangat kuat. Beliau menambahkan, uang 3 triliun tidak ada apa-apanya bagi SN.
“Bang, duit segitu itu sama dengan uang jajan anak-anak mereka,” ujar politisi dari salah satu partai yang mendukung calon SN tetapi Pak Politisi sendiri tidak sejalan dengan keputusan pimpinan partainya.
Saya katakan kepada Pak Politisi, “Saya pernah juga lihat berita itu tetapi saya tepiskan saja karena rasanya harga itu terlalu mahal.”
“Eh, jangan salah Bang. SN bertekad sangat kuat untuk memenangkan calon gempa politik,” kata Pak Politisi melanjutkan.
“Apa sebetulnya target Sembilan Naga itu?”
“Bang, mereka ingin mengendalikan Indonesia dalam jangka panjang melalui calon yang mereka paksa harus menjadi gubernur DKI dengan cara apa saja.”
Pak Politisi muda itu menjelaskan bahwa SN menyiapkan road map untuk menguasai Indonesia secara penuh pada pilpres 2024, paling lambat. Ada kemungkinan lebih awal dari itu kalau calon yang, menurut SN, harus dan pasti menjadi gubernur DKI di putaran kedua ini, bisa didorong untuk maju di pilpres 2019.
Saya katakan kepada Pak Politisi, “Mana mungkin itu…”
“Sangat mungkin, Bang. Kalau jagoan SN menang di putaran kedua, SN akan memaksakan si gubernur DKI untuk maju di pilpres 2019 sebagai wakil Pak Jokowi.”
“Besar kemungkinan terpilih sebagai wapres di 2019,” kata narasumber saya itu.
Dia menteorikan, begitu si jagoan SN duduk sebagai wapres bersama Jokowi, SN akan menyiapkan skenario untuk melengserkan Jokowi sehingga secara konstitusional naiklah wapres jagoan SN menjadi presiden.
Jadi, bagi Sembilan Naga, jagoan mereka harus menang melawan calon yang sejauh ini bisa disebut mendapat dukungan penuh dari umat Islam.
Pak Politisi mengatakan lagi, rute cagub SN yang dirancang seperti ini sangat mungkin berjalan mulus mengingat uang sogok yang mereka siapkan 3 juta rupiah per satu suara itu, kecil kemungkinan akan ditolak oleh pemilih yang merasa pilkada ini tidak ada bedanya bagi mereka, disogok atau tidak.
Tetapi, pertanyaan lain, apakah mungkin tim jagoan SN bisa aman menyerahkan uang 3 triliun rupiah kepada 1 juta pemilih?
“Apa iya?”
Beberap sumber yang mengaku lihai melakukan tugas “delivery khusus” menjelang pencoblosan di TPS mengatakan, “Tugas seperti itu masih tergolong ringan. Kami mengerti sekali cara penyerahan yang aman, lepas dari pantauan.”
NB: Siapakah Sembilan Naga itu? Kalangan wartawan dan pebisnis sejati mengatakan mereka itu adalah konglomerat-konglomerat hitam yang melakukan apa saja yang tidak mungkin terlintas di benak manusia biasa, demi mendapatkan keuntungan uang dan kekuasaan. Mereka disebut-sebut telah “membeli” salah satu partai politik besar dan orang-orang yang memiliki pengaruh di lembaga legislatif dan birokrasi.
(Penulis adalah mantan wartawan BBC. Artikel ini merupakan opini pribadi penulis, tidak ada kaitannya dengan BBC).
Sumber: fb penulis