Seorang Gus NU menulis ini:
"Belajarlah dari Muhammadiyah"
Jadilah seperti Muhammadiyah, mandiri dalam segala bidang. Karenanya, sikap-sikap politik dan kenegaraan mereka pun mandiri. Tidak banyak mudahanah, cari-cari muka, tidak mengaku paling NKRI, tidak mengaku paling Pancasilais, pengakuan mereka (Muhammadiyah -red) tidak diperlukan sebab tindakan mereka lebih dari cukup untuk menjadi bukti.
Muhammadiyah selalu bisa diharapkan, bahkan saat Revolusi Jilbab di era Orde Baru, saat siswa-siswa berjilbab begitu didiskriminasikan, sekolah-sekolah Muhammadiah lah yang menampung mereka.
Kasus Siyono (yang diduga Teroris pulang tak bernyawa), Muhammadiyah pula yang advokasi sampai otopsi ulang.
Kasus penistaan agama oleh BTP, Muhammadiyah pula yang menempuh jalur hukum beserta elemen lainnya. (salah satu pelapor kasus BTP adalah Pardi Kasman Sekjen Pemuda Muhammadiyah)
Muhammadiyah pun banyak mengajukan judicial review ke MK atas Undang-Undang yang merugikan rakyat. (Seperti UU Migas, UU Rumah Sakit, UU Ormas).
Ketika liberalisme agama menyerang pemuda-pemuda, pemuda-pemuda Muhammadiah pun terdampak tapi tak banyak, juga tak berkembang. Warga Muhammadiah tak begitu tertarik menjual agama demi uang, sebab perut mereka sudah cukup, mereka mandiri, mereka pun banyak memberi.
Saya dengar salah satu kisah dari sesepuh kami, gerakan Misionaris di salah satu kampung kewalahan bersaing dengan Muhammadiyah. Mereka memberi beras, Muhammadiyah juga memberi beras, mereka buat TK, Muhammadiyah juga buat TK, mereka bagikan permen, Muhammadiyah pun bagikan permen. Akhirnya, ummat lapar itu lebih memilih ngaji ke TK Muhammadiyah, sama-sama Islam, sama-sama dapat beras.
Saya yakin, semua keberkahan ini berawal dari kata-kata Kyai Dahlan "hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup dari Muhammadiyah."
Salam hormat untuk Muhammadiyah. Ingin belajar dari Muhammadiyah.
(Sumber: fb)