[PORTAL-ISLAM] Usai kemenangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta rupanya para pendukung petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat masih tidak terima kalau jagoannya kalah. Hal ini terbukti dengan adanya isu radikalisme yang mereka tiupkan usai kekalahan Ahok.
Banyak orang menanggapi isu tersebut, termasuk budayawan Sudjiwo Tedjo.
Melalui akun twitternya @sudjiwotedjo ia mengomentari isu radikalisme dengan cara elegan yang dibungkus kalimat nyeleneh.
Berawal dengan mengisahkan Korea Utara dan Iran tanpa adanya framing jahat media-media Barat. Ia mengungkapkan bahwa sebetulnya Korea Utara dan Iran tidaklah "sejahat" yang diberitakan pers negara Barat.
Aku ndak bisa komen soal Korut, karena yg aku tahu ttg Korut selama cuma dari media2 "Barat". Ya pasti jeleklah Korut. Pdhl mungkin baik jg— Pemuja-Isi-Daster (@sudjiwotedjo) April 28, 2017
Beberapa teman yg pernah ke Korut cerita bahwa kalau dialami dan disaksikan sendiri, tanpa via media "Barat", Korut itu asyik banget— Pemuja-Isi-Daster (@sudjiwotedjo) April 28, 2017
Iran juga mengerikan, menurut media "Barat". Pas aku ke sana, nyaksiin langsung, nggak jg tuh. Di sana jg banyak agama. Dan oke2 aja— Pemuja-Isi-Daster (@sudjiwotedjo) April 28, 2017
Kemudian dengan 'cantik' Sudjiwo Tedjo mengaplikasikan soal framing media tersebut ke dalam konflik yang terjadi di dalam negri.Acara nikah umat agama A, yang "minoritas", dihadirin oleh umat agama B, C dll di Iran. Beda ma Iran dan Korut versi Media "Barat"— Pemuja-Isi-Daster (@sudjiwotedjo) April 28, 2017
Belajar dari Iran dan Korut yg buruk di Media "Barat" tp tidak kalau disaksikan/dialami sendiri, aku pun tak terlalu percaya pers di sini— Pemuja-Isi-Daster (@sudjiwotedjo) April 28, 2017
Misal, sebelum tahu sendiri ttg KPK, aku tak akan mengagung2kan KPK hanya krn pers mengagung2kan KPK, lbh tinggi dari kejaksaan dan Polri— Pemuja-Isi-Daster (@sudjiwotedjo) April 28, 2017
Sudjiwo lalu serius membahas tentang media dan betapa framing jahat mereka dapat membentuk opini di masyarakat.Beberapa orang/ormas dicap garis oleh pers, setelah aku kenal sendiri orang/ormas itu.. Ya gak gitu gitu Amat tuh.. Masih bercanda dll dll— Pemuja-Isi-Daster (@sudjiwotedjo) April 28, 2017
Kebohongan #media gampang diditeks. Framing #media yg susah digitukan. Misal, dia tak pernah bikin berita bohong tentang kamu, tapi..— Pemuja-Isi-Daster (@sudjiwotedjo) April 28, 2017
Tapi misal #media itu cm memuat ketika kamu demo dan ngrusak ini itu. Ketika Kamu tersenyum dan bantu org tak pernah diberitakan #framing— Pemuja-Isi-Daster (@sudjiwotedjo) April 28, 2017
— Pemuja-Isi-Daster (@sudjiwotedjo) April 28, 2017
Kalau #media bikin berita bohong ttg kamu, km bisa ngadu ke polisi. Kalau #framing ? Ngadunya gmn (pas sy cemberut dimuat, pas senyum tidak)— Pemuja-Isi-Daster (@sudjiwotedjo) April 28, 2017
Bisa aja bos #media bilang ke polisi "Kami gak sengaja Pak. Tiap kali Pak Anu cemberut, kami kehabisan wartawan buat ngliput" #framing— Pemuja-Isi-Daster (@sudjiwotedjo) April 28, 2017
BJ Habibie di-#framing sbg cendekiawan Muslim. Amien Rais di- #framing Muslim garis keras. Kebetulan aku pernah baca disertasi ttg itu.— Pemuja-Isi-Daster (@sudjiwotedjo) April 28, 2017
Rangkaian twit Sudjiwo Tedjo ini meski terlihat halus, namun jelas menghantam keras para liberalis yang setiap hari berkicau soal radikalisme namun melupakan unsur framing media.