[PORTAL-ISLAM] Keberanian KPK untuk kembali membuka kasus BLBI mulai memancing reaksi banyak pihak tak terkecuali Jokowi.
Pasca penetapan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin A. Tumenggung dalam kasus dugaan korupsi Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di era Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai tersangka, KPK mulai membidik Inpres yang dikeluarkan Megawati terkait SKL tersebut.
KPK menilai penerbitan Inpres oleh Megawati bisa saja diindikasikan sebagai tindak korupsi apabila dalam penerbitannya ada sesuatu yang melanggar Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Kebijakan bisa saja terindikasi tindak pidana korupsi apabila dalam proses berjalannya kebijakan itu ada sesuatu manfaat, yang diperoleh untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain,” papar Basaria.
Menanggapi hal tersebut, Presiden Joko Widodo langsung pasang badan dan membela Megawati dan menegaskan bahwa Inpres adalah kebijakan, bukan pelaksanaan.
"Bedakan mana kebijakan dan mana pelaksanaan. Keputusan Presiden, Peraturan Presiden, dan Instruksi Presiden adalah kebijakan, bukan pelaksanaan," ujar Presiden Joko Widodo kepada wartawan di Inacraft, Jakarta Convention Center, Rabu, 26 April 2017.
SKL BLBI dikeluarkan Presiden Megawati lewat Inpres No.8 Tahun 2002. Inpres itu diterbitkan untuk memberikan jaminan hukum kepada debitur yang menyelessaikan kewajibannya membayar BLBI.
Dalam pertimbangannya, Inpres tersebut dikeluarkan berdasarkan pada ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002 tentang rekomendasi yang berkaitan dengan perjanjian PKPS (Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham).
Dalam Inpres itu antara lain disebutkan bahwa kepada para debitur yang menyelesaikan kewajiban pemegang saham, diberikan bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan dalam rangka jaminan kepastian hukum.
Jokowi menambahkan bahwa kebijakan yang dikeluarkan Megawati kala itu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada. Jadi, tidak bisa langsung dikaitkan dengan dugaan korupsi yang ada.
"Lebih detilnya, tanyakan ke KPK lagi," ujarnya.
Selasa kemarin KPK menetapkan Syafruddin A. Temenggung sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Tersangka Syafruddin A. Tumenggung selaku Kepala BPPN pada 2002 diduga telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi," ujar Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan.
Menurut Basaria, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup atau dua alat bukti dalam pemberian surat pemenuhan kewajiban pemegang saham, yang dalam hal ini surat keterangan lunas kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia pada 2004.