BASWEDAN
by @salimafillah
Ada satu acara layar kaca yang senantiasa dinanti anak seusia saya, para murid SD di pedalaman Yogyakarta, sekira seperempat abad lalu. Tanah Merdeka, begitu tajuknya, digagas oleh Ishadi SK. Diwarnai kibar-kibar bendera dan derap irama yang menghentak, sosok berkulit agak gelap dengan senyum khas itu bicara dengan nada tegas dan ukara tertata, ketika mewawancarai tokoh-tokoh bangsa.
Baswedan. Anies Baswedan.
Kami tahu, betapa terhormatnya marga itu di Yogyakarta. Penghulunya, 'Abdur Rahman Baswedan adalah wartawan pejuang, pendiri Partai Arab Indonesia yang langsung membubarkan diri begitu tergapai cita; Indonesia Merdeka. Putra beliau, 'Abdur Rasyid adalah pendidik di UII. Sang menantu, Aliyah adalah Guru Besar di UNY. Anies adalah putra pasangan ini, cucu sang pahlawan.
Marga Baswedan, bagi kami, adalah bintang kejora. Penantian kami pada Tanah Merdeka, sama dengan antusiasnya Ayah saya menyetel radio keras-keras sambil menyapu halaman atau memangkas pagar wora-wari di Ahad pagi, menanti suara khas Pak Tedjo Sumarto Sarjana Hukum dalam program 'Forum Negara Pancasila'.
Mungkin Mas Anies lupa, tapi seingat saya, kami bersemuka dalam sebuah sayembara menulis cerita sepropinsi DIY di Museum Benteng Vredeburg pada medio 90-an. Dia membawakan acara, sementara saya hanya murid SD peserta lomba yang datang lebih dari satu jam berkendaraan umum. Beberapa bulan kemudian saya diundang ke Kepatihan untuk menerima hadiah juara pertama dari Gubernur Sri Pakualam VIII, dan saya berharap bahwa pembawa acaranya juga Anies Baswedan. Ah, sayangnya bukan.
Bertahun-tahun kemudian setelah Mas Anies pulang dari Amerika, memimpin Paramadina, mencetuskan 'Indonesia Mengajar' hingga 'Turun Tangan', saya menajamkan kekaguman yang telah tumbuh sejak kecil itu melalui cerita-cerita adik kelas SMA saya, yang ayahandanya juga guru saya di Jogokariyan, yang akrab di alam para cendikia dengan Mas Anies; Shofwan Al Banna Choiruzzad, Ph.D. Saya baru tahu belakangan bagaimana kiprah Mas Anies semasa mahasiswa; menentang SDSB, bergiat di HMI dan MPO-nya, memimpin Senat, serta merintis pembentukan BEM sebagai lembaga eksekutif sementara SM menjadi lembaga legislatif kemahasiswaan. Berbagai kejuaraan, pengakuan, dan penghargaan dari dalam maupun luar negeri yang diraihnya adalah pendar kemilau bagi kepermataannya sejak mula; cerdas, amanah, hangat.
Ah, dan beberapa kali saya mengecewakannya.
Suatu hari saya bersama Hilma, Nawwaf, dan Umminya sedang berada di Palembang memenuhi undangan bincang para muda di Masjid Al 'Aqabah, PT Pusri. Telepon berdering dan Mas Anies yang sudah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu bicara membujuk saya agar mau terbang sebentar ke Jakarta. Acaranya? Sebuah tasyakur kecil-kecilan keluarga dan handai taulan untuk mendoakan Ibunda beliau, Prof. Aliyah, yang hari itu bertambah usia.
Meski hati terlonjak hendak bersitatap dengan keluarga yang saya kagumi sejak kecil, saya memohon maaf. Saya tidak bisa. Janji dengan adik-adik di Palembang tak mungkin dikurangi. Doa untuknya dan Sang Bunda hanya saya kirim dari jauh.
Lebaran lalu saya mengecewakan Mas Anies untuk kali kedua. Di tengah Ramadhan, dia menghubungi lagi, meminta saya berbagi bincang dalam Syawalan di Kementerian yang dipimpinnya. Saya menyanggupi dengan catatan berangkat pagi dan petang sudah tiba kembali di Ngawi. Tapi persoalan teknis penuhnya semua penerbangan di hari H karena terlambatnya pengurusan tak terselesaikan. Saya yang kadung punya janji dengan keluarga tak dapat menenggang perubahan jadwal.
Tepat ketika dia diberhentikan dengan hormat dari amanah sebagai Menteri, saya menuliskan harapan bahwa tantangan menarik berikutnya untuk dia adalah menjadi Gubernur. Bukan di Yogyakarta yang pemerintah propinsinya meraih berturut-turut kinerja A tertinggi berdasar penilaian Kementerian PAN dan RB itu. Yogyakarta sudah 'istimewa' dalam segala maknanya. Saya katakan saat itu, dia diperlukan untuk menata ibukota. Sekira 8 pekan kemudian, nama Anies Baswedan memasuki gelanggang pemilihan Gubernur DKI Jakarta.
Kini, menjelang pemilihan babak kedua digelar, saya akan kembali mengulangi harapan itu. Pemimpin, adalah pemimpi dengan n, yakni nyali, kata Mas Anies. Nyalinya untuk berlaga adalah keyakinan bahwa tugas kita itu berjuang. Sebakda itu, laa ghaaliba illallaah. Yang Maha Memiliki Kemenangan hanya Allah.
Walau tak punya suara, inilah kami mendukungnya dalam doa. Terimakasih telah mengilhami anak-anak Indonesia sejak Tanah Merdeka, Indonesia Mengajar, edaran menyentuh pada awak Kemendikbud untuk melayani para guru yang mengurus kepegawaian, hingga teladan mengantar anak di hari pertama masuk sekolah. Lanjutkan Mas Anies, dan jangan terkejut bahwa jikapun kau terpilih, kami takkan berpesta gembira. Ketika kau menjabat, kami bahkan akan bersiap untuk menjewer dan mengomel.
Di seberang sana, doa kami untuk Baswedan lain yang diuji dengan air keras di tengah derasnya tugas. Syafaakallaahu syifaan taamman, Bang Novel.***