Anies Baswedan yang Saya Kenal
(Imam Masjid New York)
Sesungguhnya saya sudah mengenal Anies Baswedan sejak lama. Waktu itu, saya sebagai mahasiswa di Universitas Islam Internasional di Islamabad, Pakistan, kerapkali membaca tulisan-tulisan yang berbobot, bermutu, dalam, dan luas dari seorang aktivis mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) bernama Anies Baswedan. Sejak itu, nama tersebut melekat di kepala, bahkan lambat laun menjadi idola tersendiri. Karena itu pula, saya mulai termotivasi untuk belajar menulis.
Lambat tapi pasti, perkenalan jarak jauh itu menumbuhkan simpati, bahkan membuat beliau menjadi panutan dalam banyak hal. Kelihaian menuangkan pikiran lewat tulisan, kecerdasan, keluwesan dalam berpikir, ketajaman analisis, dan jiwa kepemimpinan beliau menjadi alasan-alasan utama saya.
Sejak masih duduk di bangku kuliah, beliau dikenal sebagai aktivis dan Ketua Senat Mahasiswa UGM. Sebelumnya, beliau juga pernah terpilih menjadi Ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) se-Indonesia. Belakangan, Anies juga menjadi salah satu tokoh yang menghidupkan senat mahasiswa setelah sempat dihapuskan oleh Kementerian Pendidikan RI.
Tapi barangkali kedekatan itu baru benar-benar terjalin saat beliau menempuh studi di Amerika Serikat (AS). Dalam kapasitasnya sebagai mahasiswa sekaligus ahli politik, beliau kerap diundang oleh berbagai pihak, termasuk komunitas Indonesia di Negeri Paman Sam.
Saya, sebagai imam yang juga sering berkeliling ke berbagai kota di AS, akhirnya membuat kami jadi kerap bertemu, khususnya di saat beliau menempuh S2 di Universitas Maryland. Belakangan, beliau melanjutnya studi S3 di Northern Illinois University. Dari beberapa kali pertemuan itu, baik di acara formal, seminar, dialog, konferensi, atau pengajian-pengajian lokal, saya menemukan sosok yang mungkin dalam bahasa orang Amerika "cool, yet down to earth" (sangat menarik, tapi sekaligus sangat rendah hati).
Saya tiba di Amerika di pengujung tahun 1996. Sementara, Anies Baswedan tiba di Amerika untuk memulai studi tahun 1997. Sejak itu hingga tahun 2005 kami beberapa kali berinteraksi. Terus terang, kedekatan itu juga saya jadikan bekal dalam melanjutkan langkah-langkah perjuangan untuk perjuangan dalam membangun kebaikan umum di Amerika Serikat.
Setelah beliau menjadi Menteri Pendidikan, kami juga sempat bertemu beberapa kali, baik di Amerika maupun di Indonesia. Beberapa waktu lalu, saat beliau melakukan perjalanan dinas ke kota New York, beliau menyempatkan diri bersilaturahmi dengan saya di Upik Jaya, sebuah restoran Padang milik warga Indonesia.
Kami terakhir kali bertemu saat saya memenuhi undangan Wali Kota Banda Aceh untuk melakukan safari dakwah selama dua hari. Tanpa sengaja, beliau juga berada di bandara saat saya mendarat. Saya tak menyangka, dari dulunya bertemu sebagai teman, kini saya bertemu Pak Anies sebagai seorang menteri.
Kepintaran, kedalaman analisis, yang didukung oleh keluwesan wawasan, serta visi yang jelas, menjadikan beliau sukses dalam segala tingkatan kariernya. Sekembalinya dari Amerika, beliau terpilih menjadi Rektor Universitas Paramadina di Jakarta. Pada saat bersamaan, beliau mendirikan sebuah pergerakan nasional untuk memajukan pendidikan Indonesia. Gerakan itu diberinya nama Indonesia Mengajar.
Belakangan, beliau yang sebelumnya tak pernah terlibat intrik-intrik kepentingan, termasuk partai politik tertentu, pada akhirnya ikut menjadi tim pemenangan Presiden Jokowi. Dukungan yang beliau berikan saat itu tentu didasarkan pada ijtihad politik pada masanya.
Sebagai seorang idealis, beliau melihat jika Jokowi saat itu adalah simbolisasi perubahan Indonesia. Kesederhanaan serta keberpihakan pada rakyat kecil dengan janji-janji pemerataan dan kemakmuran bagi semua menjadi pertimbangannya. Jokowi pun terpilih dan Anies diangkat menjadi Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia.
Kedudukan beliau sebagai menteri berjalan setengah karena keadaan politik yang berubah pesat. Pihak-pihak yang punya kepentingan bergerilya siang-malam untuk mendapatkan posisi-posisi strategis di pemerintahan Jokowi. Sementara, Anies Baswedan sendiri tidak memiliki "back up" politik yang memadai. Suasana itulah yang menjadikan beliau digantikan di Kementerian Pendidikan RI.
Setelah diberhentikan dari posisinya sebagai menteri, Anies kembali hidup sebagai rakyat biasa. Kerap kali mengantar anaknya sekolah dengan mengayuh sepeda.
Sebagaimana hidup, posisi atau atau jabatan adalah amanah dan bersifat sesaat. Oleh karenanya, Anies tidak merasa kehilangan dan harus sedih dengan pemberhentian itu. Dia hanya merasa kehilangan kesempatan beramal di bidang itu.
Calon Gubernur DKI
Tidak lama setelah "terbebas" dari tugas sebagai menteri, beliau kembali mendapat tantangan besar untuk menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta. Tantangan ini tentunya bukan karena keberadaan lawan dari parpol lain yang lebih hebat, tetapi lebih kepada realita bahwa DKI adalah sebuah ibu kota sebuah negara besar.
Kebesaran DKI tidak hanya disebabkan karena penduduk yang banyak dan beragam. Lebih dari itu, berbagai permasalahan yang kompleks seperti banjir, kemacetan, kemiskinan, pengangguran, maraknya kejahatan, dan tawuran antar pelajar membuat pekerjaan rumah siapa pun yang memimpinnya akan selalu menumpuk.
Tapi yang terpenting dari itu semua, Jakarta adalah wajah negara Indonesia yang luar biasa. Negara besar dengan jumlah penduduk terbesar keempat dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Negara yang dikenal sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Terakhir, Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.
Dua poin terakhir itulah yang menjadikan Indonesia lebih unik dan khas karena pada umumnya, negara-negara mayoritas Muslim bukan merupakan negara demokratis. Namun, Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar mampu mengawinkan keduanya. Semua itu menjadikan Anies menjadi sangat relevan pada pemilihan Gubernur DKI kali ini. Pada diri Anies, terdapat kualitas-kualitas pemimpin yang diperlukan oleh Jakarta masa kini dan Indonesia ke depan.
Berikut saya sebutkan beberapa kualitas yang penting untuk dipertimbangkan warga Jakarta:
Satu, Anies tidak diragukan lagi kapabilitas intelektualitasnya. Dunia kita saat ini memerlukan orang-orang pintar, berwawasan luas, serta dalam melihat setiap masalah selalu dengan analisis tajam dan menyeluruh.
Dua, Anies berkarakter "cool", bijak, dan dewasa. Dengan permasalahan yang kompleks di Jakarta, pressure akan sangat besar. Belum lagi intrik-intrik politik dari banyak kalangan yang meminta perhatian dan keuntungan. Pasalnya, Jakarta adalah tempat lompatan kepentingan yang tercepat. Semua ini memerlukan pemimpin yang di satu sisi punya prinsip, tetapi juga bijak. Saya melihat Anies memiliki itu.
Tiga, Pengalaman Anies melanglang buana menjadikannya memiliki kemampuan global yang mumpuni. Dunia kita saat ini adalah dunia global. Jakarta sebagai ibu kota memerlukan pemimpin yang berwawasan dan memiliki pengalaman global itu. Jika tidak, maka Jakarta akan tergilas oleh laju globalisasi yang semakin dahsyat.
Empat, Anies memiliki keseimbangan dalam membangun fisik dan manusia Jakarta. Sebagai tamatan Amerika, pembangunan fisik perkotaan bukan sesuatu yang asing. Perhatikan kota New York itu. Di sisi lain, sebagai pendidik Anies sadar bahwa pembangunan material tanpa pembangunan kemanusiaan, pada akhirnya akan menjerumuskan manusia ke dalam lubang inhumanitas (manusia tanpa kemanusiaan).
Lima, Anies memiliki kepribadian dan karakter yang memihak kepada kaum marginal. Beliau datang dari kalangan keluarga pejuang, dan beliau sendiri secara pribadi sukses, namun hidupnya tetap sederhana. Karakter dan kepribadian ini yang nantinya akan diterjemahkan dalam kebijakan-kebijakan publiknya. Ambisi Jakarta untuk membangun tidak semestinya merendahkan aspek "compassion" atau belas kasih kepada mereka yang lemah. Hukum dan keadilan itu harusnya selalu dibarengi oleh karakter "Al-Ihsan" (kebaikan).
Enam, Anies memiliki etika dalam berkata dan bersikap. Jakarta sebagai wajah Republik seharusnya dipimpin oleh seseorang yang santun, memiliki etika dalam mengekspresikan diri, terutama kepada rakyatnya. Jati diri Bangsa Indonesia yang santun, sopan, lembut, dan ramah, seharusnya dapat terus dijaga. Ketika pemimpin ibu kota berkarakter sebaliknya, artinya dia sudah merendahkan ke-Indonesia-an itu sendiri.
Tentu perlu ditegaskan bahwa karakter sopan, santun, beretika tidak selamanya dipahami sebagai sikap lemah dan tidak tegas terhadap kejahatan, termasuk korupsi. Sebagaimana karakter baik, saleh, dan rendah hati tidak berarti harus lemah kepada setan. Sebaliknya, karakter dan sikap demikian adalah senjata melawan kebathilan karena karakter kasar, angkuh, serta tidak beretika itu sendiri merupakan perilaku setan.
Tujuh, Anies tidak dibayang-bayangi oleh kekuatan luar, baik secara ekonomi maupun politik. Hal ini sangat penting karena Indonesia sejarahnya banyak dikontrol oleh kekuatan bayang-bayang (invisible power) dari luar. Didukung oleh nafsu kekuasaan dalam negeri, seringkali kekuatan luar (foreign power) ini memeras kekayaan negara. Hasilnya, masyarakat Indonesia selama ini justru dijadikan pelayan (servant), bahkan budak (slave) di negeri sendiri.
Penutup
Akhir kata, saya tidak punya hak pilih di Jakarta, tidak juga punya kepentingan langsung dengan Pilkada Jakarta. Tapi, sebagai anak bangsa yang sudah tinggal di luar negeri sejak tamat pesantren (SMA), saya tetap cinta Indonesia dan ingin melihat Indonesia maju dan jaya bersama negara-negara besar lainnya.
Tulisan saya juga tidak mengandung hal yang mungkin dapat dikategorikan atau minimal dicurigai sebagai SARA. Ini semua murni berdasarkan pengamatan yang terlepas dari unsur-unsur tersebut, juga terlepas dari kepentingan pribadi dan golongan.
Saya berharap sekaligus berdoa semoga Pilkada Jakarta dan ratusan pilkada lainnya di berbagai belahan negeri bisa aman, berjalan lancar, dan menghasilkan pemimpin-pemimpin daerah yang kapabel dan berintegritas tinggi. Sehingga, para pemimpin itu nantinya mampu membawa Indonesia ke arah cita-cita "baldatun thoyyibatun wa Rabbin Ghafur". Negeri indah yang dinaungi ridho Ilahi. Amin!
New York, 4 April 2017
__
Sumber: Kumparan