Politik Tanpa Agama: Rakyatnya Harus Atheist atau Komunis
by Asyari Usman
(Mantan wartawan senior BBC)
Presiden Joko Widodo (Pak Jokowi), ketika meresmikan titik nol Islam di Barus, Tapanuli Tengah, 24 Maret 2017, meminta agar urusan politik dipisahkan dari urusan agama. Beliau bukan orang pertama yang menganjurkan pemisahan ini. Sudah berkali-kali imbauan serupa diteriakkan oleh sekian orang pemimpin, namun belum juga bisa dilaksanakan.
Mengapa belum bisa? Masalahnya sederhana saja. Selagi umat beragama, utamanya umat Islam, masih melaksanakan perintah sholat, zakat, puasa, ibadah haji, dan selagi pendidikan Islam diselenggaran oleh berbagai lembaga seperti pesantren dan madrasah, dll, maka sepanjang itu pula keinginan untuk memisahkan politik dan agama akan gagal terus.
Dengan permintaan maaf lebih dulu kepada Pak Jokowi, saya ingin menduga-duga sistem kenegaraan bagaimana yang kemungkinan sanga beliau idamkan.
Berdasarkan fakta yang ada, di dunia ini hanya ada dua sistem yang relatif bebas dari pengaruh elemen keagamaan, yaitu sekulerisme dan komunisme. Tidak ada sistem ketiga, dan tidak mungkin merekayasa sistem ketiga itu.
Dengan begitu, road map untuk Pak Jokowi menuju sistem kenegaraan dan pemerintahan Indonesia yang bebas dari elemen keagamaan, sangat simpel. Yaitu, jadikan rakyat Indonesia ini atheist atau paksakan saja pemberlakuan paham komunis.
Pilihan pertama: rakyat atheist. Kalau rakyat Indonesia sudah menjadi atheist, maka sampailah Pak Jokowi ke “surga dunia” yang beliau idam-idamkan. Parlemen Pak Jokowi tidak akan diisi oleh partai maupun politisi yang berbasis umat beragama. Indonesia akan berubah menjadi Prancis, Italia, Belgia, atau Belanda yang rakyatnya sekuler. Masjid kosong, tidak ada lagi gangguan suara azan.
Hanya saja, sebelum sampai ke situ, Pak Jokowi dan think-tanknya mau tak mau harus bekerja keras untuk mengatheistkan rakyat Indonesia.
Langkah-langkah awalnya lebih kurang seperti ini: gembok semua masjid yang ada di seluruh Indonesia dan keluarkan larangan pemberian nama muslim untuk semua bayi yang lahir. Tutup semua pesantren, sita semua mushaf al-Quran, tahan semua ulama, ustad serta guru agama, perbanyak sekolah-sekolah liberal, dan perkuat gerakan-gerekan semacam LGBT, dll.
Itu pun belum tentu langsung rakyat akan menjadi atheist. Perlu puluhan, bahkan mungkin ratusan tahun. Barulah nanti Pak Jokowi (semoga panjang umur) bisa duduk sebagai presiden tanpa harus membuka pidato dengan “assalamualaikum” atau “bismillahirrahmanirrahim”. Tidak perlu lagi mengucapkan “la haula wala quwwata illa billah”. Dan, tidak ada lagi jadwal kunjungan ke pesantren, bertemu para ulama, atau acara di Masjid Istiqlal (karena semua masjid digembok permanen).
Tidak ada lagi FPI dan Habib Rizieq yang membuat Pak Jokowi repot. Tidak ada lagi Aksi 411 atau 212, dsb. Tidak ada lagi pasal-pasal penistaan agama. Barulah nanti acara atau rapat di Istana bisa menyajikan miras (teramasuk yang oplosan) dan tari-tarian eksotik.
Pilihan yang kedua bagi Pak Jokowi ialah memaksakan sistem komunisme. Tindakan yang perlu dilakukan lebih kurang sama dengan langkah-langkah yang diambil untuk mengatheistkan rakyat seperti yang diuraikan diatas. Yaitu, agama Islam harus dilenyapkan dari bumi Indonesia. Tentunya banyak tempat untuk berkonsultasi tentang cara mengkomuniskan rakyat Indonesia. RRC atau Korea Utara tampaknya siap membantu.
Terus, seperti apa kira-kira risiko yang bakal muncul kalau Pak Jokowi memutuskan untuk mengadopsi salah satu pilihan tadi?
Untuk menguji risikonya, sangat mudah. Coba saja dulu digembok 10 masjid di setiap kabupaten/kota di Indonesia. Kemudian, coba dulu tutup 50 pesantren dan tahan 100 kiyai. Pasti akan bisa diukur seberapa ringan atau seberapa berat upaya untuk mengatheistkan atau mengkomuniskan rakyat Indonesia.
Tadi disebutkan bahwa tidak ada jalan ketiga diantara atheisme dan komunisme. Lantas, bagaimanakah jalan keluar yang terbaik agar Pak Jokowi bisa menjadi presiden dengan kondisi rakyat tidak berubah, tetap seperti sekarang? Artinya, rakyat tidak diatheistkan atau dikomuniskan?
Jawabannya: jalan keluar itu bisa ada, bisa juga mustahil ada. Kalau Pak Jokowi mau dan sanggup, buat saja program relokasi rakyat Indonesia yang beragama Islam ke kawasan lain, misalnya ke benua Antartika di dekat Kutub Selatan. Tentu biayanya sangat mahal karena Pak Jokowi harus menyiapkan permukiman yang tahan iklim dingin sepanjang tahun. Juga harus menyiapkan kawasan industri dan perkotaan serta sistem transportasi yang sesuai dengan cuaca minus 15 derajat.
Meskipun pilihan ini berat, tetapi imbalannya sangat memuaskan. Artinya, dengan pemindahan warga muslim ke Antartika, Pak Jokowi menjadi tenang dan nyaman karena tidak ada lagi yang “ngerecoki” beliau di Indonesia.
Pilihan lain yang lumayan ringan ialah, Pak Jokowi coba kumpulkan WNI yang tidak beragama, kemudian bawa mereka pindah ke tempat lain. Kalau mau ke Antartika juga, tentu bisa bermusyawarah dengan PBB.
Pilihan ini pun sangat berat sebetulnya. Tetapi, tidak ada salahnya dicoba untuk memastikan bahwa sistem kenegaraan dan pemerintahan di Antartika itu nanti betul-betul bebas dari elemen keagamaan.***
(Penulis adalah mantan wartawan BBC. Bergabung dengan BBC London sejak Juli 1988. Artikel ini adalah opini pribadi penulis, tidak ada kaitannya dengan BBC)