"Situ ribet banget, Gan."
Ketika alfamart, indomaret, dan toko2 sejenis menjamur di Indonesia, lantas kemudian menghabisi puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu toko kelontong/tradisional, pemerintah pusat tidak ‘ganas’ sekali mengeluarkan peraturan “demi keadilan”, untuk menyelamatkan toko kelontong. Tidak. Mereka diam saja. Toh, konsumen memang lebih menyukai toko-toko baru ini. Tidak perlu nawar, harga jelas, lebih murah, lebih nyaman, dan semua serba ada.
Tapi ketika transportasi online menjamur di Indonesia, Gojek, Grab, Uber, dll, lantas kemudian mengancam menghabisi jasa transportasi tradisional, entah kenapa, pemerintah baru ‘ganas’ sekali mengeluarkan peraturan “demi keadilan”. Padahal logikanya, bukankah sama dengan alfamart, indomaret ini, konsumen jelas lebih menyukai transportasi model baru ini. Tidak perlu nawar, tidak takut argonya jebol, lebih gampang, lebih nyaman, dan semua tinggal klik, klik dan klik.
Apa yang membedakan antara kasus pertama dan kasus kedua? Bedanya di: yang pertama, yang disingkirkan adalah rakyat jelata biasa, jadi bodo amat itu toko kelontong mau mati semua; kasus yang kedua, wah, yang hendak tersingkir adalah pemilik modal. Ada banyak perusahaan taksi raksasa yang bisa kacau urusannya. Ada banyak pemain besar yang tidak mau diotak-atik model bisnisnya. Jangankan di Jakarta, di bandara2 lokal saja, kita sudah tahu sama tahu, dikuasai oleh ‘koperasi’ taksi--alias orang kuat penguasa bandara tersebut. Nah, yang satu ini, tidak bisa bodo amat, mereka punya organisasi, mereka bisa melakukan lobby. Maka pemerintah semangat mengeluarkan argumen “demi keadilan” melindungi--entah keadilan seperti apa maksudnya.
Apakah pemerintah peduli dengan realitas bahwa konsumen sangat terbantu dengan adanya transportasi online? Apakah pemerintah peduli dengan fakta bahwa transportasi online juga memberikan kesempatan kerja pada ratusan ribu penduduk Indonesia? Apakah pemerintah paham jika transportasi online jauh lebih murah dan efisien?
Lihatlah generasi baru pengguna transportasi online. Pesan makanan, go food. Mau kemana2, naik gojek/gocar, juga uber, atau grab. Mau ambil barang go send. Mau beli sesuatu, lagi hujan deras, atau nggak bisa kemana2, go mart. Hidup jauh lebih mudah. Siapa sih yang hidupnya jadi lebih susah setelah ada transportasi online? Opang--ojek pangkalan? Tidak juga. Mereka kalau mau jadi sopir gojek/uber/grab, justeru terbantu. Kecuali memang lebih suka mangkal, ngobrol santai, lantas saat ada penumpang, langsung kasih tarif Rp 40.000 (padahal gojek cuma Rp 6.000). Tapi itu tidak jaman lagi.
Sama tidak jamannya, di Kota tertentu misalnya, bandara hanya dikuasai oleh 1 taksi saja (“koperasi”). Taksi ini berkuasa penuh. Tarif mereka tentukan sendiri di awal. Yang harganya tentu saja lebih mahal. Mobil mereka bau rokok. Sopirnya merokok santai saja (meski penumpang sudah protes). Pelayanan tidak maksimal. Dengan semua fakta tersebut, kita mau bicara soal pariwisata? Turis2 asing mendarat di Kota ini, mereka harus menemukan taksi2 ini? Eww, belum lagi taksi gelap yang semau mereka pasang harga. Sopir2 yg tidak dikenali, dan rentan sekali menipu. 'Calo' di lobi kedatangan yg merangsek penumpang, kadang memaksa.
Hello, kenapa tidak digantikan dengan transportasi online? Saat turis turun, mereka buka aplikasi. Mereka klik, klik, klik, tentukan tujuan. Tarifnya jelas, murah, diskon pula. Rutenya jelas. Mobilnya jelas, sopirnya jelas, ada fotonya, dan clear. Mobil mereka juga nyaris keluaran terbaru. Dalamnya terawat dan tidak bau rokok. Sopirnya ramah, berasa punya mobil pribadi. Come on, jika pejabat pemerintah itu mau membela kepentingan rakyat jelata sedikit soal ini, seharusnya sejak dulu, “koperasi” taksi penguasa bandara2 itu sudah digantikan. Mau pakai logika manapun, tetap saja tidak masuk akal terus membela “koperasi” ini beroperasi.
Entahlah. Situ ribet banget, gan.
(Tere Liye)
*Situ ribet banget, Gan. Ketika alfamart, indomaret, dan toko2 sejenis menjamur di Indonesia, lantas kemudian...
Dikirim oleh Tere Liye pada 22 Maret 2017