[PORTAL-ISLAM] Budayawan Emha Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun dengan tangan terbuka menyambut Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan yang datang untuk bersilaturahim.
Dikutip dari laman caknun.com, kunjungan LBP tersebut sudah dijadwalkan. Berikut sebagian dari kutipan di laman tersebut.
Seperti telah dijadwalkan, siang kemarin, Jumat, 17 Maret 2017, Menko Kemaritiman RI Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) beserta rombongan tiba di Rumah Maiyah Kadipiro Yogyakarta. Selain silaturahim, perbincangan Cak Nun dan LBP diselingi santap siang yang berlangsung informal dan santai. Meski demikian, Cak Nun merespons dan berbicara apa adanya, tanpa tedeng aling-aling, serta objektif tentang situasi Indonesia saat ini.
Sebagian yang disampaikan Cak Nun, baru kali pertama didengar LBP. Beberapa kali LBP terkejut dan terperanjat pada logika mendasar dan simpel yang dicontohkan Cak Nun. Salah satunya, jika orang terus-menerus diinjak, suatu saat pasti secara alami akan keluar identitas aslinya. Kalau dia orang Islam, dia akan berteriak Allahu Akbar. Atau kalau dia orang Jawa Timur, dia akan misuh. Sesungguhnya masalah tidak terletak pada takbir dan misuh, tetapi pada ketidakadilan yang melahirkan penindasan yang terlalu lama. Sekarang orang mengira masalahnya pada takbir atau misuh alias identitas dan saling bertengkar karenanya, padahal bukan di situ masalahnya.
Beberapa kali pula LBP tersenyum lebar oleh contoh-contoh yang ditunjukkan Cak Nun dan merasa yang seperti ini yang perlu didengar elit pemerintah. Pandangan sederhana tapi tajam ini sepertinya memang diperlukan, dan LBP sendiri mengakui pemerintah pusing dibuat oleh situasi-situasi politik saat ini yang asal-usulnya sebagian bermula dari ketidaktepatan dalam memandang masalah dan membaca koordinat, mulai dari perang identitas, tumpang tindihnya orang dalam menggunakan “keris”, “pedang”, dan “cangkul”, dan lain-lain soal.
Cak Nun sendiri menegaskan, yang dibutuhkan saat ini adalah pemimpin yang mengerti “keris” atau pusaka untuk mengayomi semua anak bangsa. Dalam bahasa lain, Cak Nun menyampaikan kepada LBP, bahwa seorang Presiden haruslah lengkap, ya rohaniawan, teknokrat, pemimpin pemerintahan, ya panglima,dan harus berperan sebagai “orang tua”, sebab bangsa ini sedang tidak memiliki “orang tua”. Karena tidak ada “orang tua”, semestinya Presiden menempati posisi itu sehingga ekspresinya kepada rakyat lebih mengayomi, tidak defensif, tidak bertanding, dan tidak menganggap orang lain sebagai musuh.
Setelah berbincang di lantai 2 Rumah Maiyah, LBP meminta beberapa saat untuk berbicara empat mata.
Apapun hasil perbincangan empat mata kedua tokoh ini, kiranya segera dapat mengobati bangsa yang sedang sakit dan nyaris sekarat oleh rangkaian konflik horizontal.