Oleh Denny Indrayana*
Akhir-akhir ini, berbicara soal Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dapat dipastikan akan menimbulkan perdebatan. Apapun topiknya. Semua terkait dengan sosok Ahok yang sering mengundang polemik ditambah lagi hangatnya suhu politik Pemilihan Gubernur Jakarta.
Meskipun berisiko masuk dalam perdebatan demikian, saya tetap akan membahas isu hukum pemberhentian sementara Ahok sebagai Gubernur, karena statusnya selaku terdakwa dalam kasus penodaan agama.
Saya menduga, pendapat saya yang setuju Ahok diberhentikan sementara, akan dipuja barisan anti-Ahok, dan dicerca kelompok pendukung Ahok. Tanggapan demikian berkebalikan dengan kolom saya sebelumnya yang menuliskan soal Fatwa MUI dan kaitannya dengan hukum positif. Kolom itu didukung barisan pendukung Ahok, dan ditentang kelompok anti-Ahok.
Yang pasti, bagi saya tidak terlalu penting dukungan dan tentangan itu. Saya hanya akan menulis saja, seobjektif mungkin, pendapat soal pemberhentian sementara Ahok ini, utamanya dari sisi hukum tata negara yang saya pelajari.
Apalagi saya sekarang ada di Melbourne (Australia), sebagai Visiting Professor di Melbourne University Law School, sehingga tidak dapat ikut memilih Gubernur Jakarta pada 15 Februari yang akan datang.
Satu hal lagi, yang mendorong saya untuk menulis kolom ini adalah, karena saya membaca komentar miring kepada Doktor Refly Harun, yang kebetulan berpandangan bahwa tidak ada alasan hukum untuk memberhentikan sementara Gubernur Ahok.
Simak tulisan Refly di sini: Lagi, Pemberhentian (Sementara) Ahok.
Bang Refly, begitu saya memanggilnya, bukan hanya senior saya di Fakultas Hukum UGM, tetapi juga adalah Guru saya (dengan huruf ‘G’ besar) dalam bidang hukum tata negara. Dorongan saya untuk menggeluti HTN, salah satunya karena melihat sosok Doktor Refly Harun yang kala itu menulis skripsi soal Sistem Presidensial di Indonesia, topik HTN yang di era akhir Orde Baru kala itu belum banyak peminatnya jika dibandingkan dengan sekarang.
Meski berbeda pendapat soal pemberhentian sementara Ahok ini, saya tahu persis level integritas dan intelektualitas Refly Harun, dan paham benar bahwa pandangan Bang Refly yang demikian betul-betul didasarkan pada bacaan hukumnya atas aturan yang ada, bukan karena soal lain sebagaimana disinyalir dalam komentar miring berbagai kalangan, utamanya di media sosial.
Pertama-tama perlu ditegaskan bahwa yang kita bicarakan adalah soal ‘pemberhentian sementara’, bukan pemberhentian tetap. Karena menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), dalam hal terjerat kasus pidana, pemberhentian tetap baru dapat dilakukan setelah ada putusan bersalah yang berkekuatan hukum tetap.
Soal pemberhentian sementara Gubernur Ahok, atau sebenarnya kepala daerah manapun, terkait bukan hanya dengan sisi hukum tata negara, tetapi juga hukum administrasi negara dan hukum pidana.
Saya hanya akan lebih banyak memberi pandangan dari sisi hukum tata negara dan administrasi negara, sedangkan karena bukan ahlinya, saya tidak akan mengulas panjang lebar soal sisi hukum pidananya, dan kalaupun terpaksa, akan merujuk kepada pendapat ahli pidana yang telah saya ajak diskusi terkait isu ini.
Diberhentikan Sementara Sejak Menjadi Terdakwa
Telah saya tegaskan di awal, saya berpendapat bahwa Ahok seharusnya diberhentikan sebagai Gubernur Jakarta sejak menjadi terdakwa dalam kasus penodaan agama.
Pasal 83 ayat (1) UU Pemda menegaskan Kepala Daerah “diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan … dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Soal waktu pemberhentian, lebih dipertegas dalam Pasal 83 ayat (2) UU Pemda yang mengatur, kepala daerah yang menjadi terdakwa “diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan”.
Berdasarkan aturan tersebut, Ahok harusnya diberhentikan sementara sejak kasusnya teregister sebagai perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Pandangan sebagian kalangan, termasuk Kementerian Dalam Negeri, yang mengatakan akan menunggu dulu sidang tuntutan perkara Ahok untuk melihat apakah pemberhentian sementara perlu dilakukan, adalah pendapat yang keliru.
Jadi, kalau berpegang pada aturan UU Pemda itu, Ahok seharusnya diberhentikan sementara oleh Presiden Joko Widodo sejak perkaranya teregister di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Bukan hanya pemberhentian yang menunggu sidang tuntutan adalah keliru, bahkan pemberhentian sementara setelah 11 Februari, atau pasca kampanye Pilgub Jakarta, sebenarnya sudah terlambat.
Ada yang berpandangan, sebelum 11 Februari Ahok tidak perlu diberhentikan sementara karena sudah non-aktif selaku Gubernur Jakarta. Pendapat demikian menurut saya tidak tepat.
Pertama, istilah non-aktif bukan istilah hukum, tetapi adalah istilah populer di media massa. Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) tidak menggunakan terminologi itu, tetapi menggunakan istilah “cuti di luar tanggungan negara”.
Meskipun kondisi “berhenti sementara” ataupun “cuti di luar tanggungan negara” dapat berakibat seorang kepala daerah menjadi non-aktif, tetapi status hukum “berhenti sementara” dan “cuti di luar tanggungan negara” adalah dua hal yang berbeda.
Kondisi “cuti di luar tanggungan negara” adalah konsekuensi dari seorang petahana yang maju kembali dalam pilkada dan diatur dalam UU Pilkada, yang aturan ini sebagaimana kita tahu sedang diuji Ahok di Mahkamah Konstitusi, tetapi belum ada putusannya.
Sedangkan, kondisi “berhenti sementara” adalah konsekuensi dari seorang kepala daerah yang menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana dan perbuatan tertentu sebagaimana diatur dalam UU Pemda.
Menurut saya, fakta bahwa kita baru meributkan soal pemberhentian sementara Ahok sekarang, dan bukan lebih awal, lebih karena setelah kampanye selesai, publik kontra-Ahok baru tersadar dan mempertanyakan kenapa Ahok justru diaktifkan lagi dan tetap menjadi Gubernur.
Padahal ada dua kesalahan hukum tata negara dan administrasi negara pada pengaktifan kembali Ahok tersebut—bukan hanya satu, yaitu: Ahok seharusnya sudah diberhentikan sementara sejak kasus pidananya teregister di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, atau sejak dia menjadi terdakwa, dan karena itu, yang harusnya diaktifkan kembali untuk melaksanakan tugas gubernur setelah masa kampanye berakhir bukanlah Ahok, tetapi hanya Wakil Gubernur Djarot Saiful Hidayat.
Jelasnya, seharusnya saat perkara Ahok teregister di pengadilan negeri, Presiden Jokowi sudah menerbitkan Keppres pemberhentian sementara. Lalu, 11 Februari yang lalu, Mendagri tidak mengeluarkan lagi pengaktifan dari cuti kepada Ahok, tetapi hanya kepada Wakil Gubernur Djarot.
Berhenti Sementara Karena Terpenuhinya Ketentuan UU Pemda
Pasal 183 ayat (1) UU Pemda pada dasarnya mengatur dua hal, yaitu waktu pemberhentian kepala daerah yang berstatus terdakwa; dan tindak pidana yang menyebabkan kepala daerah tersebut diberhentikan sementara. Soal waktu pemberhentian sementara, sudah saya jelaskan di atas. Sekarang saya akan menjelaskan soal tindak pidana yang dapat menyebabkan kepala daerah diberhentikan sementara, tanpa melalui usulan DPRD.
Menurut Pasal 183 ayat (1) itu, ada enam tindak pidana yang menyebabkan kepala daerah diberhentikan sementara, yaitu:
- Tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun,
- Tindak pidana korupsi,
- Tindak pidana terorisme,
- Makar,
- Tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau
- Perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dakwaan pada Ahok bukan tindak pidana ke-2 hingga ke-5 di atas, sehingga saya tidak akan membahasnya. Persoalan yang timbul adalah, apakah tindak pidana Ahok masuk kategori yang ke-1, atau perbuatan lain yang ke-6?
Pada titik inilah saya sependapat dengan Profesor Mahfud MD, dan berbeda pandangan dengan Guru saya, Doktor Refly Harun. Saya berargumentasi bahwa pasal dakwaan yang dikenakan kepada Ahok memenuhi ketentuan pemberhentian sementara Pasal 83 ayat (1).
Kita semua sudah mendengar bahwa Ahok didakwa melakukan tindak pidana Pasal 156a huruf a yang ancaman hukumannya pidana penjara “selama-lamanya lima tahun”, atau Pasal 156 KUHP yang ancaman hukumannya pidana penjara “paling lama empat tahun”.
Dakwaan alternatif yang kedua, karena ancaman hukumannya maksimal empat tahun, sudah jelas tidak memenuhi syarat untuk memberhentikan sementara Ahok, dan karenanya tidak perlu dibahas lebih jauh.
Namun untuk dakwaan Pasal 156a huruf a, timbullah perdebatan apakah ancaman pidana penjara “selama-lamanya lima tahun” memenuhi ketentuan “diancam pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun” tersebut. Doktor Refly punya pandangan yang tidak lemah, bahwa ketentuan ancaman pidana maksimal lima tahun, berbeda konsepnya dengan ancaman pidana minimal lima tahun yang merupakan pelanggaran berat.
Saya berpendapat, dakwaan Ahok yang paling lama lima tahun itu memenuhi ketentuan pemberhentian sementara untuk tindak pidana paling singkat lima tahun berdasarkan UU Pemda. Argumentasi sederhananya, bahasa UU Pemda adalah “paling singkat” lima tahun, bukan “di atas lima tahun”.
Intinya ada pada irisan ancaman hukuman di angka lima tahun. Saya berpandangan bahwa selama ancaman hukumannya mungkin lima tahun, maka Ahok harus diberhentikan, dan tidak ada kaitannya dengan konsep apakah yang dilakukan tindak pidana berat atau ringan.
Apalagi ketentuan Pasal 183 ayat (1) UU Pemda itu tidak membatasi bahwa terdakwa kepala daerah yang diberhentikan sementara harus yang diancam penjara paling sedikit lima tahun saja, atau kejahatan berat saja. Terbukti, misalnya, tindak pidana korupsi yang ancaman hukumannya dapat paling singkat satu tahun pun, dijadikan alasan untuk pemberhentian sementara.
Lebih jauh, Pasal 183 ayat (1) juga menjadikan dasar pemberhentian sementara “perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Frasa terakhir dalam pasal tersebut adalah ketentuan karet yang lebih luas maknanya. Bahkan yang digunakan adalah istilah “perbuatan lain” bukan “tindak pidana lain”. Meskipun, karena status hukum kepala daerah yang diberhentikan adalah terdakwa, tentu yang dimaksud “perbuatan lain” di situ adalah suatu tindak pidana.
Apapun, frasa perbuatan lain yang dapat memecah-belah NKRI itu, membuka interpretasi yang lebih longgar. Utamanya dalam kasus Ahok yang didakwa melakukan penodaan agama, saya berpandangan, secara hukum—bukan politik—hampir mustahil untuk mengatakan terdakwa yang melakukan penodaan agama tidak dianggap melakukan perbuatan yang dapat memecah-belah NKRI. Apalagi melihat sosok terdakwa itu adalah Ahok Gubernur Jakarta, Ibukota negara Republik.
Itu pandangan saya soal Ahok yang memenuhi ketentuan Pasal 183 ayat (1) UU Pemda untuk diberhentikan sementara. Namun, sebagaimana saya katakan di awal, ketentuan inilah yang sangat kuat berkait dengan teori hukum pidana. Sehingga saya pun sempat berkonsultasi dengan ahlinya, yaitu Profesor Hukum Pidana UGM Eddy Hiariej, yang pada dasarnya menyatakan setuju, bahwa Ahok memang seharusnya diberhentikan sementara.
Dari diskusi di media sosial, saya juga mendapat konfirmasi bahwa Guru Besar Pidana senior di Fakultas Hukum Undip, Profesor Barda Nawawi Arief juga mempunyai posisi dan pendapat hukum yang sama, bahwa Ahok semestinya diberhentikan sementara.
Bagaimana Ke Depannya
Saat ini, perdebatan soal ini masih bergulir. Sejauh ini pemerintah belum memberhentikan sementara Ahok selaku Gubernur Jakarta, padahal sebagaimana telah saya jelaskan di atas, bukan hanya sekarang terlambat, bahkan seharusnya telah diberhentikan sementara saat kasusnya teregister di pengadilan negeri. Sikap Kemendagri yang menunggu sidang tuntutan, tidak mempunyai dasar hukum. Yang menjadi pegangan bukan berapa tuntutan pidananya, tetapi status terdakwanya.
Jika pemerintah akhirnya setuju memberhentikan sementara Ahok, maka meskipun sudah terlambat, maka Wakil Gubernur Djarot yang akan melanjutkan kepemimpinan di Jakarta. Kecuali, jika dalam putusannya Pengadilan Negeri menyatakan Ahok tidak bersalah, sebelum masa jabatannya habis di bulan Oktober 2017, maka berdasarkan Pasal 84 ayat (1) Presiden Jokowi berkewajiban mengaktifkan kembali Ahok selaku Gubernur Jakarta.
Terkait Pilgub Jakarta, jika pasangan Ahok-Djarot masuk putaran kedua, maka saat kampanye 6 hingga 15 April kembali akan ada Pelaksana Tugas Gubernur Jakarta selama Wagub Djarot cuti di luar tanggunan negara. Hal demikian tidak terjadi jika pasangan Ahok-Djarot menang satu putaran, kalah satu putaran, atau tidak masuk putaran kedua, maka Wakil Gubernur Djarot terus menjalankan fungsi gubernur sampai habis masa jabatannya.
Yang menarik jika pasangan Ahok-Djarot memenangkan Pilgub Jakarta, sedangkan Ahok masih berstatus terdakwa, maka berdasarkan ketentuan Pasal 163 ayat (7) UU Pilkada, maka Ahok tetap dilantik menjadi Gubernur Jakarta, untuk kemudian langsung diberhentikan sementara, dan Jakarta akan dipimpin oleh Wagub Djarot. Ketentuan ini makin menegaskan bahwa pemberhentian sementara seorang kepala daerah sebenarnya bukan terkait tindak pidananya apa, tetapi lebih pada statusnya selaku terdakwa.
Persoalannya adalah bagaimana kalau pemerintah tetap kekeuh berpendapat bahwa Ahok tidak perlu diberhentikan sementara.
Maka, langkah hukum dan politik yang ada adalah beberapa alternatif berikut: pihak/lembaga yang berhak dapat meminta fatwa kepada Mahkamah Agung soal apakah Ahok harus diberhentikan sementara atau tidak. Sayangnya Fatwa MA ini, apapun nanti pendapatnya, hanyalah berbentuk pendapat, yang tidak mengikat, walaupun sopan-santun politiknya, seharusnya dihormati.
Langkah lain, adalah melalui DPR/DPRD Jakarta yang dapat melakukan gerakan politik terkait tidak adanya pemberhentian sementara Ahok tersebut. Namun, tindakan ini akan sangat tergantung dengan konfigurasi kekuatan politik. Melihat kuatnya dukungan politik kepada Presiden Jokowi, langkah ini agaknya sulit akan berjalan efektif.
Selanjutnya, bisa juga pihak yang berkepentingan dapat mengajukan gugatan PTUN atas keputusan presiden yang tidak memberhentikan sementara Gubernur Ahok tersebut. Persoalannya, adalah siapa yang melakukan gugatan dan apa obyek putusan tata usaha negara yang digugat.
Satu-satunya pintu masuk adalah menggugat keputusan Mendagri atas nama Presiden Jokowi yang mengaktifkan kembali Ahok selaku Gubernur. Meskipun, putusan itu bukan berkait dengan pemberhentian sementara, melainkan dengan berakhirnya cuti kampanye di luar tanggungan negara.
Lebih jauh, kalaupun menang, gugatan PTUN membutuhkan waktu lama untuk berkekuatan hukum tetap, padahal Ahok sudah akan berakhir masa jabatannya pada Oktober yang akan datang.
Demikian uraian lengkap saya soal sulitnya pemberhentian sementara Ahok selaku Gubernur Jakarta. Pada akhirnya, pandangan hukum ini tidak akan berdiri sendiri, dan akan lebih banyak dipengaruhi suasana dan kalkulasi politik.
Apapun ujungnya, kewajiban saya—dan bahkan juga Doktor Refly Harun yang berbeda pandangan—untuk memberikan masukan berdasarkan ilmu HTN yang kami pelajari telah kami tunaikan.
Bagaimana keputusannya bukan terletak pada kami, tetapi kepada pemerintah yang punya kewenangan. Tetapi pastinya, rakyat akan belajar banyak, dan dapat menilai kemana arah kebijakan hukum pemerintahan ini berjalan.
Keep on fighting for the better Indonesia. (*)
(Penulis adalah Guru Besar Hukum Tata Negara UGM, Visiting Professor pada Melbourne Law School dan Faculty of Arts, University of Melbourne)
*Sumber: https://m.kumparan.com/denny-indrayana/sulitnya-memberhentikan-sementara-ahok