TANPA bermaksud menafikan tokoh-tokoh GNPF-MUI, sulit membayangkan aksi-aksi umat Islam akan menderas seperti sekarang, tanpa keterlibatan SBY. Dia adalah satu-satunya Ketua Umum parpol yang pasang badan demi mewujudkan aspirasi umat Islam. Himbauan SBY agar pemerintah menjunjung kesetaraan hukum dalam kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok menjadi pukulan hebat bagi Jokowi. Dukungan SBY yang rasional dan terukur atas asprirasi umat Islam tegas dan jelas, baik pada aksi 411 dan 212, atau aksi-aksi lainnya.
Akibatnya, SBY pun dihantam tsunami fitnah. Kenegarawanannya digembosi. SBY dituding perusak solidaritas berbangsa, provokator yang membayar kalangan Islam radikal, mengintervensi fatwa MUI. Saking kejinya, sampai percakapan SBY disadap, kediamannya digeruduk mahasiswa, dan difitnah sebagai inisiator kasus Antasari Azhar. Fitnah ini kian liar dan sadis. Sasarannya termasuk keluarga SBY, mulai dari Ani Yudhoyono, sampai AHY dan istri. Semua ini terjadi, gara-gara SBY pasang badan untuk aspirasi umat Islam.
Dukungan SBY kepada umat Islam, jauh lebih dulu sebelum politisi Gerindra dan PKS bergenit-genit. Ketika SBY memperjuangkan aspirasi umat Islam, Prabowo malah makan siang dengan Presiden Jokowi –sosok yang diduga keras sebagai pelindung Ahok. Walhasil, Prabowo seakan tidak setuju dengan aksi 411 dan 212. Fungsionaris PKS pun terkesan abai atas aspirasi umat Islam ini.
Baru ketika elektabilitas Anies-Sandi melorot, mendadak mereka menjadi pendukung umat Islam nomor wahid. Mereka turun ke kantong-kantong umat Islam, termasuk mendekati kalangan yang dituding Islam radikal. Proses hukum kasus penistaan agama hingga penonaktifan Ahok sebagai Gubernur menjadi isu emas yang dilantangkan kepada publik. Mereka merangkul umat Islam yang sedang termaginalisasi, setelah sekian lama mereka abaikan.
Tragisnya, ketika tsunami fitnah menerjang SBY, mereka malah bersikap abai. Alih-alih meluruskan kebenaran, mereka menari-nari di atas penzaliman terhadap SBY, AHY-Sylvi dan keluarganya. Mereka menunggangi fitnah-fitnah itu untuk mengembosi dukungan umat Islam terhadap AHY-Sylvi.
Kekalahan AHY-Sylvi belum memuaskan mereka. AHY-Sylvi dipaksa untuk mendukung Anies-Sandi. Mereka pun membentuk citra keji: jika tidak mendukung Anies-Sandy, maka SBY dan Demokrat adalah kalangan yang anti Islam. Bayangkan! SBY yang pertama kali pasang badan untuk umat Islam justru dituding anti Islam hanya karena tidak mendukung Anies-Sandi? Inikah yang disebut politik berkeadaban?
Saya membayangkan, apa jadinya jika SBY membandangkan amarahnya untuk menyikapi kekejian ini. Bagaimana jika SBY membuka kartu truf dengan bertanya: hai Gerindra, hai PKS, di mana posisi kalian sewaktu aksi 411 dan 212 dilakukan? Adakah kalian berada bersama-sama umat Islam?
Tetapi SBY tidak melakukannya. Satu-satunya alasan, SBY tidak ingin persatuan umat Islam terpecah-belah. Apa jadinya jika umat tersadar bahwa para politikus yang mereka elu-elukan itu tak lebih dari kalangan oportunis? Ilustrasinya, biarlah saya yang terluka, tetapi jangan sampai umat Islam terpecah-belah.
Artinya orientasi SBY bukan kekuasaan ansich. Orientasi SBY adalah umat Islam tidak boleh dimarginalisasi hanya karena kekuasaan ingin jagoannya menang pilkada. Ada yang lebih tinggi dari kekuasaan, yakni persatuan umat Islam, kemaslahatan bangsa dan negara.
Hanya kebesaran jiwa yang membuat SBY menahan diri. Hanya seseorang negarawan yang bisa menerima kekejian ini dengan lapang dada. Tak salah jika saya menyebut SBY adalah pahlawan Islam yang sejati. Kendatipun, ia harus menelan pil pahit. Dilupakan umat Islam akibat manuver-manuver keji dari oknum-oknum oportunis yang mengatasnamakan Islam. Karenanya, izinkan saya untuk angkat topi atas kebesaran jiwa SBY ini. Terimakasih Pak SBY!
(Oleh: Hendra Kuniawan, pencinta narasi keislaman)
Sumber: PolitikToday