Santri NU: Sungguh Keji Yang Menuduh Kyai Ma'ruf Amin Berbohong Dalam Persidangan

[Foto: Abrar Rifai (penulis) saat melayani Mbah Yai Ma'ruf Amin]

[PORTAL-ISLAM] Malam itu, saat saya memasuki ruangan, Mbah Yai Ma'ruf Amin sudah berada di sana. Beliau duduk di kursi di kelilingi beberapa kiai yang lain. Segera saya menghambur pada beliau. Saya cium tangan beliau agak lama. Punggung dan telapaknya bolak-balik. Baru setelah itu saya mencium tangan kiai kiai lain yang berada di ruangan tersebut.

Saya mengambil posisi duduk yang agak dekat pada Mbah Yai. Sehingga saya berkesempatan mencuri-curi pandang. Saya tatap wajah beliau dengan lekat. Ya Allah, sejuk, menenangkan dan mengalirkan energi keimanan. Maka, benarlah bahwa cukup dengan menatap wajah para kekasih Allah itu, keimanan kita akan segera bertambah.

Malam itu beliau tidak banyak berkata. Hanya sesekali menimpali pertanyaan. Namun bibir beliau tak lepas menyungging senyum. Air muka beliau makin tampak jelas menyampaikan pesan kedamaian. Tanpa beliau berucap. Tatapan beliau menyampaikan ketulusan. Tanpa beliau berujar. Air muka yang damai dan tatapan mata yang tulus tak akan pernah terbit kecuali dari hati yang jujur.

Maka, sesiapa yang berani menyebut beliau berbohong, sesungguhnya adalah orang yang tak akan bisa menerima kebenaran selamanya. Orang semacam ini tidak akan segan menyebut matahari terbit dari utara, walau semua mata selain matanya menyaksikan bahwa matahari terbit dari timur. Sebab orang kafir Quraisy sekalipun yang (awalnya) tidak percaya akan kenabian Rasulullah Muhammad saw, tetap tidak mengingkari bahwa beliau adalah pribadi yang jujur (bukan pembohong).

Ahok dan jajarannya menghina dan mencaci maki Mbah Yai dengan sadis seperti itu, sebenarnya bukanlah sesuatu yang mengherankan. Kita sudah tahu kualitas diri seorang Ahok, tak lebih seperti preman pasar yang terlalu dipaksakan menjadi gubernur. Justru yang membuat saya heran, adalah sikap beberapa orang Islam yang tetap membela Ahok atas segala kekurang-ajaran dan prilaku premanismenya.

Mbah Yai Ma'ruf tidak akan berkurang kemuliaannya. Beliau tetap adalah mutiara yang berkilau di tengah ummat. Beliau adalah keteduhan di tengah bara bangsa yang dibakar oleh Ahok dan orang-orangnya. Karena malam yang sudah larut, melihat Mbah Yai yang tampak lelah, kami mempersilakan beliau beristirahat. Walau beliau sendiri masih berkenan membersamai kami lebih lama lagi.

Keesokan harinya, saya berkesempatan untuk melayani beliau, layaknya seorang santri pada gurunya. Iya, walau saya bukanlah siapa-siapa. Ngaji pada beliau pun tidak pernah. Tapi saya berharap bahwa sedikit bakti pada seorang alim, akan jadi pemberat kebaikan saya kelak di hari kiamat. Pada hari yang semua kebaikan dan keburukan akan terpampang jelas.

Namun, untuk bisa benar-benar melayani Mbah Yai sebagaimana keinginan saya, saya harus berlomba dengan beberapa orang lainnya yang juga mempunyai keinginan yang sama. Alhamdulillah, atas kesabaran mengantri dan menunggui, saya akhirnya berkesempatan agak lama bersama beliau di bilik khusus, saat beliau ketika itu hanya bersama Pak Nuh (mantan Mekdiknas), Habib Abdurrahman Bahlega dan tiga orang lainnya. Saya betul-betul menikmati dawuh dan pitutur beliau tentang berbagai persoalan bangsa dan agama, umat dan negara.

Abrar Rifai
Santri NU Malang Jawa Timur

___
Sumber: fb


Baca juga :