[PORTAL-ISLAM] Keriuhan kontestasi demokrasi di Ibukota telah mereda sejenak. Warga Jakarta telah memberikan suaranya kepada tiga pasang kandidat pilihannya. Tidak ada satupun yang mampu meraih hasil 50 persen tambah satu suara. Karenanya, dua pasang calon akan melaju untuk perhelatan pemilihan tahap kedua, sementara satunya lagi harus tersisih lebih awal. Memang, saat ini kita belum mendapatkan gubernur untuk memimpin Jakarta hingga lima tahun ke depan, tapi pada pilkada tahap pertama ini rakyat Indonesia telah menemukan seorang pemimpin baru untuk masa depan.
Sehari sesudah pemilihan, banyak orang sepakat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) adalah figur yang memiliki segala yang dibutuhkan untuk nanti menjadi pemimpin di bangsa ini. Cerdas, santun, gentlemen, berkharisma dan yang terpenting ia telah menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik.
Hal itu terlihat kala AHY secara kesatria dan lapang dada mengakui kekalahannya dan memberi selamat kepada kedua pesaingnya. Meski kontestasi berjalan keras selama empat bulan terakhir, dengan bermacam fitnah dan serangan dilancarkan kepada dia dan keluarga, bahkan juga terhadap putrinya, tapi AHY tetap menghormati lawan-lawan politiknya.
Sikap kematangan yang diperlihatkan AHY dipuji banyak orang. Baik mereka yang selama ini netral di pilkada, maupun pihak-pihak pendukung kandidat pesaing. Mereka semua angkat topi dan salut kepada AHY. Jiwa besarnya merupakan aset yang sangat berharga bagi bangsa dan teladan bagi para politikus di negara ini.
Melihat figur AHY ini, tak salah juga kiranya banyak pihak yang berusaha menjegal putra sulung Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini, dalam menapaki langkah perdananya di kancah politik. Apalagi sejak AHY bersama calon wakilnya, Sylviana Murni, selalu konsisten berada di urutan pertama survei elektabilitas yang diadakan oleh sejumlah lembaga. Strategi kampanye AHY yang mendobrak cara-cara konvensional, bergerilya untuk mendengarkan aspirasi rakyat, telah menjadi sebuah fenomena.
AHY menggetarkan lawan-lawan politiknya. Tak hanya para pesaingnya di pilkada, tapi mereka yang tengah berkuasa juga ketar-ketir. Bibit baru yang nantinya dinilai mampu meruntuhkan dominasi kekuasaan, berpotensi menggoyang singgasana, telah muncul ke permukaan. Antisipasi harus dilakukan sejak dini. Ditumbangkan sebelum berkembang. Mereka sudah merasakan banyak kegagalan kala menghadapi SBY, dan mereka tak ingin itu terulang.
Boleh saja Istana membantah keterlibatan mereka dalam Pilkada DKI Jakarta, namun fakta-fakta sudah terpapar jelas di mata publik. Di antara contoh-contoh konkretnya, pada awal kemunculan, AHY sudah mendapat serangan dengan dijuluki “tentara ingusan” oleh seorang akademisi yang dekat dengan penguasa.
Kemudian, seiring dengan membuncahnya situasi politik akibat penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), SBY malah dituduh sebagai dalangnya. Bahkan, presiden yang selama 10 tahun kepemimpinannya telah membangun sistem demokrasi hingga mencapai taraf tertinggi sejak negara ini berdiri, dituduh akan berbuat makar. Suami Sylvi, Gde Sardjana, bahkan sampai dipanggil polisi dengan tuduhan serupa.
Tidak berhenti di sana, di awal tahun giliran Sylvi dikriminalisasi. Kesalahannya dicari-cari dan polisi bergerak cepat memproses dua kasus sekaligus yang dikait-kaitkan dengan jabatannya selama berkarir di Pemprov DKI. Meski kemudian terkuak tidak ada bukti keterlibatan Sylvi, namun tuduhan itu diyakini sangat berpengaruh terhadap berkurangnya dukungan. Buktinya, di Januari, elektabilitas AHY-Sylvi turun drastis.
Indikasi intervensi penguasa semakin terendus ketika pemerintah tak bernyali menonaktifkan Ahok dari jabatan gubernur, kendati sudah menjadi terdakwa yang duduk di kursi pesakitan. Meski hal tersebut melanggar konstitusi, Presiden tetap membela mati-matiaan, tanpa memperdulikan ancaman Hak Angket wakil rakyat yang bisa berujung kepada impeachment.
Senjata terakhir penguasa adalah memakai jasa Antasari Azhar. Saat keluar penjara, mantan narapidana pembunuhan itu mengaku sudah ikhlas menerima hukumannya. Tapi setelah diberi grasi, lalu diundang ke Istana, tiba-tiba ia mulai menyerang SBY dengan berlagak playing victim. Istilah “Tidak ada makan siang yang gratis” sulit terbantahkan.
Penguasa memang berhasil menjegal langkah AHY di pilkada. Namun mata rakyat mulai terbuka. Mereka melihat kontestasi itu telah memunculkan pemimpin baru untuk masa depan Indonesia. AHY memiliki semua potensi untuk menjadi pemimpin besar suatu saat nanti, bahkan mungkin saja melebihi ayahnya. Saat ini saja ia sudah menjadi teladan dengan menginspirasi anak muda untuk terus semangat dan berkarya. Teruslah berjuang AHY, bangsa dan negara ini akan selalu menunggu darmabhaktimu!
Penulis: Rafael Wildan (pemerhati sosial politik)