Masya Allah! Kesaksian Santri Pendamping KH Ma'ruf Amin Ungkap Fakta-fakta Saat Sidang Kasus Ahok


[Klarifikasi dari Santri ttg Sang Kyai]
KH. MAKRUF AMIN, KEHADIRAN SEBAGAI SAKSI, OLAHAN ISU DAN PENGHINAAN ITU

Oleh: Dr. Asrorun Niam Sholeh, MA
(Katib Syuriyah PBNU, Sekretaris Komisi Fatwa MUI)

Pasca persidangan ke-8 yang digelar Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Selasa 31 Januari 2017 dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok, Gubernur DKI Jakarta non aktif atas dakwaan penodaan agama Islam yang dilakukan terdakwa di sebuah acara di kepulauan seribu 2016 lalu, banyak pertanyaan kepada saya seiring dengan info dan opini yang berkembang, sehingga perlu diklarifkasi dan ditanggapi, terutama terkait beberpa hal a.l.; (i) kehadiran kyai Makruf di sidang; (ii) substansi persaksian; (iii) politisasi dan serangan oleh ahok dan pengacaranya.

Banyak ekpresi kemarahan umat Islam, khususnya warga NU dari seluruh Indonesia, disampaikan ke saya.

Saya, sebagai santri yang mendampingi proses persidangan tersebut, serta terlibat dalam diskusi dengan Kyai Makruf Amin bisa menyampaikan hal-hal sbb:

A. Kedudukan Kyai Makruf Amin

1. KH. Makruf Amin adalah Ketua Umum MUI sekaligus Rais Am PBNU, pemimpin tertinggi jam'iyyah NU, yang dijaga, dihormati, dan ditaati oleh puluhan juta umatnya. Kami semua, warga NU adalah santri beliau yang siap menjaga kehormatannya. Kehormatan beliau adalah bagian dari hidup kami.

2. KH. Makruf Amin adalah sosok terhormat yang selalu komitmen dengan nilai-nilai keadaban, kesantunan, moderasi, dan ketaatan pada hukum. Mengerti politik, politik kebangsaan dan keumatan.

B. Kehadiran KH. Makruf Amin di Sidang

1. Kyai Makruf Amin hadir di persidangan sebagai saksi dengan terdakwa sdr Ahok adalah wujud komitmen beliau yang sangat tinggi dalam penegakan hukum. Sejak awal, Kyai Makruf mengajarkan anti kekerasan, penghargaan terhadap hukum, dan mencegah politisasi kasus hukum untuk kepentingan politis.

2. Kehadiran Kyai Makruf di persidangan adalah pilihan sadar beliau dalam rangka hukum. Penghormatan pada sistem hukum adalah jalan yang ditempuh Kyai Makruf Amin untuk mencegah terjadinya anarki dan pengadilan jalanan, yang tentu akibatnya akan jauh lebih buruk.

Beliau, saat memberikan keterangan, sangat santai, tenang, dan bergairah; pada saat kami terus galau diliputi amarah akibat ulah pengacara ahok yang kami nilai memperlakukan Kyai secara kurang etis, ditambah hakim dan jaksa yang agak pasif.

Beliau tegar sampai selesai dan sangat santai. Seusai acara persidangan, kami bergerak ke kantor untuk sekedar evaluasi. Selepas maghrib, kami makan malam dengan diskusi kecil di dekat kantor. Tidak ada raut lelah di wajah beliau. Habis makan malam, kami bergerak ke kantor PBNU untuk menghadiri acara Harlah NU ke-91. Tamu-tamu penting sudah menunggu, antara lain Panglima TNI dan Kapolri. Belum berhenti di situ. Usaia acara, Kyai masih menyempatkan breifing kami di ruangan rais am, hingga hampir pukul 00.00. Subhanallah.

3. Kita harus menghormati dan belajar dari KH. Maruf Amin, beliau Rais Amm NU dan ketua umum MUI yang telah memberi contoh bagaimana cara menghormati hukum, bertanggung jawab. Beliau hadir ditemani oleh Waketum MUI yang juga mantan Ketua Umum IPNU Zainut Tauhid Saadi, Wakil Ketua Komisi Kumdang MUI Ihsan Abdullah (mantan penasehat hukum Gus Dur), dan saya. Sementara Sekjen MUI, tokoh Muhamadiyah Buya Anwar Abbas dan Wasekjen MUI yang juga Katib Syuriyah PBNU Sholahudin al-Ayubi tertahan tdak bisa masuk.

Ini untuk menjawab opini dan pertanyaan di masyarakat yang menyayangkan kehadiran KH. Makruf Amin di persidangan. Saya pun awalnya juga berpandangan serupa. Bahkan, saat saya diberitahu dan diminta mendampingi Kyai untuk menjadi Saksi di tgl 31, saya sempat galau tingkat dewa. Komunikasi dengan kolega, baik via komnikasi personal maupun WAG juga menanyakan hal itu. Bahkan tidak jarang menyalahkan kami-kami, santri beliau.

C. Substansi Persaksian

Dalam posisi sebagai saksi terkait penerbitan Sikap dan Pandangan Keagamaan MUI terkait pidato BTP, KH. Makruf Amin menjelaskannya dengan tegas dan jelas. Hanya saja, muncul opini yang menyesatkan, yang banyak tidak terkait dg substansi; misalnya soal tidak adanya tabayun, status rapat-rapat di MUI, hingga masalah kuorum. Bahkan, Tim Advokasi BTP mengeluarkan rilis yang menurut hemat saya, menyesatkan.

Sebagai sekretaris Komisi Fatwa MUI, bisa dijelaskan sbb:

1. Bahwa KH Ma'ruf Amin sebagai Ketua Umum MUI benar tidak melihat video secara langsung dalam proses penetapan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI. Tetapi bukan berarti proses penetapan Pendapat dan Sikap Keagamaan ditetapkan tanpa melihat video. Komisi Pengkajian MUI mendalami secara serius, mulai dari telaah video, transkrip hingga validasi ke Kepulauan Seribu. Proses penetapan Pendapat dan Sikap Keagamaan dengan melibatkan empat komisi di MUI.

2. Dalam Pendapat dan Sikap Keagamaan, MUI memang tidak fokus membahas makna QS. al-Maidah 51 dan tafsirnya, akan tetapi membahas dan mengkaji pernyataan Basuki Tjahaja Purnama (BTP) yang belakangan membikin gaduh masyarakat, apakah masuk kategori menghina al-Quran dan ulama atau tidak, dalam perspektif agama Islam.

Dengan demikian, tabayun yang dilakukan adalah untuk memastikan apakah rekaman ucapan itu benar apa tidak, yaitu dengan konfirmasi pada pihak-pihak yang bisa dimintai penjelasan. Karenanya, tim MUI juga konfirmasi ke Kepulauan Seribu, untuk tabayun terkait benar tidaknya rekaman ucapan itu disampaikan oleh BTP.

Setelah memperoleh konfirmasi kebenarannya, maka tim pengkajian memberikan data ke Komisi Fatwa MUI untuk dibahas dalam perspektif agama. MUI fokus pada teks, tidak mengejar niat, karena dalam menetapkannya, MUI berpegang pada yang tersurat. "Nahnu nahkumu bi al-zhawahir, Wallaahu yatawalla al-sarair"

3. Benar, bawa pada 9 Oktober 2016, MUI DKI mengeluarkan Surat Teguran pada BTP, dan pada 11 Oktober 2016, MUI Pusat mengeluarkan Pendapat dan Sikap Keagamaan. Keduanya tidak bertentangan, bahkan paralel. Surat MUI DKI juga ditembuskan ke MUI Pusat, yang juga dijadikan masukan dalam penetapan Pendapat dan Sikap Keagamaan. Ketua Umum dan Sekum MUI DKI juga menjadi anggota Komisi Fatwa MUI Pusat.

Hal yang perlu dipahami, proses pembahasan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI telah dimulai sejak awal Oktober 2016, sebelum MUI DKI mengeluarkan Surat Teguran. Dengan demikian, asumsi yang menggambarkan bahwa MUI Pusat menetapkan Sikap dan Pandangan Keagamaan secara mendadak, tiba-tiba atau tergesa-gesa, sangat tidak beralasan. Prosesnya cukup lama dan serius dilakukan, dengan melibatkan empat komisi (Komisi Pengkajian, Komisi Fatwa, Komisi Hukum, dan Komisi Infokom). Pembahasan diawali dengan penelitian oleh Komisi Pengkajian, dilanjutkan ke Komisi Fatwa, Hukum dan Infokom. Setelah itu dibawa ke Rapat Pimpinan Harian, setelah itu dirumuskan sebagai hasil dari Rapat Pimpinan.

4. Ada yang mempertanyakan soal kuorum rapat. Perlu dijelaskan, bahwa dalam Pedoman MUI, rapat komisi fatwa dapat dilaksanakan jika sudah mencapai jumlah anggota yang dianggap memadai oleh pimpinan. Dengan demikian, kuorum tidak terkait dengan jumlah minimal kehadiran. Walau demikian, dalam rapat-rapat pembahasan, peserta rapat dari sisi jumlah, bahkan lebih banyak dari rapat-rapat Komisi Fatwa pada kasus yang lain.

Pada rapat Komisi Fatwa membahas kasus BTP itu, hadir Ketua MUI yang membidangi Fatwa, Ketua dan Wakil-Wakil Ketua Komisi Fatwa, Sekretais dan wakil-wakil Sekretaris Komisi Fatwa, dan puluhan anggota Komisi Fatwa. Bahkan hadir dalam rapat tersebut lima guru besar dari berbagai bidang: fikih, ushul fikih, hukum, dan tafsir. Hadir pula akademisi dari berbagai kampus: UIN Jakarta, UI, IIQ (Institut Ilmu Al-Qu'ran) Jakarta, Uniat (Universitas At-Tahiriyah) Jakarta, UAD, PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran), dan lain-lain. Ada juga Rektor IIQ dan Direktur Pascasarjana IIQ. Mereka hadir dan ikut pembahasan.

D. Tuduhan Politisasi dan Berbohong

Di paruh kedua persidangan, situasi sudah tidak begitu kondusif, karena pertanyaan-pertanyaan sudah tidak mengarah pada substansi; tetapi sangat politis dan sepertinya sengaja untuk kepentingan panggung politik yang intimidatif.

Salah satu statemen BTP (Ahok) sbb :
"Meralat tanggal 7 Oktober ketemu paslon nomor 1, jelas-jelas itu mau menutupi Saudara Saksi menutupi riwayat hidup pernah menjadi Wantimpres SBY. Tanggal 6 (Oktober) disampaikan pengacara saya ada bukti telepon (dari SBY) untuk minta dipertemukan. Untuk itu, Saudara Saksi tidak pantas menjadi saksi, tidak objektif lagi ini, sudah mengarah mendukung paslon 1".

Tuduhan BTP dan penasehat hukum BTP kepada Ketua Umum MUI menyembunyikan sebagai mantan Wantimpres adalah tindakan yang sangat politis. Pekerjaan Kiai Ma'ruf yang disebutkan dalam BAP, sebanyak 12 item, adalah yang sedang dijalani. Artinya, yang saat ini masih diemban beliau. Sementara yang sudah tidak dijabat, tidak disebutkan, termasuk jabatan Wantimpres, Anggota DPR RI dan Ketua Komisi VIII DPR. Ini yang dipolitisir, hingga keluar tuduhan menyembunyikan status.

Tuduhan menyembunyikan identitas, tidak pantas jadi saksi, hingga kesaksian bohong adalah tuduhan tak berdasar, menghina, dan merendahkan Kyai Makruf, dan pasti melukai perasaan umat. Subhanallah.

Hal yang cukup menyesakkan juga adalah tuduhan bohong dan kesaksian palsu terkait dengan adanya telpon SBY ke HP KH Makruf Amin untuk mengatur pertemuan Agus-Silvy dengan PBNU dan kantor PBNU dan untuk mempercepat keluarnya fatwa terkait ahok. Masalah ini kemudian diolah dan digoreng seolah menjadi kebenaran disertai ancaman pemidanaan. Padahal, tuduhan adanya telp SBY ke HP Kyai Makruf terkait pengaturan pertemuan dan percepatan fatwa itu jelas fitnah, dan merendahkan harkat dan martabat Ulama. Bahwa ada komunikasi via telp itu ya, dan itu sudah dikonfirmasi oleh Kyai ke media jauh hari saat pertemuan tsb. Media juga menulis, dan Kyai tidak merahasiakannya. Pun juga SBY jg menegaskan ada kmnikasi. Tetapi, yang perlu diklarifikasi, telp tersebut tidak ke Kyi Makruf dan tidak membicarakan soal mengatur pertemuan serta percepatan fatwa. Framing ini mengesankan fatwa keluar karena pesanan dan berdimensi politik, dan Kyai dinilai secara politis mengatur pertemuan ketua umum PBNU dengan Agus-Silvy. Lagi-lagi ini penghinaan.

Pantas warga NU tersinggung. Bahkan, gelombang protes juga muncul dari seluruh umat Islam.

E. Penutup

Pada saat BTP berjuang membela diri di kursi pesakitan dari tuduhan menghina al-Quran dan menghina ulama, penghinaan pada Ulama justru terjadi, di depan majelis (di persidangan -red).

KH. Makruf Amin sebagai ahli menjelaskan "dibohongi pake Al-Maidah 51" bekonsekwensi pengertian menjadikan al-Maidah 51 yang merupakan ayat dari al-Quran sebagai alat untuk membohongi. Dan siapa yang membohongi? Yang memberi penjelasan tentang al-Maidah 51 itu ulama; berarti dia menuduh ulama bohong karena menjadikan al-Maidah 51 sebagai dalil. Karenanya, dengan statemen tsb, ahok dikategorikan menghina al-Quran dan ulama.

Ahok keberatan dikatakan menghina, tapi justru dengan cara menghina yang ditampakkan di depan persidangan, di depan hakim, jaksa, dan masyarakat Indonesia.

Ahok plus pengacaranya, menghina KH. Makruf Amin, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Rais Am PBNU, pimpinan Ulama Indonesia dan panutan mayoritas umat Islam Indonesia dengan hardikan dan celaan serta tuduhan bahwa Kyai Makruf Amin bohong. Ibarat pepatah "Ulo marani gepuk" (ular menghampiri pentungan/minta dipentung -red)

Menghadapi hal seperti ini KH. Makruf tampak biasa dan tidak ada raut kemarahan. Tapi, kami para santri, geram.

Ini fakta-fakta yang saya lihat dan saksikan, seputar kehadiran dan persaksian KH. Makruf Amin dalam sidang dengan terdakwa BTP dan klarifikasi atas beberapa opini yang cukup mengganggu.

Semoga bermanfaat.

Wallahul Muwafiq ila Aqwamith Thariq.

Jakarta, 1 Februari 2017


Baca juga :