Kalau aparat hendak membantah atas amar sangkaan publik, mengelaklah dengan logika yang tepat. Bantah tindakan bukan dengan sebutkan ciri identitas. Fokus pada sanggahan kriminalisasi ulama; benar atau tidak; berbukti atau tidak tuduhannya. Bukan malah sebut diri, misalnya, anak ulamalah, mengaji di syeikh besar lah, atau "sekadar" telah berhaji lima kalilah dan mendirikan pesantren di banyak kotalah.
Dalam riwayat hidup Cristiaan Snouck Hurgronje, akademisi Leiden ini dikenal ramah dan dekat dengan para ulama ataupun cendekiawan Muslim di Jawi. Sayangnya, itu berlaku hanya bagi kalangan yang pro Belanda.
Snouck juga telah berhaji. Malah disaksikan langsung para ulama di Jeddah dan Mekah. Pengetahuannya soal Islam dan tema kebangsaan dipuji Syeikh Ahmad Zaini Dahlan (ulama Hijaz yang dikenal seteru gerakan Muhammad Ibn Abdul Wahab dan Ibn Sau'd). Tak hanya itu, selepas berhaji, ia menjadi rujukan sebagian ulama di Jawi. Di Aceh sampai Batavia kawan mengopinya tak sedikit para alim terpandang. Dari para sayyid sampai penghulu lokal (ahli agama). Gelar mufti Batavia dan Mufti Hindia Belanda sudah masyhur tersemat pada Abdul Gaffar, nama hijrah Snouck selepas "berislam".
Tapi apa semua ujung yang kasatmata di mata masyarakat Nusantara tempo itu? Kolonialisme!
Snouck juga memusuhi ulama dan surau/masjid yang mengikuti seruan berjihad kepada Belanda.
Jangan engkau tanyakan dan sangsikan bagaimana kefasihan, atau pula elok tulisan pegon (arab jawa) hingga wawasan Snouck soal Islam. Ia pun dikenal rajin shalat dan berpuasa.
Jujur, aparat polisi yang sekarang mendakwa diri "saleh", belumlah ada apa-apanya dibandingkan Snouck. Snouck sudah berfatwa. Soal akurasi dan kevalidan isi fatwanya, ini bahasan lain. Yang jelas, pada masa itu banyak orang Islam memercayainya.
Kalau logika oknum polisi adalah dengan membanggakan label kemusliman, Snouck jauh lebih "muslim". Sayang, yang Snouck perbuat hanyalah berislam di lisan dan (demi) amatan orang. Hatinya tidak untuk tunduk pada pancaran risalah Nabi. Ia memilih lakukan, dalam istilahnya, "izharul Islam". Islam yang berpura-pura. Dan itu dilakukan dengan akting amat sempurna. Profesionalitas kerja orientalis yang di kemudian hari jadi bahan perbincangan ramai akademisi.
(Yusuf Maulana)
__
Sumber: fb