SATU PER SATU, petinggi GNPF MUI (Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI), perlahan digiring ke kursi pesakitan. Setelah sebelumnya dipanggil sebagai saksi, akhirnya Munarman ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan fitnah dan pelecehan terhadap pecalang Bali.
Ustadz Bahtiar Nasir (UBN) dikaitkan dengan dugaan penyalahgunaan dana sebuah yayasan. Paling mengerikan, selain dituduh menghina lambang negara, Habib Rizieq Syihab (HRS) juga hendak dibunuh karakternya dengan tuduhan berzina.
Publik sudah memaklumi bahwa pasca aksi Bela Islam 411 yang disusul 212 tokoh-tokoh GNPF akan diincar. HRS sendiri mengisyaratkan, semut yang tidak sengaja ia injak akan ditekan untuk melaporkan dirinya ke polisi.
Umat sudah bersiap menyisihkan tenaga dan waktu untuk mengawal dagelan hukum ini. Maka oleh pembuat skenarionya, kasus petinggi GNPF tersebut dipecah di tiga titik berbeda. Munarman di Bali, HRS di Bandung dan UBN di Jakarta. Sebuah skenario yang nyaris sempurna.
Pihak GNPF sebenarnya mempunyai banyak amunisi untuk membela diri. Misalnya, bagaimana ada pihak tertentu di luar PPATK yang bisa menekan pihak bank untuk membuka identitas pengirim dana bantuan Aksi Bela Islam. Lalu dengan data tersebut, beberapa donatur diintimidasi, dan dijejali informasi hoax bahwa rekening yang mereka kirimi uang itu salah alamat, dan kini uangnya diselewengkan.
Dalam kasus sangkaan kepada Munarman, GNPF justru berkesempatan untuk membuktikan apakah sinyalemen tindakan kurang menyenangkan yang dilakukan pecalang itu hoax, atau sebenarnya merupakan fakta yang tertimbun rapat karena status umat Islam yang minoritas.
Demikian halnya dengan kasus Firza Husein yang dikaitkan dengan HRS. Bagaimana seseorang yang ditangkap atas tuduhan makar, dalam BAP bisa berubah ke sangkaan pornografi? Belum lagi soal tersebarnya foto-foto pribadi dalam HP— foto dirinya saat rebahan di sel penjara—siapa yang bisa menyebarkan padahal jauh-jauh hari HP nya sudah disita?
Namun hukum hanya menjadi kedok dalam serangan terhadap lingkaran inti GNPF. Benar atau tidak tuduhan yang disangkakan, bagi perancang skenario bisa dinomorduakan. Yang penting tangkap dan kesankan tokoh-tokoh agama itu sebagai pesakitan.
Meskipun palu hakim nantinya mengetok bebas, toh stigma negatif sudah tertanam. Setidaknya preseden ini dapat diolah menjadi amunisi empuk bagi propagandis-propagandis di dunia maya.
Serangan terhadap GNPF ini dalam perang disebut operasi “Shock and Awe.” Sebuah serangan yang cepat, massif dan membuat sasaran kaget sampai melongo. Sesuai doktrin “Shock & Awe,” tidak penting apakah manuver tersebut proporsional atau lebay, legal atau tidak, etis atau tidak. Yang penting intimidasi psikologis ke tokoh-tokoh GNPF MUI dan umat Islam bisa tercapai.
Penguasa memang memiliki segala-galanya, bisa berbuat apapun yang disuka. Dengan kekuasaannya, hitam atau putih bisa berubah tampak menjadi abu-abu. Meski demikian, setiap tindak kezaliman pasti ada bayarannya.
Nasib kaum ‘Ad dan Tsamud yang dipotret dalam surat Al-Haqqah adalah contohnya. Ketika adidaya dan kekuatan yang mereka memiliki hanya menambah kezaliman demi kezaliman, guntur dan angin dingin melumat keduanya, bergelimpangan bagai tangkai kurma yang lapuk.
Demikianlah, ketika bandul kezaliman telah melampaui batas, Allah mengayunkannya balik dengan cara-Nya sendiri yang tak kalah dahsyat.
Sumber: Kiblat